Senja itu menggantung lemah di langit sore. Warna jingganya nyaris kalah beradu dengan awan kelabu yang terlihat semakin tebalmenutupi langit. Suasana di gedung lantai lima ini mendadak tegang. Semuanya harap-harap cemas mengkhawatirkan turunnya hujan yang bertepatan dengan jam pulang. Aku, salah satunya.
Namun, aku tidak memusingkan soal cuaca di sore hari ini. Aku lebih memikirkan mendung yang terjadi dalam hatiku. Sudah dua minggu guntur terus bergemuruh disana. Hari ini, sahabatku Wendy akan merayakan pesta pernikahannya dengan Bono, mantan tunanganku.
Aku sedang terombang-ambing untuk datang ke pestanya atau tidak. Sorry, nggak bisa dateng, bentar lagi hujan. Alasan macam apa itu. Aku tahu mereka tidak akan menerimanya. Wendy akan sakit hati dan Bono akan tersinggung. Sejujurnya, aku tak ingin menjadi saksi kebahagiaan mereka. Tetapi aku juga tidak ingin menjadi loser dalam kehidupanku sendiri.
*
2 minggu yang lalu...
“Dengan Miss Citra?”
“Iya, saya sendiri.”
Dengan cepat kurir itu menyerahkan undangan ke tanganku sebelum melaju kencang dengan motornya.
Aku tertegun menerima undangan dengan kertas pink pucat berhiaskan pita perak yang diikatkan di amplopnya. Melihat inisial B&W sekilas, aku nyaris tak percaya ini benar-benar mereka.
Walaupun sudah tahu Wendy dan Bono jalan bersama, aku tidak menduga prosesnya bakal secepat ini. Aku masih menjadi pacar Bono selama enam tahun terakhir. Itu tidak terhitung beberapa bulan menjadi tunangannya. Suatu hari kita putus. Lalu, dengan proses kilat sahabatku dan mantan tunanganku mengumumkan pernikahannya. Mereka bahkan melewatkan acara pertunangan agar bisa lekas menjadi suami-istri. Wow.
“Kamu udah terima undanganku, Cit?” tanya Wendy selang beberapa jam kemudian di telepon.
“Udah. Cepet banget, langsung married. Nggak pake lamaran dulu?” tanyaku.
Wendy terdiam sejenak. Ia pasti dapat membaca kekagetan dari suaraku.
“Bono nggak mau kelamaan, jadi langsung aja. Pokoknya nanti kamu datang, ya.”
Aku tidak menyahut apa-apa. Bisa jadi, Bono belajar dari kesalahan. Mungkin jika menunggu terlalu lama, salah satu pihak akan berubah pikiran. Semuanya pun malah jadi runyam seperti dulu.
Aku membuka lagi undangan yang tergeletak di tanganku. Acara serba dua belas yang akan diselenggarakan mengandung pesan jelas. Mereka ingin membuat pesta itu menjadi momen yang unforgettable.
*
Hujan tidak dapat ditawar lagi. Ia turun dengan derasnya tepat beberapa menit sebelum jam pulang kantor. Tak ingin bergelut dengan pikiranku lebih lama lagi, aku memutuskan untuk pulang saja. Persoalan jadi datang atau tidak, dipikir nanti sajalah setelah sampai di rumah.
Aku bergegas mematikan komputer, merapikan meja, dan bergabung dengan antrian kolegaku yang turun di depan lift.
“Nggak dateng ke acaranya Wendy?” tanya Ratna.
“Nggak tahu, nih. Ujan,” jawabku sambil memberi isyarat ke arah jendela.
Ratna mengangguk pengertian. Ia menatapku sedikit iba.
Inilah susahnya bila mantanmu menikah dengan sahabatmu. Teman kalian tujuh puluh persen sama. Mereka akan merasa canggung membicarakan pasangan baru itu denganmu. Mereka pasti paham dilema yang kamu rasakan. Gosip dan lelucon diantara kalian pun tidak akan terasa sama seperti dulu.
Aku bergegas ke arah parkiran diiringi dengan rintikan hujan di atas kepalaku.
*
Tiga bulan yang lalu...
“Kamu nggak apa-apa, kalau aku jalan sama Bono?”
Setelah hubunganku dengannya berakhir, Bono memilih putus kontak denganku. Walaupun tidak menghapusku dari kontaknya, dia tak pernah lagi menghubungiku. Tidak SMS, telepon, atau untuk sekedar say hi, bahkan di hari ulang tahunku. Yah, mungkin itulah caranya mengobati sakit hatinya.
Makanya, ketika Wendy menanyakan pertanyaan itu, aku tidak terlalu lama memikirkannya.
“Ya, nggak apa-apa kalau kalian memang cocok. Hubunganku dengannya sudah benar-benar berakhir,” kataku dengan enteng waktu itu.
Beberapa saat setelah jawaban itu meluncur dari mulutku, barulah pikiranku bekerja. Jadi. selama ini Bono sibuk dengan Wendy hingga dia tidak pernah lagi menghubungiku.
Cepatnya hubungan mereka, mau tak mau menyelipkan rasa curiga di hatiku. Adakah Bono atau Wendy main curang di belakangku selama delapan tahun terakhir?
Dalam sekejap aku berubah menjadi orang yang paranoid. Aku membuka semua file fotoku dan Bono yang lama. Aku melacak akun facebook Bono dan Wendy. Dengan rajin dan teliti, aku mencocokkan timeline mereka setiap hari. Aku berusaha mencari di antara sisa-sisa hubungan kita bertiga. Semua usaha yang kulakukan terhempas sia-sia pada hari kedatangan kurir itu ke rumahku.
*
“Mulai kapan kalian jalan bareng?” tanyaku penuh selidik kepada Bono di acara pesta itu ketika aku memberikan ucapan selamat kepadanya.
Bono mencoba berpikir sejenak. Detik yang berlalu itu sangat menegangkan bagiku.
“Ummm... tiga bulan yang lalu?” kata Bono bertanya balik kepadaku.
“Tenang saja. Aku tidak mengkhianatimu waktu kita masih jalan berdua,” bisik Bono sambil memelukku.
Aku mulai merasa lega dan mengembangkan senyumku.
“Ahh... Congrats, Wen,” kataku sambil memeluk Wendy.
“Aduuhh... dari mana saja kamu ini baru dateng jam segini?” katanya setengah protes kepadaku.
“Ini tanggal spesial, Wen, jalanan macet parah.”
Aku turun dari panggung dan bergabung dengan kerumunan orang yang lainnya.
Aku melewatkan banyak hal dalam acara ini. Aku tidak melihat detik-detik mereka saling mengucapkan janji. Aku tidak menyaksikan wedding kiss mereka. Aku tidak melihat mereka memotong kue dan saling menyuapi. Aku tidak melihat mereka keluar bergandeng tangan sebagai pasangan. Tapi, aku tahu pada akhirnya aku bahagia untuk mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H