Mohon tunggu...
Jessica Rachel Enoch
Jessica Rachel Enoch Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kenaikan PPN 12% : Dampak dan Tantangan bagi Masyarakat Indonesia

28 Desember 2024   15:01 Diperbarui: 27 Desember 2024   21:01 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia dari 11% menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025, merupakan langkah yang diambil pemerintah berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, mengingat rasio pajak Indonesia yang masih tergolong rendah dibandingkan negara lain.

Kenaikan tarif PPN ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi fiskal negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa rasio pajak Indonesia saat ini hanya sekitar 10,4%, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 15%. Dalam konteks ini, kenaikan PPN diharapkan dapat membantu meningkatkan pendapatan negara yang stagnan dalam satu dekade terakhir.

Meskipun pemerintah mengklaim bahwa dampak kenaikan PPN terhadap harga barang dan jasa tidak signifikan, dengan estimasi hanya sekitar 0,9%, banyak ekonom dan analis khawatir bahwa kebijakan ini akan memperburuk daya beli masyarakat, terutama bagi kalangan menengah ke bawah. Penelitian oleh Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan bahwa pengeluaran tambahan akibat kenaikan PPN dapat mencapai Rp4.251.000 per tahun untuk setiap rumah tangga kelas menengah.

Kenaikan tarif PPN juga berpotensi memicu inflasi. Diprediksi bahwa inflasi bisa mencapai 4,11% pada tahun 2025 akibat pemberlakuan tarif baru ini. Fenomena "pre-emptive inflation" mungkin terjadi, di mana pelaku pasar sudah mulai menaikkan harga sebelum kebijakan PPN baru diterapkan, menyebabkan lonjakan harga barang dan jasa lebih awal.

Reaksi masyarakat terhadap kenaikan PPN ini cukup beragam. Banyak yang mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini akan membebani mereka lebih jauh di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi. Kritikus menyebutkan bahwa kebijakan ini bersifat regresif, di mana beban pajak lebih berat dirasakan oleh masyarakat berpendapatan rendah dibandingkan dengan mereka yang berpendapatan tinggi.

Beberapa pengamat bahkan menyerukan agar pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan ini, mengingat potensi dampaknya terhadap daya beli dan kesenjangan sosial yang mungkin semakin melebar.

Kenaikan PPN menjadi 12% mulai Januari 2025 adalah langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, namun juga menimbulkan berbagai tantangan bagi masyarakat. Penting bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi yang efektif mengenai kebijakan ini dan mempertimbangkan langkah-langkah untuk meringankan beban pada masyarakat, terutama bagi kelompok yang paling rentan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun