Jika jurnalistik investigasi dilarang, kita bisa kembali ke era di mana korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan tidak terungkap. Contohnya adalah pada masa Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto, di mana banyak media dibubarkan karena mencoba mengungkap praktek korupsi.Â
Salah satu kasus besar adalah korupsi yang dilakukan oleh Bob Hasan, yang jumlahnya begitu besar hingga sulit diperkirakan. Jika investigasi jurnalistik dilarang, kasus-kasus serupa bisa terjadi lagi tanpa ada yang mengungkapnya, membiarkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan berkembang tanpa kendali. Ini menunjukkan betapa pentingnya kebebasan jurnalistik untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan.
Pasal Karet dan Ancaman Kebebasan Berpendapat
Selain itu, RUU ini juga mengandung pasal-pasal yang disebut sebagai "pasal karet" karena mengandung istilah-istilah yang multitafsir seperti "penghinaan" dan "pencemaran nama baik". Contohnya adalah Pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang berbunyi:
"Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme."
Pasal-pasal semacam ini menurut saya dapat dengan mudah disalahgunakan untuk menekan kebebasan berpendapat dan mengkriminalisasi jurnalis serta aktivis yang mengkritik pemerintah atau pihak-pihak tertentu. Hal ini mengingatkan banyak pihak pada era Orde Baru di mana pers dibungkam dan kritik terhadap pemerintah sangat dibatasi.
Kekhawatiran lainnya muncul dari pengaturan konsentrasi kepemilikan media yang semakin memperkuat oligarki media. RUU ini memungkinkan pemusatan kepemilikan media yang bisa mengakibatkan dominasi informasi oleh segelintir pihak, sehingga mengancam keberagaman informasi dan suara dari berbagai kelompok masyarakat.Â
Selain itu, RUU ini juga dapat menghalangi ekspresi kelompok marginal dan kaum muda di media digital. Banyak kalangan, termasuk aktivis dan organisasi masyarakat sipil, menyebut RUU ini sebagai bentuk "penyensoran" yang dapat membungkam suara-suara kritis dan inovatif.
Kesimpulan
RUU Penyiaran dinilai tidak hanya sebagai ancaman bagi kebebasan pers, tetapi juga sebagai langkah mundur yang signifikan dalam demokrasi Indonesia. Pembahasan dan penyusunan RUU ini dianggap kurang melibatkan pemangku kepentingan yang relevan, sehingga banyak pasal yang dianggap tidak jelas dan cenderung multitafsir.Â
Dengan segala kontroversi ini, banyak pihak mendesak agar RUU Penyiaran dihentikan dan direvisi secara komprehensif dengan melibatkan lebih banyak pihak untuk memastikan bahwa kebebasan pers dan hak berekspresi tetap terlindungi di Indonesia.