Dentuman lagu Lady Gaga “Born This Way” meletup keras dari speaker sebuah pusat perbelanjaan. Lirik yang diucapkan lagu ini cukup unik: “Rejoice and love yourself today 'cause baby you were born this way… No matter gay, straight, or bi, lesbian, transgendered life, I'm on the right track baby, I was born to survive.”
Lagu yang memiliki irama “ear-catchy” dan membangkitkan semangat ini menekankan bahwa siapapun dan apapun keadaan kita saat ini, kita memang ditakdirkan seperti itu. Khusus di bagian lirik yang saya kutip di atas, Lady Gaga menekankan bahwa orientasi seksual yang kita miliki juga merupakan ciptaan Tuhan, dalam kata lain, genetik. Baik heteroseksual, gay, lesbi, maupun transgender, itu semua merupakan penentuan dari Sang Khalik bahwa mereka harus ada dalam keadaan seperti itu.
Di Indonesia baru-baru ini sedang marak bagaimana Menteri Riset dan Teknologi dengan gigih menyatakan penolakannya terhadap LGBT, baik kehadiran mereka di kampus-kampus maupun seminar-seminar yang mereka adakan (Detik, 24 Januari 2016). Ketua MPR juga merespon keras Stiker LINE yang banyak beredar di kalangan anak muda, yang mengisyaratkan bahwa LGBT itu legal (Detik, 10 Februari 2016), dan setelah saya melakukan cek dan recheck di LINE Sticker Shop, memang banyak sekali stiker-stiker LINE yang merujuk pada hubungan sejenis dan transgender. Tidak heran mengapa para petinggi di Indonesia sampai angkat bicara mengenai hal-hal seperti ini, karena Indonesia dikenal sebagai negara yang menganut paham religius yang kuat, terutama Islam dan Kristen/Katolik, yang dua-duanya tentu menolak pernikahan sejenis.
Tetapi kalau yang dikatakan Lady Gaga memang benar, bahwa orientasi seksual adalah bawaan genetik dan memang diciptakan Tuhan, apakah layak ada orang yang menyalahkan bahkan menentang kaum LGBT? Bukankah itu sama saja seperti menghina Tuhan, yang memang menciptakan mereka seperti itu? Oleh sebab itu penting untuk kita memahami apakah orientasi seksual benar-benar adalah bawaan genetik yang diciptakan Tuhan, atau itu adalah, seperti yang dipegang oleh para fundamentalis agamawi, pengaruh sosial dan kultur?
Sejak 1899, penelitian mengenai orientasi seksual non-heteroseksual telah diadakan. Mereka mengadakan penelitian apakah memang ada gen tertentu bawaan sejak lahir yang menjadikan seseorang menjadi gay atau lesbian (atau bahkan bi-seks). Magnus Hirscheld, Michael Bailey, Richard Pillard, Dean Hamer adalah sederetan nama peneliti yang menyatakan bahwa homoseksualitas adalah bawaan genetik. Salah satu buktinya adalah keberadaan kromosom Xq-28, yaitu gen yang terdapat pada orang-orang yang mengalami kecenderungan homoseks. Tetapi pada tahun 1998, Profesor George Rice menyatakan bahwa teori itu tidak benar.
Pada tahun yang sama, Prof. Alan Sanders mengadakan sebuah riset kepada 54 pasang kakak beradik, yang salah satunya homoseksual, dan hasilnya adalah, meskipun kakak beradik itu sama-sama memiliki kromosom Xq-28, tidak semua mereka memiliki kecenderungan orientasi seksual yang sama. Jadi apakah kromoson Xq-28 benar-benar adalah kromosom gay? Hal ini masih menjadi perdebatan sampai sekarang. Belum lama ini, di tahun 2014 para peneliti mengumpulkan 400 responden gay untuk memeriksa apakah mereka memiliki kromosom ini, dan hasilnya, memang kaum gay kebanyakan memiliki keunikan kromosom ini.
Tetapi jika kita cermati, ada perbedaan mencolok antara penelitian Profesor Rice dan Sanders dengan para peneliti modern di tahun 2014. Rice dan Sanders, secara adil memeriksa pasangan kakak beradik yang sudah pasti memiliki kesamaan gen, untuk membuktikan apakah SEMUA ORANG yang memiliki kromosom Xq-28 sudah pasti gay. Sedangkan riset tahun 2014 memeriksa semua orang gay dan memastikan apakah mereka semua memiliki kromosom Xq-28.
Di sini dapat kita lihat bahwa memang terbukti bahwa kromosom Xq-28 terdapat pada mayoritas homoseksual, tetapi ini tidak lantas membuktikan bahwa SEMUA orang yang memiliki kromosom tersebut lantas menjadi seorang homoseks. Ada kemungkinan bagi orang-orang, yang walaupun memiliki kromosom itu, tetap menjadi seorang heteroseksual. Ini membuktikan bahwa bawaan genetik hanya mempengaruhi mungkin 5% dari orientasi seksual seseorang. Sedangkan 95% lainnya ditentukan oleh banyak faktor yang lain.
Belum puas dengan penelitian kromosom, seorang neurosaintis, Simon LeVay, mengadakan penelitian struktur otak dan syaraf manusia, yang berhubungan dengan orientasi seksual seseorang. LeVay mengungkapkan bahwa di dalam otak manusia ada satu bagian kecil yang khusus mengatur seksualitas seseorang, yang dikenal sebagai INAH3. LeVay mengadakan penelitian dan menyimpulkan pada tahun 1991 bahwa INAH3 pada para homoseksual ternyata lebih kecil daripada para heteroseksual.
Namun pandangan ini tidak serta-merta mengesahkan bahwa orientasi seksual seseorang bersifat genetik. Malah, LeVay mengakui bahwa penelitiannya terbatas pada unsur serebral dan psikologis manusia dewasa yang sudah aktif dalam aktivitas seksual dalam kurun waktu lama. Ia tidak meneliti struktur otak pada bayi atau anak-anak yang belum mengenal aktivitas seksual. Jadi ini tidak dapat menyimpulkan bahwa sejak lahir otak seseorang sudah memiliki struktur genetik sebagai homoseksual, sebaliknya, di dalam otak orang dewasa, sangat mungkin terjadi perubahan struktur serebral dikarenakan orientasi seksualnya. Bisa saja justru ini disebabkan oleh faktor psikologis, yang dapat mengubah struktur otak secara perlahan-lahan. Sama halnya seperti seseorang yang seringkali menonton film porno atau melihat gambar-gambar porno, bahkan sampai taraf kecanduan, penelitian pun membuktikan bahwa lama-kelamaan otaknya akan mengalami perubahan struktur (terutama pada prefrontal cortex – mengalami pengecilan). Belum ada penelitian lebih lanjut mengenai perubahan struktur otak pada para homoseksual, dan ini berarti ilmu pengetahuan pun belum dapat secara pasti mengesahkan bahwa ada perbedaan genetik pada otak yang menyebabkan kelainan orientasi seksual.
Jika demikian, apa yang menyebabkan orientasi seksual seseorang berbeda-beda antara homoseks dengan heteroseks? Sebuah penelitian dilakukan oleh Constance R. Sullivan Blum (“The Natural Order of Creation": Naturalizing Discourses in the Christian Same-Sex Marriage Debate, 2006) dengan menggunakan pendekatan sosial. Ia mengadakan riset kepada para LGBT, khususnya LGBT teis (non-atheis) mengenai apakah mereka berpikir bahwa orientasi seksual mereka adalah bawaan genetik atau sebenarnya merupakan pilihan mereka sendiri.
Beberapa responden yakin bahwa orientasi seksual mereka sebagai LGBT merupakan born this way, alias merupakan bawaan genetik. Bahkan tidak jarang mereka meyakini bahwa menjadi seorang LGBT adalah sebuah jalan hidup yang memang dikehendaki Tuhan untuk mereka jalani. Tetapi di samping itu, ada pula beberapa responden yang mengakui bahwa mereka tidak dilahirkan dalam keadaan seperti itu. Mereka mengakui bahwa mereka pernah menjalani orientasi seksual sebagai heteroseksual sebelum mereka menjadi seorang homoseksual atau biseksual.
Bahkan ada di antara mereka sempat menikah dengan lain gender dan memiliki anak hasil dari hubungan heteroseksual tersebut. Jadi menurut mereka, orientasi seksual bisa mengalami perubahan seiring berjalannnya waktu dan pengalaman. Ada pula yang percaya bahwa memang ada faktor genetika dalam orientasi seksual seseorang, tetapi seseorang masih dapat memilih apakah mereka mengikuti faktor genetika tersebut atau memilih untuk menjadi heteroseksual. Intinya, penelitian ini membuktikan bahwa secara sosial banyak sekali kasus LGBT yang berlainan latar belakang. Seseorang tidak dapat dengan mudah menaturalkan orientasi seksual seseorang sebagai genetik.
Berbagai penelitian ini membuktikan bahwa orientasi seksual seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh faktor genetika. Ini terbukti bahwa sekalipun seseorang terlahir dengan kromosom Xq-28, ia masih dapat menjadi seorang heteroseksual. Orientasi seksual seseorang lebih ditentukan oleh faktor psikologis dan lingkungan/pergaulan.
Maraknya penerimaan terhadap kaum LGBT, makin banyak konten-konten di internet mengenai hubungan sesama jenis (bahkan film-film porno pun makin banyak mempertontonkan adegan sejenis), perkembangan etika yang semakin bersifat relativis di abad modern, ini adalah faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk berubah orientasi seksual. Yang perlu diingat adalah orientasi seksual bisa berubah. Ada yang dulunya homoseks, berubah menjadi heteroseks, demikian juga sebaliknya. Ini membuktikan bahwa faktor genetika tidak berperan penting dalam orientasi seksual seseorang, melainkan faktor psikologis dan lingkungan.
Lalu bagaimana dengan keluhan beberapa LGBT yang mengatakan bahwa mereka “tidak bisa menjadi hetero” walaupun mereka mengusahakannya? Kesulitan mereka untuk berubah ini membuat mereka akhirnya berpikir bahwa mereka born this way, membuat orientasi seksual sebagai takdir Tuhan. Mereka mengeluh, seandainya ini pilihan, mengapa begitu sulit untuk mengubahnya? Tentu saja ini bukan hal mudah untuk diubah. Seseorang yang sudah terbiasa menonton film porno tidak akan sehari dua hari menghilangkan kebiasaan itu. Seseorang yang sudah kecanduan narkoba tidak satu dua hari menjadi sembuh dari sakawnya. Apalagi orientasi seksual.
Cara terbaik jika memang ingin berubah adalah dengan menggunakan jasa terapi, konseling, dan juga menjauhkan diri dari lingkungan yang membuat kita cenderung ke arah sana. Ini akan membantu, namun tidak menjamin adanya perubahan orientasi seksual. Proses masing-masing orang berbeda, dan yang dapat dilakukan manusia adalah mengusahakannya sekuat tenaga.
Cukup miris memang, jika kita melihat penolakan yang begitu besar terhadap kaum LGBT, yang justru membuat mereka membuat kelompok-kelompok eksklusif sendiri, menamakan diri sebagai sekelompok LGBT. Justru kelompok-kelompok ini yang membuat mereka makin terpisah dari masyarakat, dan tebak sendiri, jika sebuah kelompok merasa tersingkir, maka mereka akan membuat dobrakan-dobrakan besar ke depannya. Ini justru tidak boleh terjadi. Kaum LGBT harus kita rangkul, kita kasihi, kita bimbing dengan baik.
Jangan biarkan mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri, kelompok-kelompok tersisih yang akhirnya akan menjadi kelompok radikal yang mendobrak. Kaum religius harus belajar membedakan antara “menolak tindakannya” dan “menolak orangnya.” Kaum religius tidak boleh menebar kebencian terhadap kaum LGBT karena tidak satupun ajaran agama mengajarkan untuk menebar kebencian.
Oleh: Jessica Layantara
Rohaniawan Kristen, Dosen Agama Kristen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H