Beberapa responden yakin bahwa orientasi seksual mereka sebagai LGBT merupakan born this way, alias merupakan bawaan genetik. Bahkan tidak jarang mereka meyakini bahwa menjadi seorang LGBT adalah sebuah jalan hidup yang memang dikehendaki Tuhan untuk mereka jalani. Tetapi di samping itu, ada pula beberapa responden yang mengakui bahwa mereka tidak dilahirkan dalam keadaan seperti itu. Mereka mengakui bahwa mereka pernah menjalani orientasi seksual sebagai heteroseksual sebelum mereka menjadi seorang homoseksual atau biseksual.
Bahkan ada di antara mereka sempat menikah dengan lain gender dan memiliki anak hasil dari hubungan heteroseksual tersebut. Jadi menurut mereka, orientasi seksual bisa mengalami perubahan seiring berjalannnya waktu dan pengalaman. Ada pula yang percaya bahwa memang ada faktor genetika dalam orientasi seksual seseorang, tetapi seseorang masih dapat memilih apakah mereka mengikuti faktor genetika tersebut atau memilih untuk menjadi heteroseksual. Intinya, penelitian ini membuktikan bahwa secara sosial banyak sekali kasus LGBT yang berlainan latar belakang. Seseorang tidak dapat dengan mudah menaturalkan orientasi seksual seseorang sebagai genetik.
Berbagai penelitian ini membuktikan bahwa orientasi seksual seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh faktor genetika. Ini terbukti bahwa sekalipun seseorang terlahir dengan kromosom Xq-28, ia masih dapat menjadi seorang heteroseksual. Orientasi seksual seseorang lebih ditentukan oleh faktor psikologis dan lingkungan/pergaulan.
Maraknya penerimaan terhadap kaum LGBT, makin banyak konten-konten di internet mengenai hubungan sesama jenis (bahkan film-film porno pun makin banyak mempertontonkan adegan sejenis), perkembangan etika yang semakin bersifat relativis di abad modern, ini adalah faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk berubah orientasi seksual. Yang perlu diingat adalah orientasi seksual bisa berubah. Ada yang dulunya homoseks, berubah menjadi heteroseks, demikian juga sebaliknya. Ini membuktikan bahwa faktor genetika tidak berperan penting dalam orientasi seksual seseorang, melainkan faktor psikologis dan lingkungan.
Lalu bagaimana dengan keluhan beberapa LGBT yang mengatakan bahwa mereka “tidak bisa menjadi hetero” walaupun mereka mengusahakannya? Kesulitan mereka untuk berubah ini membuat mereka akhirnya berpikir bahwa mereka born this way, membuat orientasi seksual sebagai takdir Tuhan. Mereka mengeluh, seandainya ini pilihan, mengapa begitu sulit untuk mengubahnya? Tentu saja ini bukan hal mudah untuk diubah. Seseorang yang sudah terbiasa menonton film porno tidak akan sehari dua hari menghilangkan kebiasaan itu. Seseorang yang sudah kecanduan narkoba tidak satu dua hari menjadi sembuh dari sakawnya. Apalagi orientasi seksual.
Cara terbaik jika memang ingin berubah adalah dengan menggunakan jasa terapi, konseling, dan juga menjauhkan diri dari lingkungan yang membuat kita cenderung ke arah sana. Ini akan membantu, namun tidak menjamin adanya perubahan orientasi seksual. Proses masing-masing orang berbeda, dan yang dapat dilakukan manusia adalah mengusahakannya sekuat tenaga.
Cukup miris memang, jika kita melihat penolakan yang begitu besar terhadap kaum LGBT, yang justru membuat mereka membuat kelompok-kelompok eksklusif sendiri, menamakan diri sebagai sekelompok LGBT. Justru kelompok-kelompok ini yang membuat mereka makin terpisah dari masyarakat, dan tebak sendiri, jika sebuah kelompok merasa tersingkir, maka mereka akan membuat dobrakan-dobrakan besar ke depannya. Ini justru tidak boleh terjadi. Kaum LGBT harus kita rangkul, kita kasihi, kita bimbing dengan baik.
Jangan biarkan mereka membentuk kelompok-kelompok sendiri, kelompok-kelompok tersisih yang akhirnya akan menjadi kelompok radikal yang mendobrak. Kaum religius harus belajar membedakan antara “menolak tindakannya” dan “menolak orangnya.” Kaum religius tidak boleh menebar kebencian terhadap kaum LGBT karena tidak satupun ajaran agama mengajarkan untuk menebar kebencian.
Oleh: Jessica Layantara
Rohaniawan Kristen, Dosen Agama Kristen