Deskripsi dan Gambaran Umum Pasar Gede Hardjonagoro
Kota Surakarta sangat kaya akan peninggalan budaya, sesuai UU No. 11/2010 ada 172 bangunan dan kawasan yang ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Dinas Tata Ruang Kota. Salah satu bangunan cagar budaya tersebut yaitu Pasar Gede Hardjonagoro. Pasar Gede termasuk dalam cagar budaya Surakarta berdasarkan SK Walikota No. 646 tahun 1997 tentang perlindungan cagar budaya di Kota Surakarta. Dengan potensi lahan 8.560 meter persegi yang terdiri dari 127 ruko, 133 kios, 633 los pasar dan sekitar 250 lapak pedagang (Herlambang dkk, 2017).
Pasar gede terletak di Jalan Jendral Sudirman dengan tugu jam di persimpangan jalan dan letaknya di persimpangan Jalan Urip Sumoharjo dan Jalan Ketandan. Secara tata ruang kota, Pasar Gede letaknya sangat strategis karena berhadapan langsung dengan Balai Kota kemudian tidak jauh dari Keraton Kasunanan, lalu mundur sedikit ke masa kolonial juga berdekatan dengan Benteng Vastenburg. Pasar Gede tidak hanya mewakili simbol perdagangan tapi juga simbol akulturasi dari berbagai kelompok masyarakat Surakarta.
Kondisi Pasar Gede saat ini secara umum ramai dan strategis, dikelilingi oleh banyak ruko di sekitarnya dengan berbagai macam jenis komoditas yang disediakan. Dari segi fasilitas, Pasar Gede bagian luar nampak cukup tertata. Disana juga banyak titik yang menyediakan tempat untuk mencuci tangan pasca pandemi Covid-19. Di bagian luar, terdapat banyak tempat sampah yang tersedia. Di satu sisi hal ini merupakan hal yang positif, namun di sisi lain pengelolaan yang kurang tepat dapat menyebabkan bau yang cukup menyengat.
Kondisi bangunan Pasar Gede masih kokoh. Bangunan Pasar Gede cukup khas dari sisi arsitektur. Bangunan Pasar Gede nampak otentik di tengah ruko-ruko yang berdiri mengelilinginya. Terdapat banyak pintu masuk yang dapat dipilih oleh pengunjung ketika ingin mengunjungi Pasar Gede. Ada juga banyak tangga yang dapat digunakan sebagai akses untuk naik ke lantai dua. Kondisi bangunan di lantai dua tidak jauh berbeda dengan lantai satu. Namun secara penataan bangunan terlihat sedikit berbeda. Hal ini dikarenakan di lantai dua lebih banyak pembagian ruang yang digunakan untuk kios-kios makanan.
Sejarah Pasar Gede dimulai ketika Pakubuwono II mendirikan Kota Surakarta tahun 1745. Masa itu orang Tionghoa tidak boleh tinggal dalam tembok keraton, sehingga mereka tinggal di wilayah timur Sungai Pepe dan mendirikan pasar di tengah pemukiman. Pasar gede merupakan simbol kerjasama orang china dengan pihak keraton Kasunanan Surakarta. Pasar Gede dibangun oleh arsitek Belanda bernama Thomas Karsten mulai 1927 dan selesai pada 1930, jadi yang ada dalam pasar Gede tidak hanya China dan Jawa tapi juga Belanda atau pemerintah kolonial saat itu yang sedang berkuasa.
Nama Pasar Gede ditetapkan sebagai Pasar Gede Hardjonagoro, Hardjonagoro adalah Go Tik Swan yaitu seorang China yang punya andil cukup besar dalam perdagangan batik di Kota Surakarta yang menarik perhatian Pakubuwono ke-X sehingga beliau diberi wewenang untuk menjadi lurah Pasar Gede. Hingga namanya diberi gelar KRT (Kanjeng Raden Tumenggung) Hardjonagoro, itu yang kemudian dipakai hingga saat ini.
Pasar Gede saat ini merupakan ikon ini menjadi komoditas pariwisata selain sebagai pusat perekonomian. Selain itu hingga saat ini Pasar Gede dan area sekitarnya sering digunakan sebagai tempat menggelar event-event budaya. Di Jalan Urip Sumoharjo biasa dipakai untuk Grebeg Sudiro, ini adalah peringatan perekat hubungan antar etnis di Kota Solo. Sebelum Imlek ada Grebeg Sudiro terlebih dahulu, ditampilkan ada pawai atau karnaval dari masing-masing kelurahan di Kota Solo. Kemudian dari Klenteng menampilkan Barongsai. Grebeg Sudiro ini dilangsungkan sebagai wujud merekatkan antar kelompok masyarakat khususnya Pasar Gede.
Kontestasi Ruang dan Simbol Perkotaan di Pasar Gede
Kontestasi ruang dan simbol perkotaan memang tidak terlalu mencolok, bahkan hampir tidak ada di Pasar Gede. Kita bisa melihat Pasar Gede dari dinamika yang terjadi didalamnya. Dinamika di Pasar Gede dapat dilihat dari 4 sudut pandang, yaitu dari sisi pedagang, pengelola pasar, warga sekitar, dan sejarawan. Kesamaan dinamika yang disebutkan terjadi di Pasar Gede dari semua sudut pandang adalah peristiwa kebakaran yang sempat terjadi sebanyak tiga kali.
Peristiwa kebakaran pertama ada pada zaman agresi militer Belanda. Dibakarnya Pasar Gede untuk menghilangkan jejak.
Kebakaran kedua terjadi pada tahun 1998, dimana Pasar Gede menjadi salah satu pusat kerusuhan dikarenakan mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitarnya adalah etnis Tionghoa, sasaran dari kerusuhan tersebut. Kebakaran yang kedua ini membakar bagian depan Pasar Gede yang merupakan bangunan tambahan dari yang sudah ada sebelumnya. Orang-orang Tionghoa yang memiliki toko di sekitar Pasar Gede akhirnya menutup tokonya dan menulis “Pro Jawa” di depan tokonya, agar terhindar dari penjarahan dan pembakaran, serta menghindari konflik yang lebih besar.
Kebakaran ketiga terjadi pada tahun 2000 yang disebabkan oleh korsleting listrik.
Sedangkan secara gambaran besarnya tidak pernah ada kontestasi maupun konflik serius yang terjadi di Pasar Gede, baik antara pedagang, pemerintah, maupun masyarakat sekitarnya. Hal ini bukan karena Pasar Gede memang tentram dan terbebas dari kontestasi, namun konflik maupun kontestasi yang coba dibangun di Pasar Gede tidak pernah benar-benar berhasil. Kegagalan kontestasi ini disebabkan oleh ketahanan sosial dan komunitas untuk mempertahankan keaslian dan identitas budaya Pasar Gede.
Jika ditilik lebih dalam, pasca kebakaran 1998-2000 sempat terjadi pertentangan antara keinginan pedagang dengan keinginan pemerintah kota tentang wacana Pasar Gede yang akan dijadikan pasar modern ataupun perpaduan antara pasar modern dan tradisional. Pada saat itu sempat ada investor yang mencoba mengambil peran disana, dengan melakukan pembangunan yang dibiayai oleh investor. Beberapa pihak yang terlibat yaitu Pemerintah Kota Surakarta, DPRD Kota Surakarta, investor, dan komunitas Pasar Gede secara masif baik pedagang, buruh gendong, supir becak, tukang parkir, hingga aktivis terlibat dalam dinamika Pasar Gede saat itu.
Peristiwa itu bisa disebut sebagai sebuah momentum dan akhirnya Pasar Gede dikembalikan menjadi bentuk semula menjadi suatu monumen partisipatif bagi masyarakat Kota Solo. Pada saat itu masyarakat kota terutama pedagang secara masif melakukan perlawanan dan berupaya mempengaruhi kebijakan publik pada saat itu yang ingin merubah bentuk Pasar Gede baik dari sisi bangunan maupun ruang kegiatan yang ada disana.
Pasar Gede didukung oleh banyak elemen masyarakat baik budayawan, sosiologi, sejarawan, ekonom yang bergerak bersama aktivis gerakan mahasiswa ikut menyuarakan bahwa Pasar Gede harus dikembalikan ke bentuk semula. Akhirnya Pasar Gede dikembalikan seperti semula, karena dari segi hukum pasar ini sudah dilindungi UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Hingga saat ini Pasar Gede menjadi kekuatan dan daya tarik modal sosial. Pasar Gede hingga saat ini menjadi daya tarik dan simbol dari Kota Solo, bisa dilihat dari beberapa event maupun pamflet, baliho, maupun event besar sering menampilkan gambar Pasar Gede yang menjadi ikon.
Pasar Gede juga merupakan simbol akulturasi di Kota Surakarta, hal inilah yang menjadi salah satu ketahanan sosial yang dapat dilihat di pasar tradisional. Perkembangan dan perubahan pasti tetap dialami namun tetap berpijak ada akarnya. Pasar Gede juga memiliki banyak nilai yang tetap lestari selama fungsi organik pasar itu sendiri tidak diubah. Pasar Gede merupakan ruang publik yang menjadi memori kolektif masyarakat kota, memiliki nilai sejarah, nilai sebagai heritage, nilai pendidikan,dan terutama nilai ekonomi didalamnya.
Kesimpulan
Pasar Gede merupakan salah satu urban heritage yang tetap lestari dan bertahan dengan keasliannya. Pasar Gede memegang peran penting sebagai simbol dan ikon Kota Surakarta dengan nilai historis dan akulturasi yang kaya didalamnya. Jika dilihat dari permukaan memang tidak ada konflik ataupun kontestasi yang terjadi dalam Pasar Gede. Namun Pasar Gede memiliki dinamikanya sendiri. Berkat daya dukung sosial seluruh elemen masyarakat kota, seluruh upaya kontestasi maupun perebutan di Pasar gede berhasil digagalkan. Kegagalan kontestasi ini disebabkan oleh ketahanan sosial dan komunitas untuk mempertahankan keaslian dan identitas budaya Pasar Gede sebagai ikon dan simbol perkotaan di Kota Surakarta. Ketahanan sosial ini patut ditiru oleh pasar-pasar tradisional dan urban heritage lainnya agar kelestarian dan keaslian budaya tidak tergerus oleh waktu dan kepentingan segelintir pihak saja.
Artikel ini merupakan hasil penelitian Kualitatif dari Tim Riset 7 Sosiologi Perkotaan angkatan 2019.
All credits goes to: Ruhul, Rachel, Jessica, Alya, dan Akihito.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H