Kebakaran kedua terjadi pada tahun 1998, dimana Pasar Gede menjadi salah satu pusat kerusuhan dikarenakan mayoritas masyarakat yang tinggal di sekitarnya adalah etnis Tionghoa, sasaran dari kerusuhan tersebut. Kebakaran yang kedua ini membakar bagian depan Pasar Gede yang merupakan bangunan tambahan dari yang sudah ada sebelumnya. Orang-orang Tionghoa yang memiliki toko di sekitar Pasar Gede akhirnya menutup tokonya dan menulis “Pro Jawa” di depan tokonya, agar terhindar dari penjarahan dan pembakaran, serta menghindari konflik yang lebih besar.
Kebakaran ketiga terjadi pada tahun 2000 yang disebabkan oleh korsleting listrik.
Sedangkan secara gambaran besarnya tidak pernah ada kontestasi maupun konflik serius yang terjadi di Pasar Gede, baik antara pedagang, pemerintah, maupun masyarakat sekitarnya. Hal ini bukan karena Pasar Gede memang tentram dan terbebas dari kontestasi, namun konflik maupun kontestasi yang coba dibangun di Pasar Gede tidak pernah benar-benar berhasil. Kegagalan kontestasi ini disebabkan oleh ketahanan sosial dan komunitas untuk mempertahankan keaslian dan identitas budaya Pasar Gede.
Jika ditilik lebih dalam, pasca kebakaran 1998-2000 sempat terjadi pertentangan antara keinginan pedagang dengan keinginan pemerintah kota tentang wacana Pasar Gede yang akan dijadikan pasar modern ataupun perpaduan antara pasar modern dan tradisional. Pada saat itu sempat ada investor yang mencoba mengambil peran disana, dengan melakukan pembangunan yang dibiayai oleh investor. Beberapa pihak yang terlibat yaitu Pemerintah Kota Surakarta, DPRD Kota Surakarta, investor, dan komunitas Pasar Gede secara masif baik pedagang, buruh gendong, supir becak, tukang parkir, hingga aktivis terlibat dalam dinamika Pasar Gede saat itu.
Peristiwa itu bisa disebut sebagai sebuah momentum dan akhirnya Pasar Gede dikembalikan menjadi bentuk semula menjadi suatu monumen partisipatif bagi masyarakat Kota Solo. Pada saat itu masyarakat kota terutama pedagang secara masif melakukan perlawanan dan berupaya mempengaruhi kebijakan publik pada saat itu yang ingin merubah bentuk Pasar Gede baik dari sisi bangunan maupun ruang kegiatan yang ada disana.
Pasar Gede didukung oleh banyak elemen masyarakat baik budayawan, sosiologi, sejarawan, ekonom yang bergerak bersama aktivis gerakan mahasiswa ikut menyuarakan bahwa Pasar Gede harus dikembalikan ke bentuk semula. Akhirnya Pasar Gede dikembalikan seperti semula, karena dari segi hukum pasar ini sudah dilindungi UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Hingga saat ini Pasar Gede menjadi kekuatan dan daya tarik modal sosial. Pasar Gede hingga saat ini menjadi daya tarik dan simbol dari Kota Solo, bisa dilihat dari beberapa event maupun pamflet, baliho, maupun event besar sering menampilkan gambar Pasar Gede yang menjadi ikon.
Pasar Gede juga merupakan simbol akulturasi di Kota Surakarta, hal inilah yang menjadi salah satu ketahanan sosial yang dapat dilihat di pasar tradisional. Perkembangan dan perubahan pasti tetap dialami namun tetap berpijak ada akarnya. Pasar Gede juga memiliki banyak nilai yang tetap lestari selama fungsi organik pasar itu sendiri tidak diubah. Pasar Gede merupakan ruang publik yang menjadi memori kolektif masyarakat kota, memiliki nilai sejarah, nilai sebagai heritage, nilai pendidikan,dan terutama nilai ekonomi didalamnya.
Kesimpulan
Pasar Gede merupakan salah satu urban heritage yang tetap lestari dan bertahan dengan keasliannya. Pasar Gede memegang peran penting sebagai simbol dan ikon Kota Surakarta dengan nilai historis dan akulturasi yang kaya didalamnya. Jika dilihat dari permukaan memang tidak ada konflik ataupun kontestasi yang terjadi dalam Pasar Gede. Namun Pasar Gede memiliki dinamikanya sendiri. Berkat daya dukung sosial seluruh elemen masyarakat kota, seluruh upaya kontestasi maupun perebutan di Pasar gede berhasil digagalkan. Kegagalan kontestasi ini disebabkan oleh ketahanan sosial dan komunitas untuk mempertahankan keaslian dan identitas budaya Pasar Gede sebagai ikon dan simbol perkotaan di Kota Surakarta. Ketahanan sosial ini patut ditiru oleh pasar-pasar tradisional dan urban heritage lainnya agar kelestarian dan keaslian budaya tidak tergerus oleh waktu dan kepentingan segelintir pihak saja.
Artikel ini merupakan hasil penelitian Kualitatif dari Tim Riset 7 Sosiologi Perkotaan angkatan 2019.
All credits goes to: Ruhul, Rachel, Jessica, Alya, dan Akihito.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H