Berapa lama lagi keluarga dari korban kasus pelanggaran HAM di Indonesia harus menyuarakan kekecewaan mereka terhadap sikap pemerintah dalam menangani kasus-kasus HAM ini untuk akhirnya mendapatkan keadilan?Â
Telah memasuki 17 Tahun dan 839 hari Kamis sejak 18 Januari 2007, sejak hari pertama aksi damai yang dinamakan Aksi Kamisan dimulai dan aksi ini masih menuntut negara untuk mengatasi dan meninvestigasi kasus pelanggaran HAM Â berat di Indonesia. Gerakan sosial ini merupakan tindakan protes dari keluarga korban Tragedi 1965, Tragedi Semanggi I dan II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan pembunuhan Munir.
 Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), yang dicetuskan oleh Maria Katarina Sumarsih (Ibu dari Bernadinus Realino Norma, yang merupakan kotban penembakan Semanggi I), Suciwati (Istri dari Munir), dan Bedjo Untung (memperjuangkan kasus tragedi pembantaian 1965) bergabung untuk memulai gerakan Aksi Kamisan ini.Â
Aksi damai ini dilaksanakan secara berkala pada hari kamis setiap minggunya sebagai bentuk protes kepada negara atas pengabaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia (Aditya Yudistira & Purwo Husodo, 2021).Â
Terinspirasi dari aksi damai Asociacion Madres de Plaza de Mayo di Buenos Aires, Argentina, aksi ini awalnya dinamakan Aksi Diam yang dibuat untuk memperjuangkan pengungkapan fakta kebenaran, mencari keadilan, dan mengingatkan publik untuk melawan lupa dari kasus-kasus pelanggaran HAM ini (Aditya Yudistira & Purwo Husodo, 2021).Â
Menggunakan payung hitam dan pakaian berwarna hitam sebagai simbol aksi ini, Aksi Diam atau Aksi Kamisan ini dimulai pertama kalinya dan diselenggarakan pada tanggal 18 Januari 2007 di seberang Istana Merdeka atau Istana Presiden.Â
Tersebar di 54 titik kota atau kabupaten di Indonesia dengan 2 titik lainnya di luar negeri, aksi ini timbul bukan hanya karena merupakan bentuk perlawanan dan perjuangan dari keluarga korban, tetapi karena kelalaian, ketidakpedulian dan pengabaian pemerintah terhadap kasus-kasus tersebut.Â
Jaksa Agung yang mengabaikan pemberlakuan penyelidikan pelanggaran HAM berat, pernyataan serta komitmen yang berubah-ubah dari Jaksa Agung, penolakan penyelidikan hasil Komnas HAM, pembuatan tim penyelidik yang berakhir nihil dan Panitia Khusus DPR yang saat itu menyatakan bahwa mereka tidak menemukan adanya pelanggaran HAM Â di dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Widya Lestari Ningsih, 2024).
Pada masa kampanye pemilu 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla berjanji untuk menginvestigasi dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dan benar saja, setelah dipilih, dicantumkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019).Â
Setelah pelantikannya, Presiden Jokowi membentuk Tim Komite Penyelesaian Masalah HAM yang bersifat independen dan berkerjasama secara kolektif untuk mengungkapkan kebenaran atas kasus-kasus pelanggaran HAM dengan hasil penyelidikan Komnas HAM selama masa pemerintahannya.Â
Presiden Joko Widodo juga mengundang peserta Aksi Kamisan dan JSKK ke Istana Merdeka dimana Presiden Jokowi berjanji segera menindaklanjuti tuntutan-tuntutan dari JSKK. Meskipun mendapatkan pengakuan dari presiden atas pelanggaran HAM berat pada kasus-kasus yang terjadi di masa lalu maupun saat ini.Â