Mohon tunggu...
Jessica Cornelia Ivanny
Jessica Cornelia Ivanny Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura

Penulis Buku Museum Kata

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Quo Vadis 20 Tahun Mahkamah Konstitusi: Antara Idealitas dan Realitas

23 Juli 2023   13:20 Diperbarui: 23 Juli 2023   13:21 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: @mahkamahkonstitusi/IG

Meski akhirnya, doktrin itu tetap ditentang oleh pihak-pihak yang pro terhadap judicial restraint karena dianggap telah melanggar prinsip separation of power. Apalagi, Indonesia selaku negara civil law tidak memberikan porsi besar kepada hakim untuk membuat hukum (judges apply law, they don’t make it). Aliran modesty dalam judicial restraint yang dikaji oleh Posner (2012) menuntut hakim untuk menghormati keputusan yang diambil oleh lembaga negara lain. Sehingga pada batas-batas tertentu, MK harus mengambil sikap menahan diri, berhati-hati, dan tidak mengambil sikap vis a vis dengan lembaga negara lain saat melakukan kewenangannya untuk menguji suatu kebijakan/undang-undang. Dalam tataran praktis, MK juga sering mempraktikkan judicial restraint dengan menggunakan pendekatan “pilihan kebijakan hukum bersifat terbuka” bagi pembentuk undang-undang. Praktik tersebut bisa terlihat dalam beberapa putusan MK, seperti putusan MK Nomor 010/PUU-III/2005, putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, dan putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016. Menariknya, pada kasus putusan MK yang terakhir, konstruksi kontradiksi antara judicial activism dan judicial restraint kian jelas kala mayoritas masyarakat menyayangkan keputusan MK yang tidak membuat terobosan hukum untuk memperluas makna zina dalam KUHP dan malah menyerahkan kekuasaan tersebut kepada lembaga pembentuk undang-undang.

Hingga hari ini, paradoks antara judicial activism dan judicial restraint belum memiliki garis batas dan konteks yang jelas mengenai kapan penerapannya dapat dijustifikasi atau dilegitimasi. Ketiadaan garis batas tersebut berkonsekuensi pada timbulnya polemik, seperti inkonsistensi MK dalam menerapkan doktrin judicial activism atau judicial restraint pada kasus-kasus yang memiliki kesamaan karakteristik dengan kasus yang sebelumnya sudah diputus MK menggunakan salah satu doktrin tersebut, hadirnya standar ganda dalam putusan MK, potensi munculnya pragmatisme pemanfaatan doktrin oleh hakim, menurunnya tingkat kepuasan dan kepercayaan masyarakat terhadap MK, memburuknya relasi antara MK dan lembaga negara lain, hingga potensi terjadinya chaos pada sistem/mekanisme checks and balances. Konsekuensi-konsekuensi tersebut tentu membahayakan ketatanegaraan Indonesia.

Sebagai bentuk respons atas realita paradoks tersebut, MK idealnya merumuskan suatu parameter untuk mengukur tingkat konstitusionalitas suatu kasus/kebijakan sebagai bagian dari derajat kewenangannya atau bukan sehingga mempermudah pemilihan penerapan salah satu doktrin antara judicial activism atau judicial restraint. Sepertinya, MK juga bisa belajar dari Mahkamah Agung Amerika Serikat yang memanfaatkan doktrin political question sebagai parameter untuk mencermati apakah suatu persoalan pengujian konstitusionalitas norma yang dihadapkan padanya menyangkut kewenangan diskresi yang diberikan konstitusi kepada lembaga lain atau tidak. Dengan memanfaatkan doktrin political question sebagai parameter, MK akan lebih mudah membedakan momen ketika harus bertindak aktif menciptakan keadilan substansial (judicial activism) dan kapan harus menahan diri (judicial restraint) demi menghormati lembaga negara lain atas dasar separation of power

Kedua, paradoks antara judicial consistency dan overruling practice. Paradoks ini terjadi dalam ruang lingkup keberlakuan “konsistensi putusan” pada kewenangan hakim konstitusi menguji UU terhadap UUD 1945. Sebenarnya, baik judicial consistency yang berdasarkan doktrin preseden maupun overruling practice, keduanya sama-sama merupakan karakteristik negara hukum yang menganut common law system.  Namun, keduanya sama-sama sudah dipraktikkan oleh MK di Indonesia. Pada kasus judicial consistency, hakim konstitusi Indonesia melalui putusan MK Nomor 56/PUU-XV/2017 dan putusan MK Nomor 84/PUU-X/2012 dalam ratio decidendi-nya terlihat konsisten menggunakan preseden dari putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 untuk menyatakan masih dibutuhkannya UU Pencegahan dan Penodaan Agama. Menurut Sebastian Pompe (2012), preseden merupakan rangkaian putusan saling konsisten antara satu putusan dengan putusan lainnya yang memiliki warna dan corak serupa baik dari sisi isu hukum, pertimbangan hukum, karakter permasalahan dan amar putusan. Tujuannya, selain untuk menciptakan keadilan hukum, juga untuk menciptakan kepastian hukum bagi masyarakat. Penerapan preseden pun secara logis akan menihilkan peluang bagi para hakim untuk mempraktikkan overruling dalam putusan-putusannya.

Overruling memiliki hakikat bahwa MK dapat melahirkan pendirian berbeda dari pendiriannya sebelumnya, dengan pendapat atau pertimbangan hukum yang juga berbeda. Secara faktual, MK melalui putusan Nomor 36/PUU-XV/2017 pernah melakukan overruling terhadap pendapatnya terdahulu dalam putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 yang menentukan KPK bukan lagi bagian dari rumpun kekuasaan yudisial, melainkan lembaga negara di bawah kekuasaan eksekutif. Praktik overruling ini meski menghadirkan inkonsistensi antar putusan MK, namun tujuan utamanya adalah untuk mengoreksi kesalahan interpretasi yudisial oleh hakim sebelumnya dan menyusun pendapat baru berdasarkan kebenaran konstitusional yang ditemukan lewat interpretasi terhadap UUD 1945. Penerapan overruling secara logis juga akan menihilkan peluang bagi MK untuk mempraktikkan judicial consistency dalam putusan-putusannya.

Mengingat sifat kontradiktif antara praktik overruling dan judicial consistency, maka konsekuensinya MK harus betul-betul mencermati apakah pemikiran dan interpretasi hakim konstitusi dalam putusan sebelumnya sudah cukup mewakili kebenaran konstitusi, baik kebenaran konstitusi tertulis maupun kebenaran konstitusi yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, dan apakah legal reasoning yang digunakan hakim sudah menyatakan hukum yang sebenar-benarnya. Parameter-parameter ini yang dapat menjadi poin justifikasi bagi penerapan salah satu praktik antara overruling dan judicial consistency demi meminimalkan praktik inkonsistensi putusan oleh hakim konstitusi yang berbuntut pada hilangnya kepastian hukum dan kepercayaan masyarakat kepada MK.

Post Scriptum

Demikian tulisan sederhana ini membahas soal fenomena paradoks dan peran MK untuk mencegah berkembangnya fenomena tersebut. MK diharapkan bijak dalam memformulasikan parameter konstitusionalitas untuk mempersempit jarak pertentangan antara judicial activism dan judicial restraint. Selain itu, dibutuhkan kemampuan interpretasi dan penalaran hukum (legal reasoning) yang baik oleh hakim konstitusi saat menerapkan judicial consistency atau overruling dalam putusannya.

Catatan ini, harapannya, senantiasa menjadi pengingat untuk menjaga keseimbangan antara idealitas dan realitas peran MK dalam mewujudkan peradilan konstitusi yang modern dan terpercaya. Tinggal bagaimana publik bersama-sama mengawal proses dan kiblat perjalanan MK untuk mencapai cita-citanya. Selamat bertambah usia ke-20, MKRI!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun