Mohon tunggu...
Jessica Cornelia Ivanny
Jessica Cornelia Ivanny Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura

Penulis Buku Museum Kata

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Quo Vadis 20 Tahun Mahkamah Konstitusi: Antara Idealitas dan Realitas

23 Juli 2023   13:20 Diperbarui: 23 Juli 2023   13:21 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Laporan Kinerja MKRI 2022

Idealnya, jika Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada 13 Agustus 2023 akan beranjak dewasa menuju usia 20 tahun, maka kinerjanya hari ini seyogianya sudah jauh lebih baik dan lebih bisa dibanggakan. Apalagi, kelahiran Mahkamah Konstitusi merupakan amanat dari amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang eksistensi dan peran konstitusionalnya kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (terakhir diperbarui dengan UU Nomor 7 Tahun 2020). Menilik ketentuan UUD 1945 dan UU MK, MK dititipkan amanah berupa empat constitutionally entrusted powers dan satu constitutional obligation yang jika serius diemban selama dua dekade terakhir, visi MK untuk menegakkan konstitusi melalui peradilan yang modern dan terpercaya kini harusnya mulai terlihat output-nya. MK mulai memiliki karakter peradilan konstitusi yang unggul (court exellence) dan public trust terhadap MK semakin tinggi.

Mencermati Realitas 

Dalam Laporan Kinerja MK (2022), misi dan tujuan MK tertulis sebagai berikut: a) memperkuat integritas peradilan konstitusi untuk mewujudkan sistem peradilan konstitusi yang bersih dan terpercaya, b) meningkatkan kesadaran pancasila dan konstitusi masyarakat dan penyelenggara negara untuk menegakkan supremasi konstitusi, dan c) meningkatkan kualitas putusan menjadi lebih bermutu dan implementatif. Poin-poin ini selanjutnya dirumuskan sebagai sasaran strategis untuk mengukur target kinerja jangka menengah MK tahun 2020-2024.

Sumber: Laporan Kinerja MKRI 2022
Sumber: Laporan Kinerja MKRI 2022

Dari target kinerja MK tersebut, dengan menggunakan interpretasi kesimpulan skala nilai ordinal >125% sebagai “sangat berhasil”, 100%-125% sebagai “berhasil”, 75%-99,99% sebagai “cukup berhasil”, 30%-74,99% sebagai “kurang berhasil”, 0%-29,99% sebagai “tidak berhasil”, maka rata-rata capaian kinerja keseluruhan MK tahun 2022 dengan skala nilai ordinal sebesar 116,88% telah membuktikan keberhasilan MK dalam mencapai target kinerja tahun 2022.

Sumber: Laporan Kinerja MKRI 2022
Sumber: Laporan Kinerja MKRI 2022

Dikomparasikan dengan capaian sasaran strategis rata-rata MK pada tahun 2021 sebesar 119,03% dan tahun 2020 sebesar 112,37%, dan seandainya tahun 2023 dan 2024 ini MK juga tetap mempertahankan skala nilai ordinal di atas 100%, maka MK dapat dikatakan berhasil merealisasikan target dan visi-misinya selama periode 2020-2024.

Interpretasi penulis terhadap realitas yang sudah terkonstruksi lewat data-data tersebut adalah bahwa MK hari ini sudah jauh berkembang pesat dari sejak tahun 2003 ketika baru merintis karier perjalanannya. Perkembangan tersebut, selain dilihat dari data di atas, bisa juga dilihat dari peningkatan jumlah perkara yang diajukan warga kepada MK untuk diselesaikan. Dikutip dari laman resmi MKRI, pada perkara pengujian UU, jumlah kasus yang diregistrasi pada 2003 adalah 24 kasus, lalu meningkat menjadi 77 kasus (58 perkara baru dan 19 perkara dalam proses yang lalu) pada 2023 dengan akumulasi dua dekadenya mencapai 1699 perkara. Ini menandakan bahwa MK hingga hari ini masih dipercayai sebagai tempat bagi masyarakat menemukan keadilan. Meski di sisi lain, norma kebijakan/undang-undang yang dibuat DPR harus dipertanyakan substansinya karena menuai persoalan secara hierarkis dan konstitusional. Dalam kaitannya dengan kewenangan MK untuk membuat putusan atas perkara-perkara tersebut, penulis lalu menemukan suatu permasalahan yang mesti dijawab.

Fenomena Paradoks dalam MK

Sumber: shutterstock
Sumber: shutterstock
Persoalan tersebut adalah fenomena paradoks yang berkembang dalam MK. Pertama, paradoks antara judicial activism dan judicial restraint. Paradoks ini terjadi dalam ruang lingkup kewenangan MK untuk menciptakan norma baru (positive legislature) atau meniadakan suatu hukum (negative legislature). Pan Mohamad Faiz (2016) mendefinisikan judicial activism sebagai kegiatan seorang hakim mengembangkan teks-teks konstitusi untuk membuat perubahan sosial di lapangan agar nilai-nilai dasar dalam konstitusi dapat diterapkan secara progresif. Judicial activism erat korelasinya dengan keaktifan hakim dalam persidangan untuk menggali alat bukti dan mencari nilai-nilai keadilan, serta menemukan hukum (rechtsvinding) atau menciptakan norma baru melalui sebuah putusan dalam kondisi tertentu (kebuntuan dalam sistem hukum misalnya) sehingga hakim tidak semata-mata berfungsi sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi). Di Indonesia, judicial activism sudah acapkali dipraktikkan oleh MK, misalnya melalui putusan MK Nomor 5/PUU-V/2007, putusan MK Nomor 102/PUU-VII/2009, dan putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014. Dalam setiap putusan tersebut, MK telah membuat norma baru yang bersifat regelling dan terlibat aktif mengubah kebijakan yang diformulasikan oleh DPR. Judicial activism sebenarnya akan sangat terasa manfaatnya ketika MK dihadapkan pada kasus bergejala autocratic legalism yang mengancam konstitusionalisme dan demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun