KPK, alih-alih berkontribusi Jokowi malah cenderung membawa kemunduran yang signifikan.
Menjelang akhir kepemimpinan era Jokowi masih jauh dari harapan. Sejauh satu dekade ini pula Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang dikaji oleh Transparency International Indonesia (TII), mengungkapkan bahwa  pada tahun 2023 memperoleh skor 34 dan peringkatnya merosot dari 110 menjadi 115 ketimbang pada tahun 2014 dengan skor yang sama di peringkat 109. Hal ini dikatakan sebagai stagnasi dalam pemerintahan jokowi di bidangTentunya fakta ini berkaitan erat dengan hadirnya revisi UU KPK Tahun 2019 yang memicu kontroversi bagi kalangan akademik.  Dimana pada tahun 2019, DPR mewacanakan revisi UU KPK yang dengan ajaibnya disetujui oleh jokowi padahal saat pembahasan materi tersebut tidak semua anggota DPR ikut serta (hanya titip presensi) padahal itu adalah kewajiban bagi anggota DPR. Selain itu revisi UU KPK juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna (meaningful partisipation). Artinya DPR dan Jokowi telah melangkahi demokrasi.
KPK telah di obok-obok melalui regulasi tersebut sebagai upaya pelemahan dari dalam. Misalnya, dengan memilih pegawai ASN yang sifatnya birokratis dan mudah dipengaruhi. Akhirnya melahirkan bibit anggota yang tidak berintegritas dan berani melanggar kode etik.
Akhir dari kondisi tersebut berakibat pada korupsi yang kian masif bahkan rusaknya KPK luar-dalam. Hal ini dapat dilihat mandegnya kasus korupsi yang melibatkan elite tertentu, dimana penegakan hukum yang mestinya menjunjung asas equality before the law (semua orang setara dimata hukum) realitanya tidak setara dan sama rata terhadap setiap orang, hanya 'orang-orangnya' Jokowi saja yang bisa terbebas dari skandalnya dengan beralasan pernah berkontribusi dan berjasa dengan negara.
Salah satu contohnya kasus korupsi mantan Kementan, SYL di tuntut 12 tahun denagn vonis 10 tahun padahal korupsinya banyak dan melibatkan ketua KPK Firli Bahuri untuk berkontribusi dalam aksinya namun hingga saat ini skandal mantan ketua KPK tersebut hilang seperti tidak terjadi apa-apa. Hal ini menunjukkan tidak terkontrolnya mekanisme penegakkan hukum di Indonesia.
Kemudian Corruption fight back era jokowi yang kian membuncah hingga menggembosi kerja-kerja pemberantas korupsi, aksi tersebut tidak hanya melalui gratifikasi kepada lembaga dan penegak hukum tetapi corruption fight back saat ini dilakukan dengan tertata rapi melalui pembuatan regulasi tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, seperti RUU KPK 2019 sebagai upaya melawan anti korupsi diabsahkan dengan cepat, padahal pasca UU KPK 2019 terbit pelemahan lembaga ini menjadi nyata dengan turunnya tren CPI Indonesia dari tahun ke tahun. Bahkan drama pelanggaran etik dan idenpedensinya yang patut dipertanyakan.
Selain itu, keterlibatan lembaga DPR sebagai aksi corruption fight back dapat dilihat dengan mangkraknya RUU Perampasan Aset yang dapat menjadi senjata ampuh korupsi, berupa memiskinkan para koruptor dan mengembalikan aset negara yang hilang. Dalam hal ini, alasan para ketua umum partai kurang setuju UU Perampasan Aset, karena UU Perampasan Aset sangat menguntungkan bagi partai politik yang berkuasa, dan anggota partai yang bermasalah akan mendapat perlindungan. Sementara orang-orang yang tidak pro pemerintah atau dianggap penganggu, UU ini dapat menjadi boomerang untuk melemahkan lawan politik.
Meskipun demikian tidak menutup kemungkinan mereka yang tidak setuju adalah pemangku kekuasaan yang takut dimiskinkan akibat kejahatannya. Mengingat DPR adalah salah satu instansi yang anggotanya paling banyak terjerat kasus korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H