Mohon tunggu...
Jesika Nanda Naibaho
Jesika Nanda Naibaho Mohon Tunggu... Mahasiswa - PRL Corporate Associates

Mahasiswi Fakultas Hukum, aktif dalam kepenulisan ilmiah, fokus pada SDG's

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perluasan Konsesi Wilayah Tambang PT. MSM ke Hutan Lindung Tangkoko, Bagaimana Dampaknya bagi Masyarakat dan Ekologi

19 Maret 2024   16:23 Diperbarui: 19 Maret 2024   17:17 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peserta Sekolah Anti Korupsi Batch 2 Manado (Indonesia Corruption Watch) bersosialisasi dengan masyarakat Desa Batu Putih 

Dokumen The State of Indonesia’s Forest (SOIFO) yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2020, menyatakan luas hutan Indonesia secara hukum (de jure) seluas 120,5 juta hektare yang terdiri dari hutan konservasi seluas 21,9 juta hektare, hutan lindung seluas 29,6 juta hektare, hutan produksi terbatas seluas 26,8 juta hektare, hutan produksi biasa seluas 29,2 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 12,8 juta hektare. Sebagai rumah dari banyak makhluk hidup, hutan juga menjadi tempat mata pencaharian bagi sebagian banyak orang yang masih bergantung pada sumber daya alam. Selain itu, hutan yang menyimpan banyak kekayaan alam, seperti emas, nikel, bauksit dan lain-lain mengharuskan pengalihfungsian hutan menjadi wilayah tambang, bahkan tak jarang hutan lindung juga menjadi sasaran pemerintah dan para pengusaha untuk memperluas wilayah tambangnya. Hal ini dilandaskan pada pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwasanya bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk seluas-besarnya kemakmuran rakyat.

Salah satu hutan lindung yang terdampak perluasan wilayah tambang adalah Hutan Lindung Tangkoko di Bitung, Sulawesi Utara. Sebenarnya pada prinsipnya, pemanfaatan hutan hanya dapat digunakan untuk kegiatan sektor kehutanan yang dapat dilakukan pada seluruh kawasan, kecuali hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Namun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan kemudian mengamanatkan kemungkinan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan yang hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.[1] Salah satu pembangunan diluar kegiatan kehutanan adalah pertambangan, melalui pemberian izin pinjam pakai oleh menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Dalam Pasal 5 ayat (1) poin b PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, disebutkan bahwa: 

b. dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan:  

1. turunnya permukaan tanah;  

2. berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan 

3. terjadinya kerusakan akuiver air tanah.

Dalam hal ini artinya penggunaan kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan dengan pola pertambangan bawah tanah dan tidak boleh mengakibatkan turunnya permukaan tanah; berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan terjadinya kerusakan akuiver air tanah.

                 Dalam konteks kasus PT Meares Soputan Mining (PT MSM) yang beroperasi di Minahasa Utara, yang merambah ke berbagai desa dikawasan Tokatindung, seperti Desa Winuri, Desa Rondor, Desa Maen, Desa Pinasungkulan, Desa Pulisan, Desa Desa Kinunang, Desa Kalinaung, Desa Batu Putih Atas dan Desa Batu Putih Bawah.PT MSM sudah mulai beroperasi sejak tahun 1986 di Kota Bitung dan Minahasa Utara. Pada tahun 2015 PT MSM mendapatkan Kontrak Karya (KK) dengan nomor 323.K/30/DJB/2015 dan berakhir pada tahun 2041 dengan tahapan operasi produksi, serta perluasan konsesi sampai ke Hutan Lindung Tangkoko di Bitung. Hal ini yang perlu menjadi fokus perhatian dalam kajian ini, apakah PT MSM sudah memenuhi kriteria yang diamanatkan oleh PP Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan dan juga Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, atau bahkan AMDAL yang sudah ditetapkan.

Peserta Sekolah Anti Korupsi, ICW
Peserta Sekolah Anti Korupsi, ICW

                 Menurut pengakuan masyarakat setempat, terkhusus para nelayan di Desa Batu Putih, aktivitas pertambangan banyak merugikan masyarakat, mulai dari atktivitas bom disekitar tambang yang digunakan untuk penggalian tanah dianggap memicu rusaknya pohon kelapa di daerah lingkar tambang, belum lagi limbah tambang yang dibuang ke sungai dan mengalir ke laut, menyebabkan menurunnya hasil tangkapan ikan para nelayan di wilayah lingkar tambang, khususnya di Desa Batu Putih. Ada juga desa Pinenek yang sumber air nya sudah mati akibat aktivitas tambang, sehingga masyarakat desa sangat bergantung pada aliran air yang diberikan oleh perusahaan, melalui tangki-tangki yang dibuat di depan rumah warga, sangat miris mengingat dulunya desa ini sangat kaya. Belum lagi temuan bahwa Desa Pinasungkulan, tanah dibagian bawah rumah yang mereka diami saat ini sudah banyak berlubang akibat pengeboran tambang yang seringkali dibuat dengan garis miring, ini cukup membahayakan masyarakat karena sangat berpotensi longsor dan banjir. Ini menjadi beberapa kasus mengerikan dari aktivitas tambang  di wilayah Minahasa Utara dan Kota Bitung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun