Seiring dengan perkembangan jaman yang ada, dunia kini telah mengalami revolusi. Selain itu, telah kita ketahui bahwa dalam bidang teknologi kini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.Â
Semua hal yang pada jaman dulu sulit atau bahkan tidak bisa dilakukan kini bisa dilakukan dengan mudah, bisa dalam hal komunikasi, industri, ataupun pangan. Bahkan perkembangan teknologi juga mempengaruhi keanekaragaman hayati.Â
Berbagai negara maju berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan bibit-bibit tanaman yang unggul untuk meningkatkan produktivitas bahan pangan dan meningkatkan kualitas produk. Demi mencapi tujuan tersebut kini banyak negara yang memakai teknologi kultur jaringan. Mungkin sekarang ini banyak orang yang sudah mengenal isitilah kultur jaringan tetapi ada juga yang belum.
Lalu, sebenarnya apa itu kultur jaringan? Kultur jaringan adalah kumpulan teknik yang digunakan untuk memelihara atau menumbuhkan sel tanaman, jaringan atau organ dalam kondisi steril pada media kultur nutrisi dari komposisi yang dikenal. Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan secara bahasa asing dikenal sebagai (tissue culture).Â
Kultur ialah budidaya dan jaringan pada sekelompok sel yang memiliki bentuk dan fungsi yang sama. Sehingga, kultur jaringan bermakna membudidayakan suatu jaringan tanaman jadi tanaman kecil yang memiliki sifat seperti induknya. Kultur didefinisikan sebagai suatu teknik membudidayakan jaringan supaya menjadi organisme yang utuh dan memiliki sifat yang sama dengan induknya.Â
Secara umum, kultur jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilaksankan untuk membuat bagian tanaman dari (akar, tunas, dan jaringan tumbuh tanaman) tumbuh jadi tanaman utuh (sempurna) dikeadaan in vitro.Â
Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca" karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu.Â
Keuntungan yang didapat dari kultur jaringan antara lain yaitu lebih hemat tempat, hemat waktu, dan tanaman yang dihasilkan dari kultur jaringan akan memiliki sifat yang sama dengan induknya, serta bisa menghasilkan tanaman dengan jumlah yang cukup banyak. Selain itu, proses untuk sistem kultur jaringan jauh lebih cepat  daripada pergandaan konvensional, hal ini juga menjadi alasan kuat mengapa kini banyak yang memilih kultur jaringan. Â
Proses kultur jaringan memiliki beberapa tahapan. Yang pertama yaitu, pemilihan dan penyiapan tanaman induk sumber eksplan. Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya yang nanti akan disimpan secara khusus di rumah kaca atau greenhouse agar eksplan yang akan dikulturkan sehat dan dapat tumbuh baik serta bebas dari sumber kontaminan pada waktu dikulturkan secara in-vitro.Â
Yang kedua, inisiasi kultur, dalam tahap ini juga diharapkan bahwa eksplan yang dikulturkan akan menginisiasi pertumbuhan baru, sehingga akan memungkinkan dilakukannya pemilihan bagian tanaman yang tumbuhnya paling kuat,untuk perbanyakan (multiplikasi) pada kultur tahap selanjutnya (Wetherell, 1976).Â
Ketiga, sterilisasi dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril. Keempat, multiplikasi, yaitu menggandakan bahan tanaman yang diperbanyak seperti tunas atau embrio, serta memeliharanya dalam keadaan tertentu sehingga sewaktu-waktu bisa dilanjutkan untuk tahap berikutnya. Kelima, pemanjangan tunas, induksi, dan perkembangan akar.Â
Tujuan tahap ini yaitu untuk membentuk akar dan pucuk tanaman yang cukup kuat untuk dapat bertahan hidup sampai saat dipindahkan dari lingkungan in-vitro ke lingkungan luar. Dalam tahap ini, kultur tanaman akan memperoleh ketahanannya terhadap pengaruh lingkungan, sehingga siap untuk diaklimatisasikan. Keberhasilan tahap ini tergantung pada tingginya mutu tunas yang dihasilkan pada tahap sebelumnya. Yang terakhir yaitu aklimatisasi. Pada proses perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, tahap aklimatisasi planlet merupakan salah satu tahap kritis yang sering menjadi kendala dalam produksi bibit secara masal. Pada tahap ini, planlet atau tunas mikro dipindahkan ke lingkungan di luar botol seperti rumah kaca , rumah plastik, atau screen house (rumah kaca kedap serangga). Proses ini disebut aklimatisasi. Aklimatisasi adalah proses pengkondisian planlet atau tunas mikro (jika pengakaran dilakukan secara ex-vitro) di lingkungan baru yang aseptik di luar botol, dengan media tanah, atau pakis sehingga planlet dapat bertahan dan terus menjadi bibit yang siap ditanam di lapangan. Prosedur pembiakan dengan kultur jaringan baru bisa dikatakan berhasil jika planlet dapat diaklimatisasi ke kondisi eksternal dengan keberhasilan yang tinggi.
Tentunya kultur jaringan yang sudah dikenal oleh banyak orang ini tidak hanya memiliki dampak yang positif saja namun juga memiliki dampak negatif. Namun manusia seringkali melupakan atau menghiraukan dampak negative yang akan ditimbulkan apabila kultur jaringan dilakukan secara terus-menerus. Lalu apa dampak negatifnya dan apa hubungannya dengan sumber pangan di Indonesia? Yang menjadi permasalahan yaitu negara-negara maju yang memiliki ilmu pengetahuan yang berkembang dengan pesat serta teknologi yang lebih canggih melakukan kultur jaringan dengan mengambil plasma nutfah dari negara lain atau negara-negara berkembang. Sebelum itu, apa itu plasma nutfah? Menurut teori August Weismann (ahli biologi abad ke-19), plasma nutfah yang independen dari semua sel lain dari tubuh (somatoplasma), adalah elemen penting dari sel benih (telur dan sperma) dan merupakan bahan keturunan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Atau mudahnya, plasma nutfah adalah substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta jasad renik. Â Leatk geografis Indonesia yang berada di wilayah tropis dan memiliki hutan hujan tropis yang luas membuat kekayaan plasma nutfah di Indonesia melimpah ruah. Melihat hal ini, plasma nutfah dapat menjadi sumber penghidupan. Tetapi jika negara-negara maju mengambil plasma nutfah dari Indonesia secara terus-menerus, maka plasma nutfah dari Indonesia dapat habis. Maka dari itu sangat mungkin bila tanaman endemik atau khas negara kita dapat hilang akibat habisnya plasma nutfah. Selain itu, tanaman asli yang digunakan sebagai media kultur jaringan juga dapat terancam punah. Hal ini disebabkan karena hasil dari kultur jaringan akan lebih baik dari tanaman aslinya, sehingga orang-orang akan meninggalkan atau tidak merawat tanaman yang menjadi media dari kultur jaringan. Bahkan dampak tersebut sudah mulai terjadi, contohnya jika kita ke daerah tertentu dan menemui obrolan tentang jenis bahan pangan lokal yang namun sekarang tinggal nama, tanamannya sendiri sudah tidak dapat ditemukan. Setiap bahan pangan tidak mengandung seluruh zat gizi yang kita perlukan dalam tubuh, setiap bahan pangan memilki kandungan yang berbeda-beda dan akan saling melengkapi. Jika semakin sedikit jenis bahan pangan yang ada maka dalam jangka waktu panjang akan terjadi kemiskinan pasokan zat gizi. Situasi ini akan menjadi ancaman yang besar, bukan hanya dari sisi habisnya plasma nutfah saja, tetapi dampak dari habisnya plasma nutfah tersebut bagi manusia dan lingkungannya. Jika hal ini terus saja dilakukan maka dampak yang paling terasa yaitu ketahanan hidup manusia khususnya dalam bidang pangan.
Melihat dari dampak dan resiko yang akan terjadi dari pengambilan plasma nuftah oleh negara maju untuk dikembangkan di negara sendiri, maka dari itu , dari pembahasan diatas penulis merasa tidak setuju apabila negara maju mengambil gen asli atau plasma nutfah untuk dikembangkan di negaranya sendiri. Sekian artikel yang dapat saya sampaikan. Mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan baik kata maupun huruf. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Hal. 252.
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/0306919288900292
Galton, Francis. "A Theory of Heredity." Journal of the Anthropological Institute of Great Britain and Ireland (1876): 329--48. https://archive.org/stream/journalroyalant14irelgoog#page/n350/mode/2up (Accessed January 22, 2015).
Churchill, Frederick B. "August Weismann and a break from tradition." Journal of the History of Biology 1 (1968): 91--112.
https://www.britannica.com/science/germ-plasm-theory
http://mapalipmaindonesia.blogspot.com/2012/06/plasma-nutfah.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Plasma_nutfah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H