Kehilangan mengoyak jiwanya, meninggalkan ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh kesendirian dan tanggung jawab yang datang bertubi-tubi. Ia memandang jauh ke luar jendela, mencoba memahami kepergiannya yang terasa begitu mendadak. Dunia yang dulu familiar kini berubah menjadi labirin tak terjamah, memaksanya menapaki jalannya sendiri, tanpa petunjuk dan tanpa harapan yang jelas.Â
Kehidupan yang dulu penuh canda tawa kini menyisakan keheningan yang mencekam. Satu-satunya yang mengisi hari-harinya adalah adiknya, yang masih rapuh dan membutuhkan perlindungan. Ia merasa bertanggung jawab menjadi pengganti orang tua, menjadi penuntun yang kini ia sendiri tak tahu ke mana arahnya.
       Dalam kesendirian itu, Aina perlahan menemukan kekuatan baru. Di antara luka dan ketidakpastian, ia merasa seperti bunga liar yang berjuang tumbuh di tengah kehampaan. Kehilangan telah mencuri tawa dari hidupnya, menjadikannya pribadi yang lebih pendiam, tetapi kasih sayangnya kepada Seli, adiknya tak pernah luntur.
 Setiap hari, ia mencoba menemukan cara baru untuk tetap bertahan, meski sering kali terasa lebih berat dari segala yang pernah ia bayangkan. Dengan rasa sayang dan tekad, Aina menerima peran sebagai penjaga satu-satunya jiwa yang tersisa, menjadi sosok yang tidak boleh menyerah. Hanya demi adiknya, ia rela menanggung segala beban, mengabaikan impian, dan berjuang di tengah kesulitan.
     Ketika lulus SMP, Aina memutuskan untuk berhenti dari dunia pendidikan. Ia membiarkan impian-impian itu menguap begitu saja. Dengan realitas yang menghimpit, ia tak punya banyak pilihan selain bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aina akhirnya bekerja sebagai penjaga toko kelontong milik tetangganya. Pekerjaan ini tidak memberi banyak, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, tapi Aina tidak meminta lebih.Â
Setiap hari, ia menyimpan rasa syukur dalam hatinya. Meski dalam keterbatasan, ia masih memiliki kesempatan untuk bertahan hidup, meski dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
  Setiap pagi seperti biasanya, Aina mengantarkan Seli ke sekolah dengan berjalan kaki. Mereka bergandengan tangan, melintasi jalan kecil di bawah pepohonan rindang yang memberikan sedikit kesejukan. Aina menatap wajah ceria Seli, dan senyum kecil terlukis di wajahnya.
"Nanti sepulang sekolah jangan lupa jemput Seli ya, Kak!" seru Seli sambil tersenyum riang.
"Iya, Seli. Kakak pasti jemput. Semangat ya di sekolah," jawab Aina dengan lembut, membalas senyum adiknya.
  Setelah memastikan Seli masuk ke sekolah, Aina kembali pulang untuk bersiap bekerja. Pekerjaan yang ia lakukan tidaklah ringan, terlebih untuk seorang perempuan. Ia sering harus membawa barang-barang berat, mengangkat dan menata stok, bahkan berjalan jauh untuk membeli kebutuhan toko yang habis. Semua ini ia lakukan dengan penuh keikhlasan. Ia rela, demi Seli, meski tidak memiliki kendaraan dan harus berjalan jauh di bawah terik matahari.
       Pukul 12.15 siang, ketika matahari tepat berada di atas kepala, Aina keluar dari toko untuk menjemput Seli. Biasanya, setelah menjemput adiknya, ia kembali ke toko dan melanjutkan pekerjaan hingga sore hari. Namun, hari itu terasa berbeda. Sesampainya di sekolah, Aina melihat Seli duduk di bangku luar kelas dengan ekspresi cemas. Kedua tangannya meremas ujung bajunya, seolah ada sesuatu yang menghimpit hatinya.
"Seli, ada apa?" tanya Aina dengan lembut, mencoba menenangkan adiknya.
Seli mendongak, matanya basah oleh air mata yang tertahan. "Tadi temanku bilang mereka mau datang ke rumah, tapi aku nggak mau," ucapnya dengan suara bergetar.
Aina merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. "Kenapa kamu nggak mau, Seli? Mereka cuma ingin main dan berteman sama kamu."
Seli menunduk, menggigit bibirnya. "Aku takut, Kak... kalau mereka tahu kita cuma tinggal berdua, mereka bakal nggak mau main sama kita lagi. Mereka semua punya orang tua, Kak."
   Aina terdiam, hatinya seakan dihantam ribuan jarum yang menusuk pelan namun dalam. Ia menggenggam tangan Seli erat-erat, mencoba menguatkan dirinya sendiri sebelum menguatkan adiknya.Â
"Seli, kita memang tidak punya orang tua lagi, tapi kamu punya Kakak. Kakak akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Kita bisa menghadapi ini bersama."
     Seli memandang wajah kakaknya, dan di matanya yang basah itu terlihat kepercayaan. Kepercayaan pada kakaknya yang selalu ada untuknya, yang menjadi pengganti orang tua dan pelindung. Setelah berbincang sejenak, Aina berhasil menghibur Seli.Â
Mereka berjalan pulang berdua, melintasi jalan yang sama, namun kali ini hati Aina terasa lebih berat. Ia ingin adiknya bahagia, meski kadang ia sendiri tak yakin bagaimana caranya. Beban kehilangan dan tanggung jawab yang begitu besar semakin menekan dadanya, namun ia tahu ia tidak boleh menyerah.
  Sesampainya di rumah, Aina melihat wajah Seli yang masih tampak muram. Dalam upaya untuk mengalihkan pikirannya, Aina teringat sesuatu yang bisa membuat Seli senang.Â
"Bagaimana kalau kita bikin kue bersama? Kakak ajarin kamu bikin kue bolu. Gimana?"
Mata Seli seketika berbinar. "Kue bolu? Iya, Kak, Seli suka itu!"
    Mereka berdua segera beraksi di dapur kecil. Aina mengajarkan setiap langkahnya dengan sabar, mencampurkan tepung, gula, dan telur, sambil sesekali bercanda dan tertawa. Momen itu begitu hangat, sejenak membuat Aina merasa lepas dari semua kesedihan dan beban. Melihat senyum di wajah Seli, ia merasa bahwa semua pengorbanannya sepadan. Setelah kue matang, mereka duduk di meja makan dan menikmati hasil kerja keras mereka. Di tengah kesederhanaan itu, Aina merasakan sebuah harapan baru tumbuh. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang demi Seli, apapun yang terjadi.
   Namun, di tengah kebahagiaan kecil itu, suara ketukan pelan di pintu membuat mereka berhenti. Aina bangkit dan membuka pintu, mendapati seorang wanita tua berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kerutan namun tersenyum lembut.
"Permisi, Nak. Saya Ibu Lestari, tetangga sebelah. Saya dengar cerita tentang kamu dan adikmu. Bagaimana kalau kita berbagi makanan dan cerita? Saya ingin membantu," ucapnya dengan nada hangat dan penuh perhatian.
Aina merasa terkejut sekaligus lega. Ada perasaan hangat yang menyelimuti hatinya, sebuah harapan bahwa ia dan Seli tidak benar-benar sendiri. Dengan senyum kecil, ia mengangguk. "Tentu, Bu. Kami sangat senang sekali."
   Ibu Lestari masuk, dan mereka menghabiskan sore itu bersama-sama. Sambil berbagi cerita dan makanan, suasana yang awalnya penuh kesepian kini terasa lebih hangat. Ibu Lestari menceritakan masa mudanya, perjuangan hidupnya, dan bagaimana ia juga pernah merasa sendirian. Aina mendengarkan dengan seksama, sementara Seli tampak menikmati setiap kisah yang diceritakan.
    Di tengah kebersamaan itu, Aina merasakan kembali hangatnya cinta dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Meski ia kehilangan banyak hal, ia masih memiliki adiknya dan kini, seseorang yang peduli seperti Ibu Lestari. Kehadiran wanita tua itu memberikan sedikit kelegaan di hatinya, bahwa hidup tidak selamanya harus dijalani sendiri. Saat matahari mulai tenggelam, Ibu Lestari pamit. Aina dan Seli mengantarnya hingga ke depan pintu, dan sebelum pergi, wanita tua itu menggenggam tangan Aina.Â
"Nak, kamu adalah gadis yang kuat. Jangan pernah menyerah. Kamu tidak sendiri, ingat itu."
        Kata-kata itu menyentuh hati Aina, memberikan kekuatan baru yang sebelumnya tak pernah ia rasakan. Dengan tekad yang bulat, ia memutuskan bahwa tidak peduli seberapa berat jalannya, ia akan terus berjuang demi Seli, demi masa depan mereka. Dalam keheningan malam itu, Aina duduk di samping Seli yang sudah tertidur, mengusap kepalanya lembut. Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa cinta dan kebersamaan adalah kekuatan terbesar yang mereka miliki.Â
Meskipun dunia di luar sana masih penuh tantangan, Aina yakin bahwa ia mampu melewati semuanya. Kini, ia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk menjaga senyum adiknya yang tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H