Wacana pengangkatan Setya Novanto menjadi Ketua DPR kembali bergulir. Wacana ini mencuat setelah Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengabulkan pemulihan nama baik Novanto terkait kasus ‘Papa Minta Saham’ PT Freeport Indonesia.
MKD mendasari keputusannya berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Setya terkait UU Nomor 11/2008 tentang ITE tentang perubahan atas UU nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusan MK ini, disebutkan bahwa rekaman tidak menjadi alat bukti karena tidak direkam oleh penegak hukum. Surat pengajuan pemulihan nama baik sendiri dilayangkan Setya Novanto ke MKD pada awal September lalu. Setya meminta pemulihan nama baik tersebut karena gugatannya ke MK menang.
Politikus Golkar, Ridwan Bae mengusulkan agar Novanto kembali menduduki posisinya sebagai Ketua DPR pasca Mahkamah Kehormatan Dewan mengabulkan permohonan rehabilitasinya. Novanto mundur dari pucuk pimpinan legislatif lantaran terkena kasus ‘Papa Minta Saham’ milik PT Freeport Indonesia.
Usulan tersebut dinilai sah-sah saja secara hukum, namun secara moral etika dan politik hal itu dianggap dapat menyebabkan instabilitas di internal partai Golkar sedangkan diketahui bersama bahwa partai tersebut baru saja selesai dari konflik internal dan dualism kepengurusan yang berkepanjangan. Bahkan lebih dari itu, jika hal itu terjadi akan menimbulkan kegaduhan baru.
Harus diakui bahwa kepentingan dalam politik itu adalah di atas segalanya. Bila kita mereviev kembali beberapa waktu yang lalu, saat kasus ‘Papa Minta Saham’ sempat menjadi topik utama perhatian publik. Pada saat itu, dua orang hakim MKD yang berasal dari partai Golkar salah satunya adalah Ridwan Bae menyatakan bahwa Novanto melakukan pelanggaran berat dalam kasus tersebut. Namun, sekarang Ridwan Bae ada di barisan terdepan untuk mendesak MKD merehabilitasi nama Novanto.
Menurut saya, wacana itu sengaja digulirkan ke publik sebagai pra kondisi. Karena, sebenarnya Novanto tidak punya keinginan untuk menduduki kembali jabatan nomor satu di lembaga legislatif itu. Ada politisi lain yang menginginkan jabatan tersebut dan mendesak Ade Komarudin yang menduduki jabatan itu saat ini untuk diganti.
Mereka yang ingin menggantikan posisi Ade Komarudin dari Ketua DPR RI adalah mereka yang merasa berkuasa di partai Golkar dengan dalih merekalah yang menjadi pemenang saat Munaslub yang digelar di Bali beberapa waktu yang lalu. Ambisi itu bisa dinilai sebagai hal yang tidak tepat, karena tanpa ada angin dan hujan, apa mungkin posisi tersebut bisa diganti begitu saja seenak hati? Hal itu tidak etis dan tidak wajar dalam etika politik.
Lagi pula, jangan sampai mereka lupa bahwa Munaslub beberapa bulan yang lalu digelar dengan semangat rekonsiliasi pasca konflik dan perpecahan di internal partai Golkar bukan karena ingin saling merebut kekuasaan antara satu dengan yang lainnya.
Saya khawatir jika hal itu terjadi, konflik Golkar akan meletus lagi dan kepercayaan masyarakat pada partai berlambang beringin tersebut semakin merosot apalagi sebentar lagi menjelang pilkada. Bukan saja itu, masyarakat akan memberi cap kepada partai Golkar sebagai partai yang haus akan jabatan dan kekuasaan, kemudian pasti akan berpengaruh pada elektabilitas partai.
Jika itu terjadi, bukan tidak mungkin pada pemilu 2019 mendatang partai Golkar akan semakin jauh dari kepercayaan masyarakat akibatnya suara Golkar semakin tergerus.
Untuk itu, Golkar saat ini harus fokus dan tetap harus berada dalam kondisi serta semangat rekonsiliasi dan konsolidasi total untuk menjadi partai pemenang di setiap kontestasi politik. Tidak terjebak pada ambisi berkuasa yang akan menghancurkan partai dan tetap menjaga kondusifitas partai.