Peran middle-men tadi tidak hilang namun hanya saja berbeda dalam hal siapa yang memberi pekerjaan, bagaimana pola kontrak kerja dan bagaimana pertanggungjawabannya. Pada pola perekonomian konvensional, ketiga komponen diatas sepenuhnya dipegang oleh pengusaha. Karyawan bekerja, bertanggung jawab dan terikat kontrak kepada pemilik usaha. Quality control, standar kerja dan upah dikendalikan oleh sang pengusaha.
Beda halnya dengan pola digital. Middle-men tadi tidak langsung bekerja dan terikat dengan pengusaha namun lebih terikat kepada konsumen. Menganut pola loose Contract, mereka tadi tetap memiliki sebagai kepanjangan tangan pengusaha namun pola quality controldipegang oleh konsumen. Fitur pemberian rating dalam dunia digital membuat reputasi para middle-men tadi dipegang oleh konsumen.
Karena memang sekarang para middle-menbekerja secara independen dan tidak terikat kontrak hubungan kerja yang mengikat kepada satu perusahaan, kehadiran mereka sulit untuk dicatat dalam angka tenaga kerja. Belum kuatnya institusi pemerintah untuk menangkap aktifitas digital inilah yang menyebabkan seakan-akan terjadi penurunan angka penciptaan lapangan pekerjaan dan naiknya angka pengangguran.
KEBIJAKAN PEMERINTAH
Perkembangan industri berbasis digital memang harus dapat di-capturedengan baik oleh pemerintah. Dengan mampu memotret pertumbuhan ekonomi digital dengan baik dan detil, pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat baik dari segi pencatatan, perkembangan dan manfaat bagi masyarakat.Â
Sebagai sebuah institusi, pemerintah memegang kendali akan cepat lambatnya masyarakat di Indonesia untuk beradaptasi. Selain itu, sesuai dengan semangat Nawacita yang diusung oleh Presiden Jokowi, mutlak bagi pemerintah mencari cara agar perkembangan digital didorong untuk medukung aktifitas perekonomian yang inklusif.
Sesuai yang diamanatkan oleh Undang-undang, pemerintah sudah mengalokasikan 20% dari APBN untuk anggaran pendidikan dan 5% untuk anggaran kesehatan. Â Melansir data dari BPS, komposisi tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar sebanyak 50,98 juta jiwa atau 42,13% dari total tenaga kerja. Hal ini memang sangat tertinggal dari negara-negara lain apalagi jika komposisi ini dikaji dalam kerangka kesiapan dalam menghadapi era digital.
World Bank dalam risetnya mengatakan, untuk merealisasikan education promiseada 4 komponen yang harus dipenuhi yaitu (1) pre-kondisi dari siswa, (2) kualitas pengajar, (3) manajemen sekolah dan (4) adalah governance.Pemerintah dengan 5% alokasi anggaran untuk kesehatan sudah mulai mencoba mempengaruhi komponen nomor 1. Sedangkan alokasi anggaran pendidikian sebesar 20% adalah digunakan untuk mempengaruhi/ memperbaiki kondisi 2-4.Â
Namun demikian, 20% alokasi anggaran saja tidak cukup. Koordinasi antar Kementerian/Lembaga mutlak untuk ditingkatkan untuk menjamin kualitas dari pemanfaatan alokasi anggaran 20% tersebut. Kualitas kurikulum Pendidikan, kualitas pengajar dan pola remunerasi berbasis prestasi sangat pelu untuk ditingkatkan.Â
Memang disadari kebijakan ini adalah kebijakan yang inklusif dan membutuh waktu yang lama. Akan tetapi, jika sinergi antar institusi dapat berjalan dengan solid. Perkembangan digital menjadi peluang yang sangat terbuka bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H