Mohon tunggu...
Jerri Irgo
Jerri Irgo Mohon Tunggu... Konsultan - Consultant, Tutor and Trainer working in Local-Regional Economic Development (L-RED) mainly on the perpetrators of SMEs ; Freelance Photographer ; Traveler ; Travel Writter

Consultant, Tutor and Trainer working in Local-Regional Economic Development (L-RED) mainly on the perpetrators of SMEs ; Freelance Photographer ; Traveler ; Travel Writter

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

UNESCO, Cerita Batik dan Mimpi Pengusaha Muda

18 Oktober 2017   00:22 Diperbarui: 18 Oktober 2017   10:32 1817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lutfi Koriah Yunani dan Putri Danis

Pastinya saya tidak mempunyai garis keturunan pengusaha batik, sama sekali tidak ada leluhur yang bergerak di usaha batik, selain itu awalnya saya juga tidak suka gambar ataupun seni, tidak minat sama sekali, namun saat ini cita-cita yang saya ingin wujudkan adalah jadi pengusaha dalam bidang batik dan fashion.

Hal tersebut diungkapkan Lutfi Koriah Yunani, salah satu peserta program Youth Economy Empowerment in Indonesia's Heritages Sites, Through Capacity Building and Sustainable Tourism, dengan metode CEFE Business Model Canvas, merupakan Program UNESCO dengan dukungan Citi Foundation yang dilaksanakan di Bayat, Klaten pada September 2017 lalu.

Metode CEFE Business Model Canvas dikembangkan oleh CEFE International dan Deutsche Gesellschaft fr Internationale Zusammenarbeit GmbH atau GIZ adalah perusahaan internasional milik pemerintah federal Jerman yang beroperasi di berbagai bidang di lebih dari 130 negara.

Ungkapan yang sangat beralasan, bagi Corry sapaan dari para sahabat untuk Lutfi Koriah Yunani, Mahasiswi Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta angkatan tahun 2016, Jurusan Kriya, Program Studi D3 Batik dan Fashion tersebut.

Baginya yang menarik dari batik itu adalah saat memprosesnya. Proses batik itu menantangnya untuk sabar, telaten dan rajin. Tentu untuk menghasilkan batik yang bagus bukanlah mudah tapi butuh perjuangan, selain juga penuh sarat makna, harapan dan doa.

Corry jatuh cinta pada batik dimulai saat studi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 1 Rota Bayat Klaten. Saat dirinya mulai memfokuskan diri ke batik, membuatnya semakin tahu betapa sulitnya membuat karya batik, selain itu hampir semua karya yang dibuatnya ada cerita tersendiri.  "Karya seni dan cerita yang selalu berbeda, hal itu membuatnya makin jatuh cinta pada batik" ujar warga Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah ini.

Banyak pengalaman menarik Corry, diantaranya adalah saat menyelesaikan tugas mata kuliah batik selendang semester 2, prosesnya benar-benar membutuhkan perjuangan.

"Ceritanya saat saya sudah selesai mencanting dengan susah payah, lembur disela-sela kegiatan penuh waktu, karena ikut Unit Kegiatan Mahasiswa, besok pagi esok harinya, saat akan proses warna, namun ada hal yang membuat saya keteledoran, sehingga belum jadi di warna malah rusak duluan, ya sudah saya ulang lagi dari awal, mulai dari gambar di kain" ujarnya

Selanjutnya saat pertama kali pewarnaan, hasilnya bagus, banyak yang suka, namun ada cerita dibalik semua itu yaitu waktu mau pewarnaan terakhir, detik-detik deadline, saya di rumah waktu itu mencanting sampai jam 11 malam, kondisi badan sudah capek, mengantuk terus saya tidur, bangun jam 1 dinihari, lanjut membatik sampai kompor sengaja tidak dimatikan agar dapat langsung membatik. Baru selesai mencanting sampai jam 1 siang, istirahat cuma makan dan habis itu keburu proses warna malah hasilnya zonk.

Ekspektasi saya hari itu selesai, tapi ternyata warnanya terakhir tidak bagus. Akhirnya saya ulang lagi. Waktu semakin sore dan harus balik ke Yogyakarta, habis warna langsung ke Yogyakarta. "Saat di kelas, menurut saya hasilnya gagal, karena kurang rapi, akan tetapi mendapat pujian dari dosen karena teknik yang digunakan berbeda dari yang lain dan teman-teman juga suka, ya itulah batik saya ada ceritanya" ujar pengagum Designer Anne avantie dan Lulu Lutfi Labibi sambil tersenyum.

Terkait harga yang ditawarkan berkisar Rp 250 ribu hingga Rp 1,2 juta. Kadang saya merasa sedih kalau batik tulis dihargai murah dan kadang sampai ada yang tega menawar. Andaikan semua orang tahu susah payahnya membuat batik itu seperti apa pasti mereka akan lebih menghargai batik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun