Laut China Selatan, kawasan perairan yang sangat luas yang membentang melewati beberapa negara yang diantaranya adalah Brunei, China, Filipina, Malaysia, Taiwan, Vietnam dan juga Indonesia. Suatu kawasan yang sangat strategis karena kawasan ini merupakan jalur perdagangan serta sektor pencarian ekonomi dari segi maritim (perikanan) oleh sejumlah negara-negara di berbagai belahan dunia. Tingginya tingkat ke-strategisan suatu wilayah atau kawasan tentu mendatangkan juga sebuah persaingan untuk menguasai wilayah tersebut. "Konflik Laut China Selatan" merupakan suatu judul atau bahkan topik yang tidak asing lagi di dengar telinga kita sebagai masyarakat Indonesia. Konflik yang tak pernah berujung solusi ini akan selalu menjadi perbicangan hangat di ranah internasional karena eksistensi dari topik ini. Klaim sepihak yang dilakukan oleh negara tirai bambu tersebut tentu sangat merugikan berbagai negara yang diklaim wilayah maritim hingga daratannya. Tidak terkecuali Indonesia, wilayah dengan letak astronomis pada titik koordinat 1016'-7019' LU (Lintang Utara) dan 105000'-110000' BT (Bujur Timur) atau kerap kita sebut dengan wilayah Natuna ini memiliki laut dengan sejuta kekayaan sumber daya alamnya yang selalu diperebutkan oleh pihak asing.
  Kedaulatan negara merupakan tanggung jawab yang diemban oleh pemerintah Indonesia untuk menjaga serta mempertahankan kekuasaan atas wilayah negaranya yang dimana isu kedaulatan perlu di respon secara serius dan cepat. Pencurian ikan oleh kapal-kapal nelayan Vietnam pada tahun 2022 di wilayah Perairan Natuna Utara atau 20 mill dari garis Pantai Kepulauan Natuna merupakan satu dari berbagai contoh ancaman yang perlu kita tanggapi secara serius. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan batas dari suatu negara untuk mengambil kekayaan sumber daya alam sejauh 200 mill dari garis pantai. Mengacu pada Unclos ke-3, kita mengetahui bahwa ZEE merupakan batas wilayah yang sudah diakui oleh 169 pihak, yang meliputi 165 negara anggota PBB, 1 negara pengamat PBB ( Palestina ), dua negara non-anggota ( Kepulauan Cook dan Niue ) dan Uni Eropa. China merupakan salah satu negara yang juga mengakui kesepakatan Unclos ke-3. Melihat kilas balik pada 13 November 2014 silam, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan pidato pada KTT ke-9 Asia Timur, di Nay Pyi Taw. Adapun agenda topik pembicaraan yang disampaikan merupakan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo untuk memaksimalkan negara Indonesia yang memiliki posisi sebagai poros maritim dunia. Poros maritim dunia merupakan  "gelar" yang dapat dinilai sebagai suatu hal yang positif karena dapat menjadi contoh bagi negara lain akan tetapi dapat menjadi sebuah tantangan juga karena kita harus mencari cara untuk tetap mempertahankan keamanan wilayah yang memiliki kekayaan maritim serta gas alam yang  berlimpah ini.
  Diplomasi maritim merupakan salah satu langkah yang diambil oleh Indonesia melalui Presiden Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kerjasama dengan negara lain dan pengawasan maritim serta pemberdayaan dalam hal pengelolaan sumber daya merupakan visi misi yang akan diberdayakan. Tegas dan Lugas dengan jelas diucapkan oleh Indonesia sejak 2014 untuk mempertahankan wilayah Laut Natuna Utara dengan memperkuat armada maritim serta melakukan kerjasama dan menjalankan hukum Unclos.  Perjanjian Code of Conduct (COC) merupakan perjanjian untuk menyelesaikan tata perilaku pada Laut China Selatan yang sudah ditandatangani oleh Mentri Retno Marsudi pada Desember 2023 silam. Perjanjian tersebut diharapkan mendapatkan kesepakatan dari berbagai negara di kawasan Asia Tenggara dan juga China untuk menjadikan Laut China Selatan yang lebih aman, stabil dan sejahtera. Kita mengetahui China sering berkonflik dengan Filipina di wilayah Laut China Selatan, terutama di dekat Beting Second Thomas yang disengketakan dan merupakan bagian dari Kepulauan Spratly. Deklarasi perilaku para pihak berkonflik yaitu antara China dan Filipina inipun akhirnya keluar atau yang biasa disebut Declaration of Conduct (DOC) pada tahun 2022 oleh China dan Asean.
  Berbagai perjanjian serta kebijakan telah dikeluarkan dan disepakati oleh berbagai negara yang berkonflik di Laut China Selatan, sebagai negara yang berdaulat dan memiliki kedaulatan penuh atas wilayah Laut Natuna Utara sudah sepatutnya kita menjaga wilayah teritorial negara kita dengan sekuat tenaga. Pemerintah Indonesia pada era Presiden Joko Widodo menggunakan pendekatan neoralisme defensif untuk menjaga wilayah Laut Natuna Utara, dimana perhatian utama negara adalah mempertahankan kedaulatan negara guna mencapai situasi yang lebih stabil serta kondusif dan juga menganggap agresi militer hanya akan merugikan diri sendiri dalam pertahanan dan keamanan negara. Melihat situasi Indonesia yang merupakan negara mediator serta negara non-claimant state, langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam hal ini adalah memperkuat soft power yang ada dengan mengadakan berbagai kerjasama maritim dengan negara-negara dan secara khusus dengan negara yang ada di Asia Tenggara (Asean). Kerjasama yang dapat dilakukan mulai dari kerjasama militer, kerjasama dagang berupa ekspor impor perikanan dan gas alam dan juga kerjasama jalur pelayaran maritim (Alki). Kerjasama yang dilakukan tentu akan meningkatkan pendapatan/devisa negara sehingga pendapatan tersebut dapat kita kelola untuk menunjang peningkatan daya beli alutsista militer maritim kita. Tujuan dari kita membeli alutsista maritim kita memang bukan untuk berperang, akan tetapi kita juga dapat memperluas armada kapal patroli serta pos-pos penerangan untuk membantu nelayan kita agar dapat mencari ikan dengan tenang dan sejahtera. Kedaulatan negara yang kita maksud disini bukan hanya kekuasaan penuh atas wilayah, melainkan dapat juga diartikan sebagai hak kepemilikan atau dapat berkuasa penuh atas sumber daya yang ada didalamnya tanpa merasa takut dalam mengeruk sumber daya tersebut. Menjaga kedaulatan merupakan tanggung jawab dari kita semua sebagai warga negara Indonesia kita tercinta. Mari kita bersama menjaga kedaulatan yang dimiliki negara kita yaitu berdaulat atas wilayah, rakyat dan juga menjadi negara yang diakui keberadaannya di ranah internasional dengan tetap terus memperjuangkan hak-hak kedaulatan bangsa kita sesuai hukum perjanjian internasional yang telah disepakati terutama kedaulatan Indonesia di kawasan Laut Natuna Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H