Mohon tunggu...
Jeri Santoso
Jeri Santoso Mohon Tunggu... Nahkoda - Wartawan

Sapiosexual

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Martin Mantan Pecandu Narkoba, Semangat Gandhi, Sampai Papua Lagi

31 Agustus 2019   17:43 Diperbarui: 31 Agustus 2019   18:41 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: theatlantic.com

Saya mantan biarawan. Setelah setahun berusaha menyesuaikan diri dengan ketatnya aturan dan etiket, saya akhirnya menyimpulkan, bukan di sana tempat yang cocok untuk saya.

Tapi dari sana saya belajar banyak hal, melalui perjumpaan dengan teman-teman, dengan buku-buku rohani, dengan filsafat yang mentok di daftar isi. Satu pengalaman yang paling menarik adalah yang saya ceritakan ini. 

Bulan Juni 2016 kemarin bersama teman-teman biarawan lainnya, saya mengikuti kegiatan live in. Selama sebulan penuh  kami diwajibkan untuk hidup dan berbaur dengan masyarakat biasa. Tapi bagi saya, mereka bukan biasa-biasa saja. Mereka luar biasa. 

Saya mendapat tempat live in di panti rehabilitasi kusta dan cacat St Damian, Manggarai, NTT. Panti itu dikelola oleh biarawati-biarawati SSPS, sebuah tarekat misi di tanah kelahiran saya.

Hari-hari awal dalam panti tidaklah mudah, sangat sulit bagi saya. Di situ saya hidup dan berbaur dengan bukan orang-orang biasa. Penyakit kusta, difabel, autis, anak-anak dengan kelainan fisik dan mental, syndrom. 

Tinggal sekamar dengan mereka, menncicipi makan dari piring yang sama, berdoa di tempat yang sama bukan hal yang gampang. Butuh orang-orang kuat.

Waktu itu saya sekamar dengan mantan pecandu narkoba. Tiap kali masuk kamar bau menyengat mengisi seluruh ruangan. Aroma obat-obatan bercampur dengan aroma yang tidak karuan busuknya. Dan saya harus makan, minum, tidur dalam kondisi seperti itu. 

Tiga malam berturut-turut saya menangis tak bisa menahan diri. Entah karena saya tidak terbiasa dengan situasi pahit seperti ini atau karena sedih melihat orang-orang hebat seperti mereka berjuang demi hidup yang tidak lama lagi. Mungkin keduanya.

Mantan pecandu narkoba itu namanya Martin. Umurnya 50-an begitu, tidak tahu berapa persisnya. Sakit keras yang dialaminya mematikan hampir seluruh saraf dalam tubuh. 

Ceritanya terbata-bata, mulutnya bengkok penuh dengan liur yang tiap detik merembes hingga ke baju, ia lumpuh dan harus ditopang dengan kursi roda, ingatannya sudah tidak normal lagi. Ia tidak bisa merekam semua percakapan bersama saya. Tapi nama saya terucap jelas di sahutannya, "Jeri!!" Begitu ia memanggil.

Sebulan penuh saya hidup sekamar dengan Martin. Dia sudah seperti ayah bagi saya. Kemana-mana harus ditemani. Ke gereja, ke taman, atau hanya sekadar jalan-jalan pun harus ditemani. Bahkan ke toilet sekalipun. Ini yang paling menjijikan, maaf. 

Tiap pagi dan sore saya harus memandikan Martin. Tubuhnya yang telanjang sudah terekam jelas dalam ingatan saya. Sehabis buang air, selalu saya bersihkan toilet dan sisa kotoran di lubang duburnya. Ini sangat menyakitkan. Tapi saya harus menjalaninya dengan sukacita. Karena mereka adalah orang-orang yang tidak mendapat tempat dalam relasi dengan masyarakat biasa.

Kalau bukan dengan saya, siapa lagi? Bahkan keluarganya pun enggan. Naif sekali, saya membatin.

Akhirnya setelah genap sebulan penuh, saya harus kembali ke biara dan hidup seperti biasanya. Perpisahan dengan Martin amat memilukan. Sebelum berangkat meninggalkan panti, ia memeluk saya bak seorang ayah kepada anak. Tangisnya tak tertahankan. "Jeri!!!" Hanya itu yang terekam hingga sekarang.

Menjiwai kehdiupan dan teladan orang-orang hebat tidaklah mudah. Menjadi hebat tidak butuh uang dan kuasa. Jadilah kecil di antara orang-orang kecil, itulah hebat menurut saya. Kebahagian tidak bisa ditawar dengan pesang. Pengalaman sekecil apapun dengan orang sekecil apapun itu, rekamlah dan catat sebagai sejarah paling besar dalam hidup.

Mohandas Karamchand Gandhi atau yang dikenal dengan nama Mahatma Gandhi adalah tokoh panutan saya. Mungkin kisahnya tidak relevan dengan cerita perjumpaan saya dengan Martin. Tapi bagi saya, apa yang dikorbankan demi kebenaran selaras dengan prinsip hidup Gandhi. Inilah memoar Gandhi yang perlu dihidupi sampai sekarang.

Pada Jumat 30 Januari 1948, sekitar jam lima sore Mahatma Gandhi menuju tempat upacara doa, dimana hadir  pula banyak orang. Tetapi, sewaktu ia menaiki tangga  ke panggung upacara, terdengarlah tembakan tiga kali, dan rebahlah tokoh India yang juga dihormati di seluruh dunia itu. He Rama (Oh Tuhan), begitulah ucapannya sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Penembaknya seorang Hindu Fanatik, yang tidak menyetujui usaha Gandhi mencegah permusuhan penduduk Hindu-Muslim, dan terpecahnya India menjadi dua negara, akibat perbedaan dan pertentangan agama.

Sebelumnya, berkali-kali Gandhi melakukan puasa dan bagai usaha untuk mencegah terjadinya perpecahan itu, yang disebutnya 'tragedi spiritual'. 

Kematian Gandhi sendiri sebenarnya merupakan suatu tragedi,  yang ditangisi tidak saja oleh kawan-kawan serta pengikutnya, tetapi juga oleh pihak-pihak yang tidak begitu saja menyetujui visi politik maupun cara-cara perjuangannya (P.Swantoro, 2007:47). 

Semua pihak mengakui bahwa Mohandas Koramchand Gandhi memang seorang tokoh besar, yang oleh Rabindranath Tagore dijuluki 'Mahatma' (Jiwa Besar).

Gerak-tindak Gandhi konsekuen dengan keyakinan dan ucapan-ucapannya. Tidak banyak pemimpin masyarakat, dan hanya sedikit pemimpin politik abad ini yang pribadinya bisa tampil sebagai 'kekuatan moril' sehingga mampu menumbuhkan inspirasi yang berdaya-gerak bagi jutaan manusia lainnya, khususnya manusia sebangsa, seperti halnya Mahatma Gandhi.

Sebaliknya, kebanyakan mereka itu pandai bicara, pandai menganjurkan, mahir menyusun kata-kata mutiara dan menggantungkan cita-cita setinggi langit, tetapi tindakan mereka, praktek-praktek mereka dalam kehidupan sosial dan permainan mereka di bidang politik, ternyata diametral bertentangan dengan apa yang mereka dengung-dengungkan. 

Inilah sebabnya anjuran menjadi mandul, cita-cita yang mereka kumandangkan menjadi terasa hampa, dan pidato-pidato mereka menjadi seperti ocehan pelawak di panggung pertunjukan.

Berdasarkan pendiriannya bahwa "hidupku merupakan satu kesatuan yang tak terpecah-pecah"lah Gandhi selalu berusaha menyelaraskan tindak-geraknya dengan keyakinan yang dianutnya. 

Papua adalah cerita memilukan setelah kita melalui serangkaian pesta demokrasi. Tidak ada jalan lain selain rekonsiliasi dan saling memaafkan. Aksi demonstrasi yang ditandai oleh beberapa tindak kekacauan adalah bentuk protes masyarakat Papua atas pukulan moral yang diterima oleh mahasiswa-mahasiswa Surabaya. 

Terlalu lama kita hidup dalam bayang-bayang rasisme, menganak-cucukan sebagaian kelompok masyarakat. Mereka adalah orang-orang tak berdaya.

Semangat Gandhi untuk menyatukan perbedaan adalah teladan paling mulia. Orang-orang hebat bangsa ini butuh pengalaman moral untuk menjiwai kehidupan orang-orang kecil. Turut merasakan bagaimana depental dari hiruk-pikuk masyarakat, distigma dengan caci maki yang tak bermartabat. Semua ini ironi dalam negeri.

Ada satu prinsip teguh Gandhi yang mendasari gagasan-gagasannya, yaitu: humanitas atau perikemanusiaan. Dari titik tolak inilah bisa dimengerti misalnya, ajaran tokoh India itu mengenai nonviolence-gerakan untuk tidak menggunakan kekerasan, verbal maupun non verbal. Kekuatan perjuangan manusia harus disumberkan pada kebenaran dan cinta kasih. 

Menjadi hebat tidak cukup dengan orasi dan celotehan sana-sini. Hebat yang benar-benar hebat adalah hidup menjadi saudara, sebangsa dan se-bhineka tunggal ika. Mari kita membangun semangat-semangat Gandhi dalam negeri dan mengkawal keluar rasisme yang memecah-belah!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun