Samarinda dan Palangkaraya sempat digadang-gadang sebagai pengganti Jakarta. Wacana ini sejak masa Bung Karno belum terealisasi hingga usia republik ini yang tidak muda lagi.
Hingga akhirnya Jokowi mengeksekusi wacana tersebut dan akan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur. Pemindahan ibu kota akhirnya jadi pergunjingan publik setanah air. Lini masa minggu ini ramai tentang konsep foresty city untuk ibu kota baru.
Tampaknya atmosfir Jakarta sudah tidak nyaman lagi untuk Jokowi dan istana kepresidenannya. Chaos Jakarta mulai dari masalah populasi, polusi udara, sampai kemacetan tak luput dari perbincangan.
Indonesia butuh ibukota baru dengan rancangan yang smart, green, dan modern. Begitu cuitan netizen yang ngaku setuju sama Jokowi. Sementara warganet yang kontra, beranggapan bahwa butuh dana yang sangat besar untuk pindah ibu kota, apalagi ide ini tidak melibatkan banyak pihak.
Terlepas dari debas-debus pro dan kontra, ada satu demografi yang hampir luput didiskusikan: kesiapan milenial. Ini amat urgen karena proses pemindahan ibu kota butuh waktu hingga 10 tahun lebih. Merekalah yang nanti menjadi penghuni ibukota baru apabila ide ini terealisasikan. Kesiapan milenial juga menjadi tolok ukur representasi kemajuan Indonesia.
Sukarno, 4 Januari 1946
Pada permulaan 1946 gejolak besar-besaran terjadi di Jakarta yang pada masa itu merupakan ibu kota Republik Indonesia. Belanda melakukan razia dan penangkapan atas pejuang kemerdekaan Indonesia, bahkan sampai terjadi kontak senjata. Harta milik masyarakat sipil banyak yang dirampok-dijarah habis-habisan.
Belum lagi muncul beberapa konflik antar pemimpin perjuangan. Bahkan ada upaya penculikan dan pembunuhan atas pejabat tinggi pemerintah RI lainnya, baik oleh pasukan NICA maupun laskar-laskar rakyat yang tidak sepenuhnya tunduk kepada pemerintahan baru.
Melihat situasi yang amat darurat tersebut, Bung Karno akhirnya berencana memindahkan ibu kota ke Yogyakarta atas tawaran Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tapi seluruh kota pada saat itu sudah diawasi ketat oleh NICA dan sekutu. Maka untuk dapat sampai ke Yogyakarta dan mengurusi segala sesuatu dipilihlah jalur kereta api yang relatif aman.
"Dengan diam-diam, tanpa bernapas sedikit pun, kami menyusup ke gerbong. Orang-orang NICA menyangka gerbong itu kosong," kata Soekarno menggambarkan ketegangan saat itu.
"Seandainya kami ketahuan, seluruh negara dapat dihancurkan dengan satu granat. Dan kami sesungguhnya tidak berhenti berpikir apakah pekerjaan itu akan berlangsung dengan aman. Sudah tentu tidak. Tetapi republik dilahirkan dengan risiko. Setiap gerakan revolusioner menghendaki keberanian," tulis Cindy Adams tentang biografi Sukarno dalam Penyambung Lidah Rakyat.