Mohon tunggu...
Jeremy Nicholas
Jeremy Nicholas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Univesitas Airlangga jurusan sosiologi angkatan 2024

halo! perkenalkan aku Jeremy, disini aku hanya ingin menulis apapun yang ada di pikiranku selain itu aku juga senang untuk belajar menulis yang berhubungan dengan fenomena sosial tertentu. kalau kamu emang suka mempelajari ilmu sosial please stay in touch !

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menghentikan Korupsi dengan Gaya Thomas Hobbes

16 September 2024   16:20 Diperbarui: 16 September 2024   16:32 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi bukanlah isu baru di telinga kita. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2023, tercatat ada 791 kasus korupsi di Indonesia, dengan jumlah tersangka mencapai 1.695 orang. Angka ini menegaskan bahwa korupsi sudah menjadi bagian yang melekat dalam kehidupan bernegara. Namun, kasus korupsi timah baru-baru ini yang menghebohkan publik, dengan estimasi kerugian negara sebesar 300 triliun rupiah, menggarisbawahi betapa seriusnya masalah ini.

     Salah satu tersangka dalam kasus tersebut, Toni Tamsil, melakukan tindakan obstruction of justice dengan menyembunyikan dokumen perusahaan yang terlibat, dan bahkan merusak bukti elektronik berupa ponselnya sendiri. Meskipun terbukti bersalah, ia hanya divonis tiga tahun penjara dan didenda sebesar lima ribu rupiah, jumlah yang nyaris tak masuk akal dibandingkan kerugian yang ditimbulkan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: jika hukuman bagi koruptor begitu ringan, bagaimana kita bisa berharap korupsi akan berakhir?

     Dalam konteks ini, pemikiran filsuf Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan memberikan wawasan penting. Hobbes berpendapat bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh hasrat dan emosi yang dapat merugikan orang lain. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pengendalian yang kuat. Salah satu cara yang diusulkan Hobbes untuk menundukkan hasrat manusia adalah melalui rasa takut, terutama takut akan kematian. Dari sini, muncul gagasan bahwa hukuman mati mungkin dapat menjadi solusi untuk mengatasi korupsi yang merajalela di Indonesia.

     Penerapan hukuman mati bagi koruptor bukanlah sesuatu yang baru dalam praktik global. China, misalnya, telah lama menggunakan hukuman ini sebagai instrumen untuk menekan kasus korupsi. Dalam kurun waktu 2004 hingga 2006, China berhasil menahan ratusan pejabat, menghukum mati puluhan di antaranya, dan mengungkap lebih dari 2.000 kasus korupsi. Pada tahun 2023, China berada di peringkat 76 dalam Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perceptions Index), sementara Indonesia masih berada di posisi 115. Perbedaan yang mencolok ini menunjukkan bahwa hukuman mati, setidaknya di China, mampu memberikan efek jera yang signifikan.

     Jika kita melihat potensi sumber daya alam yang melimpah, baik di Indonesia maupun di China, mengapa China bisa melangkah lebih jauh dalam hal pembangunan ekonomi? Salah satu jawabannya adalah komitmen mereka untuk memberantas korupsi secara tegas. Mungkin sudah saatnya Indonesia mempertimbangkan langkah serupa. Bukan untuk meniru secara langsung, melainkan untuk mengeksplorasi opsi yang lebih keras dalam memberantas korupsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun