Mohon tunggu...
Jeremy Randolph
Jeremy Randolph Mohon Tunggu... Buruh - opini-opini

aku ingin tinggal di Meikarta

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Konsep Pilkada yang Salah Diartikan (pemilihan bukan adu jagoan)

31 Januari 2017   02:08 Diperbarui: 2 Februari 2017   14:08 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta waktu ini : tiga tokoh, tiga kubu, ribuan air mata

Sewaktu saya kecil saya masih ingat betul, saat berlangsung sebuah kompetisi bulu tangkis internasional saban hari suara yang menggema di udara adalah sepatu mahal berdecit dan hentakan 'kok' serta komentator dari Indonesia yang berusaha betul tidak berteriak-teriak seperti di pertandingan bola. Hampir semua orang menyaksikan saktinya Taufik Hidayat atau Sony Dwi Kuncoro apalagi kalau sudah melawan Lin Dan, petarung bulu tangkis terkuat seantero bumi. Jerit keluarga pendiam pun bisa terdengar seluruh kampung.

Namun sekarang bagaimana bisa bulu tangkis yang begitu asyik di gantikan dengan acara debat para calon Gubernur yang bahkan tidak akan menjadi Gubernur di kota-kota lain selain Jakarta? kini anak muda, orang tua, kakek-nenek, pasangan yang sedang dimadu, pasangan yang sedang bertengkar, pasangan yang sudah berpisah namun tak sengaja bertemu di kedai, penjaga warung yang biasa menonton dangdut, kuli bangunan istirahat, bussiness man, bos besar perhotelan dan segala jenis rakyat tengah menanti-nanti segala berita terkait ketiga tokoh utama yang kelak akan terpilih salah satu menjadi pemimpin Jakarta. 

Saya sendiri begitu senang melihat debat yang penuh drama dengan peran-peran yang begitu berwarna, ada yang dari kalangan militer, pebisnis, dan pendidik, sungguh bukankah itu jurusan-jurusan yang sangat berbeda, kesaktian mereka pun berbeda-beda namun bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya. Sungguh beruntung sebetulnya Jakarta, bisa mendapat beragam pemimpin yang antusias, tak seperti di kota-kota lain yang mungkin nama Gubernur nya saja tak ada yang tahu. 

Tapi sebuah fenomena lain terjadi ketika Jakarta juga menjadi ladang penggugatan dari kaum-kaum yang berbeda pandang, ideologi, Agama, ras, hobi, makanan favorit, band kesukaan, klub sepak bola terhandal, dan perbedaan macam manapun. Nyaris semuanya terjadi serentak di masa kritis sebelum pencalonan Gubernur DKI, entah karena motivasi apapun, sebelumnya jauh-jauh hari tidak ada gerakan macam ini baik di jalanan maupun di sosial media, dulu yang ada hanya serentetan artis yang terjerat kasus asusila.

kesimpulan yang saya dapatkan dari berbagai fenomena yang sedang terjadi di Jakarta adalah :  

Rakyat (yang kelahi) kurang memahami faedah pilkada (pemilihan bukan adu jagoan)

Siapapun yang terpilih menjadi Gubernur sudah pasti sakti ilmunya, tak perlu diragukan lagi karena ini tingkat ibukota. Segala persaingan tidak sehat hanya akan menutup potensi ilmu sakti tersebut untuk mengubah Jakarta menjadi ibukota yang ideal. Pilkada bukan kompetisi adu sakti seperti di ring tinju yang disoraki penonton, tapi ini hanya pengulitan ilmu dan sosok dari mereka yang kelak harus dipilih salah satu yang tersakti untuk memimpin Jakarta, seharusnya bila semuanya demi Jakarta pasti menang kalah tak jadi masalah, namanya pemenang pasti yang tersakti.

Rakyat (yang kelahi) kurang memahami Pancasila 

Moral adalah hal yang memberi nurani bisikan mana yang benar dan mana yang salah, dan setiap orang memiliki bilai moral berbeda-beda sesuai perjalanan hidupnya, namun sebuah standar moral yang telah dirumuskan leluhur kita Bung Karno merupakan standar tersakti yang bila ditancapkan di nurani akan membentuk pribadi ideal. Lihat saja yang merumuskan moralnya sendiri, pasti bentrok dengan yang berbeda pendapat sedikit saja. 

Rakyat (yang kelahi) kurang baca buku kemerdekaan Indonesia 

Betapa banyak urat nadi yang pecah saat kemerdekaan belum dirasakan, bila saja semua orang merasakan suasana saat itu dari buku-buku curhatan Bung Karno, Tan Malaka, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan sebagainya. Tinggi bukan main cita-cita mereka saat itu untuk mempersatukan Indonesia, dan hancur lebur sekarang di tangan para serigala berbulu domba. 

tiga poin itu hanyalah opini saja, bila saya salah sangat bisa untuk dikoreksi dan dikritik serta diberi saran ( sepaket )  

sekali lagi ini semua hanya artikel opini yang berjamur di pikiran mahasiswa cinta damai satu ini. 

silahkan bila ingin bertukar fikiran bisa dikolom komentar dibawah, terimakasih.

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun