Pagi hari, pukul 09.00 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Aula Universitas Nusa Nipa (UNIPA) Maumere di lantai 2 gedung utama tampak dipadati mahasiswa dan rekan dosen. Mereka tampak antusias menghadri pelatihan "berfilsafat bersama anak-anak" yang saya dan rekan saya berikan. Sejak bulan lalu proposal pelatian itu saya kirim dan ditanggapi pimpinan universitas tersebut. Saya dan rekan saya dari Pusat Pengembangan Etika, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya tentu merasa bersyukur dan senang diberi kesempatan dan "panggung" terhormat ini.
"Berfilsafat Bersama Anak-anak" bukan sebuah aktivitas yang mudah dilakukan, baik dari pihak pelatih maupun dari pihak peserta (mahasiswa dan dosen yang tertarik). Dari pihak fasilitator, kami sebagai orang yang menggeluti filsafat secara professional, kami lebi suka fokus pada teks dan pada debat pemikiran. Ada kecenderungan dalam diri teman-teman untuk mengabaikan dimensi aplikatif. Kami seringkali gagal memvawa filsafat ke kehidupan nyata. Barangkali ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa kuliah-kuliah filsafat kadang menjadi kurang menarik.
Dari pihak peserta, berinteraksi dengan aktivitas filosofis mungkin merupakan pengalaman baru dan pertama. Mereka datang dengan persepsi yang berbeda mengenai filsafat. Ada yang pasti mengikuti pandangan masyarakat umum, bahwa berfilsafat hanya akan menghabiskan waktu dan tidak perlu. Tetapi ada juga yang berhasil melihat hal-hal positif dalam kegiatan semacam ini.
Mendorong Sikap Bertanya
 Kami tidak melakukan kegiatan yang aneh atau rumit. Kami datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk melatih keterampilan bertanya. Setelah penjelasan umum dari saya, peserta kemudian dibagi ke dalam kelompok-kelompok. Kegiatan dilakukan berdasarkan instruksi dinamika kelompok yang saya berikan.
Kami meminta peserta menonton sebuah video pendek yang kami ambil dari youtube. Video tersebut cukup kuat dan bisa memicu diskusi, baik dari sisi gambar dan perwatakan maupun pesan yang hendak disampaikan. Video itu berkisah tentang seorang perempuan cantik yang bersekongkol dengan seorang pemuda dalam sebuah tindakan pencurian (pencopetan) di ruang publik. Digambarkan, seorang laki-laki (penjahat) berjalan ke arah mesin pembelian tiket kereta api. Tampak laki-laki itu berlama-lama melakukan transaksi pembelian tiket, sehingga perempuan yang ada di belakangnya menjadi tidak sabat. Padahal, perempuan itu rekan dan pencuri itu yang sama-sama memiliki maksud yang sama, yakni hendak mencuri.
Begitu perempuan itu selesai membeli tiket, dia tampak berjalan ke arah apron kereta api dan dia tampak kecewa karena kereta api baru saja lewat. Dia lalu duduk di sebuah bangku di mana sudah ada seorang laki-laki yang duduk dan sedang membaca (calon korban). Keduanya tampak sibuk dengan diri dan aktivitas mereka sendiri-sendiri, tidak ada interaksi di antara mereka. Sampai suatu kesempatan, perempuan itu menaruh tasnya di samping dia (diantara dirinya dan pemuda yang sedang membaca). Tidak lama berselang, seorang pemuda (yang tadi duluan membeli tiket kereta api di mesin tiket) berjalan ke arah bangku, merampas tas itu dan segera melarikan diri.
Pemuda di bangku itu yang meliat kejadian itu secara spontan dan segera mengejar perampas tas itu. Pemuda itu akhirnya berhasil merebut tas dan membawanya kembali ke perempuan pemilik tas. Perempuan langsung memeluk laki-laki itu sebagai ucapan terima kasih.
Adegan berikutnya, perempuan itu segera memasuki kereta api. Begitu duduk di kereta api itu, perempuan itu segera mengeluarkan sebuah dompet dan mengamat-amati dompet tersebut. Ketika dibuka, kamera menyorot identitas (KT) laki-laki pemilik dompet dan beberapa lembar uang. Setela itu, sebuah teknik flash back menunjukkan bagaimana perempuan itu mencopet dompet dari laki-laki yang menolongnya. Ketika memeluk laki-laki itu, tangan perempuan langsung bergerak menuju kantong laki-laki tersebut dan dengan cepat mengambil dompet laki-laki tersebut. Adegan itu terjadi begitu cepat sehingga laki-laki itu tidak menyadari bahwa dompetnya sedang berpindah tangan.
Para peserta kemudian bekerja dalam kelompok (ada 6 kelompok). Berdasarkan video yang telah ditonton, setiap kelompok diminta mengemukakan pertanyaan. Mereka harus mengelompokkan pertanyaan-pertanyaan itu ke dalam pertanyaan tertutup, pertanyaan terbuka dan pertanyaan ragu-ragu. Pertanyaan itu ditulis di atas kertas post-it dan kemudian ditempelkan di flow chart yang sudah disediakan.
Pertanyaan disebut tertutup jika jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diperolah dengan segera melalui penginderaan (melihat, mendengar, meraba, merasakan, menyentuh), melalui percobaan, berkonsultasi pada buku dan sumber-sumber tersedia, atau bahkan menanyakannya ke ahli. Pertanyaan disebut terbuka jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut masih bisa diperdebatkan, membuka kemungkinan kepada perdebatan selanjutnya, jawaban-jawabannya bersifat abstrak, setiap orang memiliki perspekstif yang masih beragam, dan semacamnya. Pertanyaan rag-ragu jika kelompok belum sepakat apakah dimasukkan ke dalam pertanyaan tertutup atau terbuka.
Seusai menuliskan pertanyaan-pertanyaan itu, kelompok membacakan pertanyaan-pertanyaan mereka. Kelompok lain mendengar jawaban itu dan kemudian mengajukan pertanyaan atau mendebat, apakah pengkategorian itu sudah tepat atau belum. Jika belum tepat, harus ada alasan mengapa demikian. Kelompok perumus pertanyaan harus juga membela diri, apakah keberatan kelompok lain itu dapat diterima atau tidak. Jika keberatan itu diterima, kelompok harus memindahkan pertanyaan itu ke post-it sesuai warna yang seharusnya (post-it warna merah untuk pertanyaan tertutup, warna kuning untuk pertanyaan terbuka dan warna hijau untuk pertanyaan ragu-ragu).
Setelah disepakati secara menyeluruh manakah pertanyaan-pertanyaan terbuka, tertutup, dan ragu-ragu, pertanyaan-pertanyaan yang sama untuk semua kelompok segera dipindahkan ke flow chart kosong yang telah disediakan. Jika tidak ada kesamaan, pertanyaan-pertanyaan itu tetap dipertaankan di flow chart kelompok.
Penekanan
Ini adalah contoh sangat sederhana dari kegiatan berfilsafat bersama anak-anak. Pertama, anak-anak didorong atau dirangsang untuk mengajukan pertanyaan. Melalui cara ini, anak-anak diharapkan menjadi aktif, termasuk di dalamnya adalah aktif menonton atau mendengar cerita dan aktif mengajukan pertanyaan.
Kedua, berapa pun pertanyaan yang diajukan, ternyata bisa dikategorikan ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang tertutup dan terbuka. Sebenarnya jenis pertanyaan ragu-ragu masih bisa didiskusikan lebih lanjut untuk diputuskan secara bersama, apakah bisa dikelompokkan ke dalam salah satu dari dua kategori yang ada (tertutup dan terbuka).
Ketiga, pertanyaan-pertanyaan tertutup sebenarnya tidak perlu dijadikan sebagai isu atau permasalahan untuk diskusi selanjutnya. Jawabannya sudah jelas dan dapat disetujui secara bersama dalam waktu yang relative singkat.
Keempat, pertanyaan-pertanyaan terbuka memiliki kemampuan memicu diskusi lebih lanjut. Inilah problem filosofis yang sayang untuk tidak diperhatikan. Pertanyaan terbuka yang mungkin muncul setela menonton video itu bisa dirumuskan demikian: "Apakah tindakan mencuri dapat dibenarkan?" Ketika dikonfrontasi ke forum, terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa tindakan tersebut salah karena dianggap dosa menurut agama. Sementara ada yang menganggap itu sebagai benar karena memang orang yang mencuri itu membutuhkan. Dan begitu seterusnya diskusi akan berlanjut.
Kelima, diskusi dan dialog dalam kegiatan ini harus terjadi sealamiah mungkin, tidak boleh dikondisikan atau dikendalikan demi memenuhi agenda fasilitator. Artinya, fasilitator tidak boleh memiliki jawaban sendiri dan memaksakannya sebagai keputusan kelompok.
Pendidikan Untuk Hidup Bersama
Pelatihan semacam ini sangat bermanfaat dalam konteks kehidupan bersama. Beberapa manfaat dapat dikemukakan. Beberapa darinya merupakan input atau masukkan dari para peserta setelah kegiatan. Beberapanya lagi dapat dirujuk ke referensi terkait berfilsafat bersama anak-anak.
Pertama, mengajukan pertanyaan akan melatih kita untuk menjadi warga negara yang partisipatif, mau melibatkan diri dalam kehidupan bersama. Ingat, mengajukan pertanyaan hanya mungkin dilakukan jika orang menaruh perhatian (memerhatikan) suatu peristiwa yang sedang terjadi. Melibatkan diri dalam kehidupan bersama adalah sebuah keharusan. Mengajukan pertanyaan sama artinya dengan merumuskan masalah sebagai langkah awal untuk mencari dan menemukan jalan keluar.
Kedua, kita belajar untuk memilah-milah pertanyaan dan segera mencari jalan keluar. Dalam kehidupan bersama, ada banyak sekali masalah konkret atau real (pertanyaan tertutup) yang penyelesaiannya harus langsung dieksekusi alias tidak bisa ditunda. Sementara pertanyaan terbuka membuka diskusi untuk menemukan akar permasalahan sesuatu. Inilah ranah filsafat.
Ketiga, Â setiap orang diberi ruang untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik sesuai kemampuan dan keadaan dirinya. Tidak boleh ada pemaksaan kehendak atau penggiringan kepentingan. Selain itu, setiap orang juga memiliki kesempatan yang setara untuk menyatakan posisinya.
Kelima, berfilsafat bersama anak-anak dapat membiasakan kita untuk membentuk apa yang disebut para penggiat berfilsafat bersama anak-anak sebagai "community of inquiry" atau komunitas yang suka bertanya dengan catatan bahwa orang tidak sekadar bertanya tetapi pertanyaan-pertanyaan yang lebih tertata dan teroganisir. Latihan sederhana memilah-milah pertanyaan menjadi terbuka, tertutup atau ragu-ragu sebenarnya adalah cara melatih kemampuan membentuk pertanyaan-pertanyaan yang tertata itu.
Pelatihan itu telah selesai. Setiap kegiatan memiliki kisah keberhasilan dan kesuksesannya sendiri. Semoga pelatihan ini menjadi momentum perjumpaan dan saat untuk belajar bersama. Demi kehidupan bersama yang lebih berkualitas. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H