Disebut demikian, karena sikap ini ber-hasil menghindarkan orang Kristen dari menjadi pribadi moral yang terlalu laksis dan terlalu pemaaf.
Ketiga, memberi penekanan pada pihak korban dan bukan pada pihak pelaku tampak bagi sebagian orang yang berpikiran seperti Nietzsche sebagai pribadi kerdil bermoral budak. Bahwa individu yang tersakiti harusnya mem-balas dengan tindakan yang setimpal.
Tetapi sekali lagi, dari perspektif psikologi, korban ingin memastikan kesehatan jiwa-nya agar tidak terganggu dengan memberi maaf dan pengampunan sembari meng-usahakan pemulihan nama baik dan pene-gakan keadilan sebagai bagian dari tun-tutan keadilan sebagai warga negara.Â
Kalau pun kemudian UAS meminta maaf, permintaan maaf itu tidakmengurangi tuntutan penegakan keadilan, dan itu adalah sebuah tindakan berkeutamaan dari pihak korban.Â
Sebaliknya, jika UAS tidak meminta maaf, pihak korban telah mengambil sikap dan tindakan mulia memberi pengampunan demi menjamin kewarasannya sebagai manusia.Â
Tetapi penolakan meminta maaf dari pelaku tidak menjadi jaminan bagi dirinya untuk terbebas dari tuntutan penegakan keadilan atau pemulihan nama baik dari pihak korban.Â
Tentu hal terakhir ini mengandaikan ber-lakunya sebuah sistem penegakanhukum yang pasti dan adil (bebas dari intervensi, terror dan tekanan massa).
Kenyataan bahwa tindakan memaafkan dan memberi pengampunan dari pihak korban yangn tidak diikuti oleh sikap meminta maaf dari pelaku telah meya-kinkan saya untuk menarik sebuah kesimpulan ini.Â
Bahwa sikap mengampuni dari pihak korban (dalam hal ini adalah orang Kris-ten) telah menyingkapkan sifat-sifat keilahian mereka.Â
Dan inisejalan dengan kebijaksanaan klasik sebagaimana yang saya kutip di atas: berbuat salah itu suatu hal yang manusiawi, memaafkan dan meminta maaf itu sifatilahiah".Â
Dalam cara pandang yang sangat se-derhana ini saya hanya ingin mengatakan, bahwa sikap menolak meminta maaf adalah sikap mengingkari keilahian diri manusia sendiri (salah satu dimensi manusia dalam struktur diri psikologis).