Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Para Perazia Buku Itu Anti-Peradaban

5 Agustus 2019   10:26 Diperbarui: 6 Agustus 2019   02:49 2672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SABTU, 3 Agustus 2019, berita menghebohkan jagat maya datang dari Makassar, Sulawesi Selatan. Sekelompok anak muda menyebut diri sebagai Brigade Muslim Indonesia, merazia dan merampas sejumlah buku yang mereka klaim sebagai buku kiri berpaham komunis. Tidak main-main.

Razia buku di Gramedia Makassar yang berlokasi di Trans Mall. Dilihat dari tempatnya, menunjukkan kepada kita, bahwa kawasan itu sungguh sangat ramai. Dan razia buku tetap saja berlangsung.

Sebagaimana dapat kita saksikan dalam video yang diunggah oleh kelompok ini dan berbagai kecaman terhadap mereka, alasan razia buku adalah karena buku-buku berpaham komunis telah dilarang.

Sedang melakukan pancarian buku-buku berpaham radikal yang sebenarnya telah dilarang Undang-Undang," kata salahseorang pelaku.

Lanjutnya lagi, "Alhamdulillah kami bekerjasama dengan pihak Gramedia untuk menarik buku ini dan mengembalikan ke percetakannya. Kita sepakat bahwa Makassar harus bebas dari paham Marxisme dan Leninisme."

Tampak jelas, beberapa buku-buku yang mereka razia itu adalah Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme dan Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka karya Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, filsuf, guru besar emeritus, dan Rohaniawan Katolik penulis dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.

Selain itu, buku Tokoh-tokoh Dunia yang Memengaruhi Pemikiran Bung Karno karya Sulaiman Effendi juga ikut dirazia.

Publik mengecam aksi sepihak itu sebagai tindakan bodoh dan melanggar hukum. Kalau pun perundang-undangan mengizinkan razia atas buku-buku yang dapat menggangu ketertiban umum, tindakan itu hanya dapat dilakukan oleh pihak berwenang, dan bahwa putusan pengadilanlah yang menentukan apakah sebuah buku mengganggu ketertiban umum atau tidak.

Jelas, selain belum ada keputusanpengadilan, publik juga belum menunjukkan reaksi, apakah buku-buku yang dijual di Gramedia itu melanggar ketertiban umum atau tidak.

Saya pribadi menyayangkan sikap dan reaksi pihak Toko Buku Gramedia yang terkesan tidak tegas. Sebagaimana dapat dibaca dari media, General Manager Corporate Communication Gramedia, Saiful Bahri sangat menyayangkan tindakan yang dilakukan kelompok tersebut.

"Kami menyayangkan tindakan razia secara sepihak itu," demikian Saiful.

Bagi saya, seharusnya bukan "menyayangkan" tetapi "mengecam" sekaligus secara serius melaporkan tindakan brutal dan anti-intelektualisme ini kepada pihak berwenang.

Sebagai pencinta dan penikmat buku-buku terbitan Gramedia dan kelompoknya, saya juga ikut tersingggung melihat pelayan toko buku yang ikut berdiri di samping kelompok perazia tersebut.

10 Alasan Razia Buku

Pertanyaannya, mengapa selalu ada orang yang merasa paling benar dan mau merazia buku?

Ada beberapa alasan utama mengapa sebuah buku dilarang.

Isi buku tersebut mengandung kebencian pada ras atau agama tertentu. Contoh buku yang dilarang karena alasan ini adalah To Killa Mockingbird to The Absolutely True Diary of a Part-Time Indian.

Buku tersebut mengandung seruan yang memromosikan cara hidup yang tidak hanya bertentangan dengan cara hidup masyarakat kebanyakan, tetapi juga berbahaya dan merusak.

Misalnya, promosi penyalahgunaan narkoba, kehidupan kumpul kebo, homo seksualitas, dan sebagainya. Contoh: buku berjudul Brideshead Revisited, The Outsiders, Go Ask Alice, dan sebagainya.

Buku tersebut mengandung dialog atau perbincangan yang menghina dan menghujat Tuhan. Contoh: Of Mice and Men, The Great Gatsby, As I Lay Dying, The Grapes of Wrath, dan sebagainya.

Buku-buku yang secara eksplisit mengandung pornografi padahal diperjualbelikansecara umum. Misalnya, A Farewell to Arms dan Brave New World.

Buku-buku yang mengandung kekerasan. Misalnya, buku berjudul Flew Over the Cuckoo's Nest.

Buku-buku yang mengandung negativitas, misalnya buku berjudul Lord of theFlies, The Diary of a Young Girl.

Buku-buku yang mengandung persugihan, praktik magi, dan semacamnya. Contoh palingkontroversial adalah pelarangan buku-buku serial Harry Potter karya J.K.Rowling.

Buku-buku berisi ajaran agama yang sempalan atau agama yang tidak berafilisasi dengan agama besar (resmi) tertentu.

Umumnya ini dihubungkan dengan ajaran-ajaran kepercayaan yang meresahkan karena bertentangan dengan ajaran kanonikal agama resmi. Contoh yang paling terkenal adalah buku The Da Vinci Code.

Selain itu, juga buku berjudul The Chronicles of Narnia.

Buku-buku yang mengandung bias politik, bertentangan dengan kepentingan rezim politik yang sedang berkuasa, bertolak-belakang dengan ideologi resmi, dan semacamnya.

Buku yang paling terkenal yang dilarang karena alasan ini adalah Animal Farm, selain buku Of Mice and Men.

Buku-buku tertentu yang dilarang karena dinilai tidak sesuai dengan usia pembaca. Misalnya, buku The Giver, The Perks ofBeing a Wallflower, The Kite Runner, Are You There Good, dan sebagainya.

Dari kesepuluh alasan yang dikemukakan ini dan dengan mempertimbangkankelompok yang melakukan razia buku di Makassar, tampaknya alasan nomor 1, 8, dan 9 memengaruhi dan melandasi tindakan mereka.

Meskipun demikian, tindakan sewenang-wenangtanpa landasan hukum harus dianggap sebagai tindakan melawan hukum.

Bersama publik, saya juga ikut menyeruhkan penangkapan dan penegakan hukum terhadap kelompokini.

Buku-buku yang dirazia di TB Gramedia Makassar. Sumber: gambar-gambar yang dimontase YJ.
Buku-buku yang dirazia di TB Gramedia Makassar. Sumber: gambar-gambar yang dimontase YJ.

Tindakan Anti-Intelektual dan Anti-Peradaban

Pertanyaan paling filosofis adalah mengapa harus ada aksi razia atau pelarangan terhadap produk dan karya buku? (Pertanyaan yang sama juga diajukan atas karyakreatif lainnya seperti film, karya seni, dan sebagainya).

Bukankah buku adalahkarya intelektual yang merefleksikan tindakan kebebasan manusia? Bukankah melarang atau merazia buku sama saja dengan merampas kebebasan berpikir manusia?

Jawaban terhadap pertanyaan ini menggarisbawahi pandangan filosofis dan etis saya.

Pertama, betul bahwa karya tulis berupa buku adalah ekspresi kebebasan berpikir manusia. Kebebasan berpikir dan berkreasi tidak boleh dibatasi.

Meskipun demikian, pengungkapannya tetap harus bersifat terbatas persiskarena isi pemikiran dapat menggangu kebebasan berpikir dan kebebasan hiduporang lain.

Campur tangan negara dalam mengatur kebebasan berpikir bersifat tidak mutlak, tetapi dibutuhkan sebagai cara untuk menjamin agar kebebasan berpikir dan pengeskpresiannya tidak melanggar kebebasan berpikir dan ekspresinya dari warga negara lainnya.

Dalam logika berpikir demikian, alasan ketertiban umum dapat dimengerti. Meskipun harus segera ditambahkan bahwa alasan kepentingan umum tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang oleh penguasa hanya untuk melanggengkan kekuasaannya.

Kedua, campur tangan pemerintah dalam pembatasan penyebaran karya tulis pertama-tama harus mempertimbangkan kesepuluh alasan pelarangan buku yang saya kemukakan di atas.

Meskipun demikian, keputusan harusdiambil berdasarkan mekanisme demokratis di mana public engagement (misalnyadebat publik yang terbuka dan intens) adalah syarat yang tidak bisa ditawar.

Debat publik yang demokratis ini juga menjadi cara untuk memfilter dan mensteril pemaksaan kepentingan kelompok dan ideologi tertentu.

Ketiga, tindakan kelompok tertentuseperti yang dilakukan Brigade Muslim Indonesia dengan mengatasnamakankepentingan publik harus dilihat sebagai aksi vigilantes yang berpotensi merusak kepentingan umum.

Tindakan semacam ini harus diberantas secara tegas,pertama-tama demi menegakkan ketertiban umum, tetapi juga untuk "menyelamatkan"wajah penegak hukum.

Keberhasilan penegakan hukum atas tindakan sepihakkelompok ini akan menjawab keraguan publik soal siapa yang berperan sebagaipenegak hukum di Republik ini, polisi atau preman?

Keempat, bagi saya, tindakan kelompok preman ini menunjukkan sikap mereka yang anti-peradaban. Jika peradaban identik dengan maksimalisasi pertimbangan nalar dan kajian intelektual dalam pengambilan keputusan.

Sikap dan tindakan kelompok brigade ini sama sekalitidak menunjukkan sebuah pertimbangan rasional dan kajian akademis.

Saya ragu mereka telah membaca dan mengkaji secara akademis isi dari buku-buku yangmereka razia tersebut sebelum sampai pada kesimpulan bahwa buku-buku tersebut mengganggu ketertiban umum.

Akhirulkalam, mari meningkatkan literasi dengan rajin membaca supaya tidakmenjadi bodoh dan tidak kritis.

Hanya dengan cara ini, kita dibebaskan dari sikap dan tindakan bodoh yang hanya akan ditertawakan orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun