Tindakan Anti-Intelektual dan Anti-Peradaban
Pertanyaan paling filosofis adalah mengapa harus ada aksi razia atau pelarangan terhadap produk dan karya buku? (Pertanyaan yang sama juga diajukan atas karyakreatif lainnya seperti film, karya seni, dan sebagainya).
Bukankah buku adalahkarya intelektual yang merefleksikan tindakan kebebasan manusia? Bukankah melarang atau merazia buku sama saja dengan merampas kebebasan berpikir manusia?
Jawaban terhadap pertanyaan ini menggarisbawahi pandangan filosofis dan etis saya.
Pertama, betul bahwa karya tulis berupa buku adalah ekspresi kebebasan berpikir manusia. Kebebasan berpikir dan berkreasi tidak boleh dibatasi.
Meskipun demikian, pengungkapannya tetap harus bersifat terbatas persiskarena isi pemikiran dapat menggangu kebebasan berpikir dan kebebasan hiduporang lain.
Campur tangan negara dalam mengatur kebebasan berpikir bersifat tidak mutlak, tetapi dibutuhkan sebagai cara untuk menjamin agar kebebasan berpikir dan pengeskpresiannya tidak melanggar kebebasan berpikir dan ekspresinya dari warga negara lainnya.
Dalam logika berpikir demikian, alasan ketertiban umum dapat dimengerti. Meskipun harus segera ditambahkan bahwa alasan kepentingan umum tidak boleh digunakan secara sewenang-wenang oleh penguasa hanya untuk melanggengkan kekuasaannya.
Kedua, campur tangan pemerintah dalam pembatasan penyebaran karya tulis pertama-tama harus mempertimbangkan kesepuluh alasan pelarangan buku yang saya kemukakan di atas.
Meskipun demikian, keputusan harusdiambil berdasarkan mekanisme demokratis di mana public engagement (misalnyadebat publik yang terbuka dan intens) adalah syarat yang tidak bisa ditawar.
Debat publik yang demokratis ini juga menjadi cara untuk memfilter dan mensteril pemaksaan kepentingan kelompok dan ideologi tertentu.