Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Makna Bantal dalam Kehidupan Manusia

1 Juli 2019   10:17 Diperbarui: 3 Juli 2019   07:54 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Kita terbiasa menggunakan bantal sewaktu tidur,sebagai alas pantat, alas punggung, dan sebagainya, sehingga refleksi terhadapnya kadang terabaikan. Apakah bantal itu dan apa maknanya bagi hidup manusia? Apakah ia hanya bisa dimaknakan secara konotatif atau dapat juga bermakna religious-spiritual? Merefleksikan bantal sebagai produk budaya ternyata bisa membuat kita memahami makna kehidupan manusia. Dalam arti itu, bantal membantu kita merenungkan makna hidup kita sendiri sebagai manusia.

Kamus Besar Bahasa Indonesia online memaknakan "bantal" sebagai "alas kepala, alasduduk, sandaran punggung, dan sebagainya yang dijahit seperti karung, diisi dengan kapuk, sabut, atau semacamnya" Itu definisi fungsional "bantal".

Manusia --bahkan binatang-- menggunakan bantal untuk menciptakan rasa nyaman dan nikmat bagi tubuhnya. Meskipun dalam perkembangannya bantal "mengemban" fungsi dekoratif dalam artian sebagai penghias rumah dan sebagai penanda kelas sosial, makna asalinya sebagai pemberi rasa nyaman pada tubuh tidak bisa dilepaskan darinya.

Berkembang dalam Kebudayaan Manusia
Tidak bisa dipastikan kapan manusia dan binatang mulai mengenal dan menggunakan bantal. Meskipun demikian, amatan terhadap perilaku binatang, misalnya monyet dan binatang lainnya yang menggunakan tangan sebagai pengalas kepala ketika tidur, dapat dikatakan bahwa manusia dan binatang sudah lama terbiasa menggunakan bantal sebagai pengalas kepala ketika tidur.

Tidak jarang juga mereka menjadikan batu atau kayu sebagai pengalas kepala.

Diperkirakan sejak periode domestikasi binatang (domestikasi binatang pertama kali terjadi pada zaman mezolithikum. Anjing, misalnya, didomestikasi manusia kira-kira 15 ribu tahun yang lalu), binatang peliharaan membiasakan diri menggunakan bantal juga sebagai pengalas kepala sewaktu tidur.

Meskipun demikian,penggunaan "bantal" sebagai pengalas kepala demi rasa nyaman sewaktu tidur diperkirakan berasal dari periode sebelum domestikasi. Kira-kira selama 5-23 juta tahun lalu, kera tipe besar penghuni hutan mulai menggunakan alat-alat tertentu sebagai bantal pengalas kepala, antara lain kayu, Kera-kera besar itu bahkan mampu meningkatkan kualitas tidurnya sampai 9 jam per hari karena tidur menggunakan bantal sebagai pengalas kepala. 

Dan itu menguntungkan mereka, terutama dalam logika persaingan dan kebertahanan hidup. Oleh karena tidur yang lelap (tanpa gaduh), kera-kera terbebas dari incaran pemangsa. Selain itu, tidur yang lelap dan cukup mampu meningkatkan kapasitas kognitif mereka.

Dalam kebudayaan Mesir dan Yunani Kuno, sumber rercatat yang menunjukkan pemakaian bantal dalam hidup manusia dan binatang adalah periode peradaban Mesopotamia, yakni sekitar 7000 tahun sebelum masehi.

Bantal di masa ini digunakan hanya oleh keluarga-keluarga kaya. Jumlah bantal yang dimiliki bahkan menjadi penanda dan simbol status sosial. Semakin sebuah keluarga memiliki banyak bantal, semakin dia dikenal dan diakui sebagai keluarga kaya.

Pada saat bersamaan, bantal juga mengemban fungsi sebagai alat penyembuh rasa sakit pada leher, pundak, dan punggung. Sudah sejak masa ini, bantal juga digunakan sebagai alat untuk membersihkan dan menghindarikan rambut, telinga dan mulut manusia dari berbagai serangga selama tidur.

Di Mesir sendiri, penggunaan bantal diasosiasikan dengan mumi dan kubur. Bantal digunakan sebagai pengalas kepala sewaktu tidur diasalkan pada kebudayaan Mesir Kuno selama dinasti ke-11, yakni selama tahun 2055-1985 SM. Orang Mesir menggunakan bantal yang terbuat dari kayu dan batu.

Umumnya bantal diletakkan persis di bawah kepala dari orang yang meninggal. Selain melambangkan hakikat atau inti kehidupan (life), kepala dalam peradaban Mesir Kuno juga menyimbollkan sesuatu yang kudus (sacred).

Sementara bagi orang yang masih hidup, bantal yang diletakkan di bawah kepala selama tidur akan membantu membuat kepala terangkat (mendongak). Ini akan menjadikan hidup menjadi bersemangat, mempertahankan peredaran darah, dan mencegah masuknya roh jahat.

Lain lagi dengan orang Romawi dan Yunani Kuno. Kedua bangsa Eropa ini dikenal sebagai bangsa yang menciptakan bantal dengan cita rasa yang lembut. Berbeda dari kebudayaan Mesir Kuno yang membuat bantal dari kayu atau batu, bantal-bantal dalam kebudayaan Romawi dan Yunani Kuno diisi dengan alang-alang, bulu, dan jerami untuk membuatnya lebih lembut dan lebih nyaman.

Meskipun masyarakat kebanyakan telah menggunakan bantal ketika tidur atau sebagai pengalas duduk, biasanya kelompok kelas kaya saja yang memiliki bantal yang lebih halus (lembut).

Sejak mengenal agama Kristen,orang Romawi dan Yunani membawa bantal ke gereja sebagai pengalas lutut atau untuk meletakkan Kitab Suci demi kenyamanan membaca. Orang Romawi dan Yunani juga menggunakan bantal sebagai pengalas kepala orang yang telah meninggal. Fungsi bantal semacam ini tetap dipelihara dan diwariskan hingga kini.

Dalam kebudayaan Cina, bantal secara tradisional berbentuk padat, meskipun kadang-kadang digunakan dengan kain yang lebih lembut di atasnya. Bantal yang terbuat dari bambu, batu giok, porselen, kayu, bahkan perunggu sudah dikenal luas dan telah digunakan oleh banyak dinasti Cina. Bantal keramik menjadi yang paling populer.

Penggunaan bantal keramik pertama kali muncul di Dinasti Sui antara tahun 581 dan tahun 618, sedangkan produksi massal muncul di Dinasti Tang antara 618 dan 907. Orang Cina mendekorasi bantal mereka dengan membuat berbagai bentuk dan melukis gambar binatang, manusia, dan tanaman di atasnya. Salah satu jenis tembikar yang umum digunakan adalah barang Cizhou.

Bantal keramik Cina mencapai puncaknya dalam hal produksi dan penggunaan selama Dinasti Song, Jin, dan Yuan, yakni antara abad ke-10 dan ke-14, tetapi perlahan-lahan dihapus selama Dinasti Ming dan Qing antara tahun 1368 dan 1911 dengan munculnya bahan pembuatan bantal yang lebih baik.

Tidak Sekadar Fungsional
Uraian ini membantu kita mengerti bahwa bantal dan penggunaannya adalah bagian integral dari kebudayaan manusia. Sejak diinvensi, bantal mengemban fungsi sebagai pemberi rasa nyaman di kala tidur.

Semula manusia memanfaatkan benda-benda di sekitarnya sebagai pengalas kepala, tetapi lama kelamaan kebutuhan akan bantal yang lebih lembut dan nyaman ikut menjadi bagian dari kebutuhan.

Dari awal kita juga mengerti bahwa tidur yang nyaman meningkatkan kualitas hidup manusia, antara lain meningkatkan kapasitas kognitif, selain pada binatang juga dapat menghindarkan mereka dari ancaman predator.

Itu artinya secara fungsional, bantal itu menciptakan kenyamanan. Dalam arti itu, kita mengerti mengapa ada sebagian kita yang tidak bisa tidur ketika harus berganti bantal (misalnya tidur di kamar orang lain atau di hotel yang berbeda bantal).

Dari sejarah, kita juga belajar bahwa sudah lama bantal menjadi simbol sosial. Kita memang memiliki akses yang terbatas ke dalam kamar tidur seseorang. Tetapi ketika bertamu ke rumah orang dan menemukan bantal sebagai hiasan di kamar tamu, kita dapat memahami tingkat sosial pemilik rumah.

Kesan atau pemahaman itu tidak hanya kita tangkap dari mahalnya sarung bantal, tetapi juga kelembutan,kehangatan, dan sensasi yang dapat ditimbulkan oleh sebuah bantal di ruang tamu itu. [Bantal mewah dijual di Amazon dengan harga yang bervariasi, mulai dari 30-100 USD, atau IDR450K-IDR1,3 Juta]. Bantal-bantal mahal itu dipromosikan sebagai sangat menyenangkan dan membuat seseorang menikmati sensasi tidur.

Makna Religius
Kata "bantal" muncul dalam Kitab Suci orang Kristen. Orang Katolik membaca dan merenungkan Injil Matius 8:18-22 di hari Senin, Pekan Biasa XIII. Yesus berkata kepada seorang ahli Taurat yang ingin mengikuti-Nya, katanya, "....Anak Manusia tidak mempunya bantal untuk meletakkan kepala" (ayat 8:20). Memang di situ dikatakan bahwa anak manusia tidak memiliki rumah untuk meletakkan kepala, tetapi dapat juga dimengerti sebagai ketiadaan bantal.

Di sinilah persisnya kita memahami makna bantal dalam arti "kenyamanan". Sama seperti bantal mengembankan fungsi kenyamanan bagi penggunanya, dan seorang bisa terganggu tidurnya ketika tidak menggunakan bantal yang membuatnya nyaman, demikian pula esensi dari mengikuti atau menjadi murid Tuhan. Pilihan dan putusan menjadi murid Tuhan selalu menimbulkan ketidaknyamanan. Dan itu sudah diingatkan dari awal ketika seseorang memutuskan menjadi pengikut Kristus.

Ketidaknyamanan karena memilih mengikuti Tuhan itu termanifestasi dalam banyak hal. Secara personal, orang dituntut untuk hidup dalam pertobatan dan pembersihan hidup terus-menerus supaya pantas menjadi pengikut Tuhan. 

Tuntutan ini dapat dimengerti karena jalan Tuhan yang bersih dan suci hendaknya tidak dicampur atau dikompromikan dengan kebiasaan hidup yang kotor dan berdebu. Ketidaknyamanan menjadi semakin terasa persis ketika kenyamanan --karena bantal yang empuk-- telah membentuk manusia dalam pola hidupnya yang lama (baca: penuh dosa).

Dalam arti itu pula kita mengerti ayat lanjutan dari Injil Matius itu, ketika Yesus mengatakan bahwa pilihan dan keputusan untuk mengikuti Tuhan itu harus bersifat total dalam arti membebaskan dan memisahkan diri dari ikatan dengan hal-hal lainnya. 

Yesusmenggunakan kalimat yang sangat keras, bahwa bahkan saudara-saudara yang meninggal pun tidak menjadi alasan untuk menunda mengikuti Dia hanya karena ingin kembali dan menguburkan mereka terlebih dahulu. "Biarkan orang-orang mati menguburkan orang-orang mati mereka" tetapi kamu datanglah dan ikutilah Aku.

Sekali lagi, renungan mengenai "bantal" memberi kita kesempatan untuk merancang hidup kita secara lebih dalam. Pertama, pada level tertentu, kita butuh kehidupan yang nyaman. Kita butuh kehidupan yang berkualitas.

Tetapi sejauh manakah kita menjadi begitu terikat pada kenyamanan hidup itu? Apakah kenyamanan hidup justru menjadi simbol status sosial sebegitu rupa sehingga kita menjadi terikat padanya? Apakah kita menjadi orang yang kehilangan semangat hidup ketika berada pada situasi tanpa kenyamanan, seperti seseorang yang resah dan tidak bisa tidur karena jauh dari bantalnya yang nyaman?

Kedua, renungan tentang bantal membantu kita melihat motivasi hidup keberagamaan kita. Apakah kita termasuk bilangan yang mengkompromikan Tuhan? Apakah kita adalah orang-orang yang mengikuti Tuhan secara setengah-setengah? Kita diingatkan bahwa mengikuti Tuhan adalah pilihan yang bebas.

Begitu memilih, kita terikat pada tanggung jawab untuk setia pada pilihan itu. Dan itu sebuah pengalaman yang tidak menimbulkan rasa nyaman dalam artinya yang sesungguhnya.

Semoga kita diberkati Tuhan dan diizinkan untuk bertumbuh menjadi pribadi-pribadi luhur yang tidak melekatkan diri pada berbagai kenyamanan hidup.

Semanggi, 1 Juli 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun