Hari pertama di pekan pertama bulan Maret 2019. Matahari bergerak perlahan menuju sore. Jakarta masih padat merayap. Ribuan orang tampak betah dengan pekerjaan masing-masing: di kantor, di warung-warung pinggir jalan, dari balik kemudi taksi dan transportasi online, dan sebagainya.
Di sore hari yang agak mendung. Berbagai media massa dan media sosial memberitakan bahwa seorang politisi terkenal baru saja ditangkap di bilangan Jakarta Barat, di sebuah hotel berbintang di daerah Slipi.
Tidak jauh dari Menara BCA dan RS Harapan Kita. Berita seputar seorang politisi dengan "mulut berbisa" yang ditangkap bersama seorang perempuan segera menghiasi portal-portal berita dan dinding-dinding media sosial.
Media mewartakan, sang politisi baru selesai mengkonsumsi benda terlarang itu. Polisi bergerak cepat. Kamar hotel mereka acak-acak, kloset di toilet pun dibongkar. Benar saja. Ada bukti kuat sang politisi mengkonsumsi narkoba.
Ini sungguh sebuah berita bernilai jual super tinggi bagi para pemburu berita. Kata teman dosen, media menggoreng habis peristiwa ini.
Di lapak berita mana pun, Andi Arief menjadi headline. Berbagai fokus dijadikan sebagai bidikan, tidak peduli apakah fokus itu benar-benar serius atau tidak.
Ada yang mengupas soal kamar hotel yang berantakan, soal kehadiran seorang perempuan, kondom bergerigi, ranjang hotel dengan seprei berantakan, kloset yang terbelah, Andi Arief yang duduk di antara kardus-kardus dan sebagainya.
Media sosial pun tidak kalah "galak". Ribuan re-twit berita disebar lewat medium WA, facebook, youtube, dan platform lainnya. Andi Arief dan peristiwa dia tertangkap mengkonsumsi narkoba di Hari Minggu, 3 Maret 2019, sedang menjadi trending topic.
Tokoh Publik Wajib Jaga Diri
Apakah pemberitaan yang cendrung sarkastik dan mengarah kepada penghinaan ini terjadi hanya karena pandangan masyarakat bahwa tokoh publik selevel Andi Arief harus memiliki integritas moral yang tinggi?
Asumsi ini ada benarnya, tetapi itu berlaku untuk semua saja pejabat atau figur publik. Khusus untuk Andi Arief, sepertinya ada predikat lain yang membuat peristiwanya segera menjadi headline news. Ya, itu berhubungan dengan sosok Andi Arief yang kontroversial.
Publik tidak akan pernah lupa karakteristik Andi Arief di ruang publik. Politisi Partai Demokrat ini terkenal kritis, sarkastik dan cendrung merendahkan Jokowi dan pemerintahannya. Beberapa peristiwa kuat dalam ingatan publik berasal dari cuitan Andi Arief.
Sebut saja soal 7 kontainer dari Cina berisi kartu pemilu yang telah dicoblos, cuitan soal Ratna Sarumpaet, soal rumah orang tuanya di Lampung yang konon didatangi aparat kepolisian, dan berbagai cuitan "kritis" ke pemerintahan Jokowi-JK.
Maka, ketika Andi Arief tersandung kasus semacam ini, para musuhnya menari-menari. Mereka bersorak ria. Mungkin ada yang sujud syukur. Ada rekan dosen yang berteriak, katanya, "Gusti Allah Ora Sare", semacam rasa suka cita ketika "orang sombong" dijatuhkan oleh keadilan Tuhan. Seakan-akan sedang terjadi penghukuman Tuhan atas orang sombong dan merasa benar sendiri.
 Mungkin inilah suasana batin publik sejak siang sampai menjelang malam hari ini. Tentu ada juga pembela Andi Arief dan kubu politiknya yang bahkan menyalahkan Jokowi sebagai yang tidak mampu memberantas narkoba, sehingga Andi Arief menjadi korbannya.
Tetapi cara berpikir semacam ini konyol, karena hanya akan mengesankan sedang terjadinya apa yang disebut sebagai "pengkambinghitaman", "playing victim", dan semacamnya.
Mari kita maknakan peristiwa ini dari sudut pandang yang berbeda. Saya berangkat dari nasihat spiritualitas tradisional, yang mengatakan bahwa tokoh publik harus menjaga diri dan moralitasnya sebaik mungkin. Dia harus menjalankan hidupnya sesempurna mungkin, pertama-tama bukan demi mendapat sanjungan, tetapi demi menyelamatkan dirinya.
Tokoh publik harus hidup dalam standar moral yang tinggi dan harus mempertahankannya. Dia tidak boleh main-main dengan kehidupannya, karena ribuan bahkan jutaan mata akan terus memandang dia. Salah langkah akan membuat dia jatuh dan hancur.
Dengan begitu, "kejatuhan Andi Arief" harus dibaca sebagai bagian dari kecerobohannya sendiri. Bagi saya, ini bukan hukuman Tuhan. Dia memang bukan orang sempurna, sama seperti kita semua manusia yang tidak sempurna.
Selaku tokoh publik, ketidaksempurnaan Andi Arief seharusnya disempurnakan oleh komitmennya untuk menjaga diri. Bagi saya, persis di situlah Andi Arief tampak tidak sanggup menjaga dirinya.
"Kejatuhan" Andi Arief karena kecerobohan diri ini sebenarnya langsung mematikan dirinya sendiri. Karier politiknya mungkin tidak berakhir, tetapi integritas moralnya dapat dikatakan sudah tamat.
Bayangkan jika Andi Arief akan menjalani rehabilitasi. Bayangkan pula bahwa setelah normal atau sehat, dia kembali menggeluti dunia politik, dia kembali berceloteh di media sosial. Bayangkan Andi Arief kembali berjumpa dengan masyarakat, berkampanye, membangun komunikasi politik dan sebagainya.
Dengan kekuatan moral apakah Andi Arief akan melakukan hal ini? Apakah dia masih sanggup tersenyum bangga dengan dirinya sendiri ketika berada di antara orang banyak sambil orang banyak itu melihatnya dari dalam hati sebagai orang yang "cacat"? Apakah senyumnya masih seindah sebelum tersandung kasus narkoba? Apakah kegalakkannya sungguh-sungguh akan menjadi pisau yang mematikan bagi lawan politik?
Rasanya tidak. Bagi saya, Andi Arief telah habis.
Kita Perlu Bersimpati
Eforia pemberitaan akan terus keras hari-hari ke depan. Seluruh jejak digitalnya segera terbongkar dan diulas, kemungkinan dengan nada sarkastik dan hinaan, mirip yang Andi Arief lakukan selama ini terhadap penguasa dan lawan-lawan politiknya.
Tetapi sebagai sesama manusia, ada baiknya juga kita berhenti menghujat. Ada waktunya kita bersimpati dan mengucapkan turut prihatin. Kini saatnya kita mengungkapkan rasa iba kita sambil berharap agar Andi Arief melewati hari-hari ke depan secara jantan.
Mungkin ini momen yang tepat bagi Andi Arief untuk berefleksi. Baik kalau mantan aktivis itu sedikit menengok ke belakang, mencermati jejak-jejak pijaknya yang telah ia bangun, mungkin tidak sepenuhnya jujur dan tulus dalam berpolitik demi kemajuan bangsa, tetapi lebih demi kekuasaan dan pemuliaan diri. Entahlah sekarang saatnya untuk belajar menjadi manusia dalam artinya yang penuh.
Saya doakan Anda, ya Andi Arief, semoga tegar menghadapi kemelut hidup ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H