Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kutukan Salib

4 Februari 2019   09:34 Diperbarui: 4 Februari 2019   09:48 891
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suana aksi massa di Kota Solo yang menolak ornamen menyerupai salib. Sumber: http://vito.id/2019/01/21/ormas-keagamaan-protes-ornamen-proyek-jalan-mirip-salib-di-solo/

Paruh kedua bulan Desember 2018. Siapa menyangka kalau salib di kubur Albertus Slamet Sugiahardi di Purbayan, Kota Gede, Yogyakarta, dipotong bagian atasnya oleh warga setempat? 

Daerah Istimewa Yogyakarta yang selama ini dikenal toleran dan pluralis (Imam Subkhan, Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme Di Yogya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2007, hlm. 47), mendadak tercoreng. 

Bagi sebagian orang, alasan bahwa hampir seratus persen warga setempat beragama Muslim, dan hadirnya simbol keagamaan non Muslim dapat memicu ketidakharmonisan sosial sebagaimana diklaim Ketua RT sulit diterima. 

Dalam negara demokratis, kalaupun satu saja warga negara yang berbeda, perbedaan itu tidak bisa dilebur ke dalam kesamaan yang diatasnamakan kaum mayoritas. 

Tetapi, ya sudahlah, toh peristiwa yang menggores luka pada keluarga almarhum Sugiahardi sudah terjadi dan tidak ada jaminan untuk tidak terulang lagi di masa depan.

Ingatan kita belum benar-benar menghilang ketika rasa benci pada salib -- ada yang melihatnya sebagai rasa takut -- kembali mencuat. Kali ini, meskipun belum jelas benar apakah itu Salib atau bukan, protes sebagian warga Solo terhadap ornamen mirip salib di jalan depan Balai Kota, membangkitkan lagi memori kita, bahwa rasa benci atau rasa takut pada salib itu masih eksis di sekitar kita. Menyimak komen para pembaca berita seputar kejadian ini, tiga kesan kuat dapat ditarik. (lihat misalnya, berita online [1], [2]).

Pertama, kelompok pembaca yang tidak mempersoalkannya dan tidak ingin menghubungkannya dengan simbol keagamaan tertentu. Kelompok ini bahkan membolehkan bangunan semacam itu karena Indonesia ini memang negara plural.

Kedua, kelompok pembaca yang berpendapat bahwa jika ornament itu benar merupakan salib, yang harus tersinggung adalah orang Kristen, bukan golongan non-Kristiani. Kelompok ini melihat bahwa orang Kristen yang seharusnya marah karena simbol salib -- jika itu betul -- kini diinjak-injak oleh pejalan kaki.

Ketiga, kelompok yang memaksakan simbol itu sebagai salib dan simbol Kristen, bahkan menghubungkannya dengan wali kota Solo yang memang seorang penganut Katolik. Ini adalah posisi keras yang dipilih sebegitu rupa sehingga penjelasan Majelis Ulama Indonesia bahwa ornament itu bukanlah salib melainkan simbol delapan mata angin, justru tidak digubris. 

Ornamen menyerupai salib di depan Balai Kota Solo yang mendapat aksi dan protes massa. Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1166004/ornamen-jalan-mirip-salib-balai-kota-surakarta-akan-didemo
Ornamen menyerupai salib di depan Balai Kota Solo yang mendapat aksi dan protes massa. Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1166004/ornamen-jalan-mirip-salib-balai-kota-surakarta-akan-didemo
Tafsiran dari Dalam

Pertanyaannya, mengapa orang menjadi begitu peka terhadap dan menaruh curiga pada hal-hal yang berhubungan dengan salib dan simbol-simbol kekristenan lainnya? 

Saya lalu teringat pada kata-kata Edith Stein, seorang filsuf perempuan Jerman keturunan Yahudi yang menjadi korban keganasan tantara Nazi. Di Hari Raya Salib Suci, tanggal 14 September 1939, Edith Stein mengatakan dengan lantang:

"Hail, Cross, our only hope!"...At the end of the cycle of ecclesiastical feasts, the Cross greets us through the Heart of the Saviour.And now, as the church year draws toward an end, it is raised high before us and is to hold us spellbound, until the Easter Alleluia summons us anew to forget the earth for a while and to rejoice in the marriage of the Lamb.[...] More than ever the Cross is a sign of contradiction. The followers of the Antichrist show it far more dishonour than did the Persians who stole it.They desecrate the images of the Cross, and they make every effort to tear the Cross out of the hearts of Christians.All too often they have succeeded even with those who, like us, once vowed to bear Christ's Cross after him.Therefore, the Savior today looks at us, solemnly probing us, and asks each one of us: Will you remain faithful to the Crucified? Consider carefully!The world is in flames, the battle between Christ and the Antichrist has broken into the open.If you decide for Christ, it could cost you your life. Carefully consider what you promise.[...] The arms of the Crucified are spread out to draw you to his heart. He wants your life in order to give you his.Ave Crux, Spes unica!

Dalam pemahaman Edith Stein, kelompok yang menolak Kristus dan salib-Nya adalah "pembenci Kristus" alias anti-Kristus . Kelompok ini tidak tidak harus mereka yang beragama non-Kristiani, tetapi bahkan orang Kristen sendiri yang pernah dibaptis dan pernah berjanji untuk setia pada janji baptisnya, tetapi lalu "murtad" dan menanggalkan kekristenannya -- dengan berbagai alasan. 

Tentu sebuah tafsiran yang masih harus dikritisi, tetapi setidaknya ini salah satu narasi yang dikembangkan sebagai reaksi terhadap para pembenci Kristus dan salib-Nya. 

Kebencian pada salib itu, menurut Edith Stein, bahkan melebihi perilaku orang Persia yang merampas dan membawa Salib keluar dari Yerusalem. (Sebagai catatan, pada tahun 614 M, tantara Persia menaklukkan Syria dan Palestina, menguasai Yerusalem dan kemudian membawa pergi Salib yang dipercaya sebagai kayu palang yang digunakan tantara Romawi ketika menghukum mati Yesus. 

Saya sendiri melihat bahwa kata-kata Edith Stein ini menggemakan ramalan Simeon. Pada waktu itu, Simeon sedang bertugas di Bait Allah di Yerusalem. Mengikuti adat dan tradisi orang Yahudi, sesudah sunat, orang tua Yesus, yakni Maria dan Yosef, datang ke Bait Allah untuk mempersembahkan Yesus. 

Ketika keluarga kecil dari Nazareth itu masuk ke pelataran rumah Tuhan, Simeon dan Hana telah menanti di sana. Simon diliputi sukacita mendalam ketika melihat bayi Yesus yang digendong ibunya. 

Dari mulut Simeon kemudian terucap nubuat ini, "Sesungguhnya Anak ini ... menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan" (Luk 2:32). Ya, anak kecil bernama Yesus itu akan menimbulkan perbantanan di mana-mana. Kebenaran yang akan Dia ajarkan ditolak masyarakat yang lebih suka tinggal dalam kegelapan dan dosa.

Ramalan Simeon ini sedikit nyata dalam pengalaman Paulus. Sebagaimana dikisahkan dalam Kisah Para Rasul bab 28:1-31 dan kesaksian Paulus dalam banyak tulisannya, orang-orang yang belum mengenal Kristus dan orang Kristen tidak hanya menolak kelompok ini yang mereka sebut mashab, tetapi sekaligus juga Salib itu sendiri. 

Di ayat 22, para pemuka Yahudi di Roma meminta Paulus menjelaskan mengapa terjadi penolakan terhadap mashab ini (maksudnya orang Kristen) di banyak tempat. Dan jawaban Paulus terhadap pertanyaan ini sangatlah jelas. 

Reaksi terhadap pemberitaan mengenai Kristus selalu bersifat positif dan negatif. Positif artinya orang yang melihat kehidupan orang Kristiani dan mendengar pewartaan mereka, akan menerima Yesus sebagai juru selamat mereka. 

Sebaliknya, yang negatif berarti orang-orang itu, meskipun melihat, mereka tetap tidak menanggap dan meskipun mendengar, mereka akan tetap tertutup telinganya.

Meskipun demikian, menurut cara berpikir Paulus, orang Kristiani tidak boleh berhenti mewartakan atau memberi kesaksian mengenai Kristus. Reaksi positif dan negatif tetap saja ada. 

Pewartaan mengenai Kristus akan tetap menimbulkan sikap pro dan kontra. Dan itu tidak apa-apa. Bahkan kalau pun terjadi bahwa mereka yang bersikap kontra kemudian melakukan kekerasan terhadap pewartaan itu, hal ini pun tidak akan menyurutkan orang Kristen mewartakan Salib Kristus.

Problem Dirumuskan Kembali

Mengikuti logika yang dibangun dalam "penafsiran dari dalam" itu, tampak bahwa penolakan terhadap salib dan permusuhan terhadap orang Kristen tidak hanya menjadi hal yang lumrah, tetapi sudah menjadi bagian integral dari eksistensi agama itu sendiri. 

Sederhananya, jangan merasa heran bahwa ada kelompok orang menolak agama Kristen dan simbol-simbolnya, karena dari awal agama ini memang telah menimbulkan penolakan.

Dalam konteks sikap permusuhan terhadap Salib dan orang Kristen di Indonesia, apakah dapat disimpulkan secara simplistis, bahwa penolakan terhadap Salib dan eksistensi Kekristenan sudah menjadi bagian dari kekristenan itu sendiri? Jadi, tidak usah dirisaukan dan tidak usah ditanggapi? 

Saya sendiri berpendapat bahwa dalam konteks pemotongan Salib di Yogyakarta dan protes terhadap ornamen menyerupai Salib di Solo, jawaban semacam hanya akan berimplikasi pada pembenaran tindakan kekerasan terhadap agama Kristen. 

Meskipun pada akhirnya refleksi teologis kita mesti mengarah ke sana, kita perlu merumuskan tanggapan yang lebih inklusif.

Dalam arti itu, saya sependapat dengan beberapa pembaca berita-berita online, bahwa aksi premanisme dan pemaksaan kehendak atas nama agama apapun harus dihentikan di Republik ini.  

Sudah saatnya kita membiasakan diri untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup bersama secara dialog dan secara musyawarah dan mufakat. Dan sudah saatnya pula kita membiasakan diri memahami fenomena sosial secara luas, bukan malah mengenakan kacamata epistemic yang terlalu sempit dan fundamentalis.

Disorientasi Historis

Jauh sebelum menjadi simbol identitas Kristiani di abad kedua Masehi, salib telah menjadi ekspresi budaya di banyak bangsa. Dalam banyak budaya klasik, salib dihubungkan dengan tradisi dan ritus-ritus keagamaan. 

Konon bentuk salib sudah ada dan dikenal dalam masyarakat zaman batu di Eropa. Dalam budaya ini, salib digunakan dalam kultus yang berhubungan dengan kesuburan. 

Tanda salib dalam bentuk dua garis yang bersilang atau berpotongan juga sudah dikenal dalam sistem huruf hieroglifik yang menyimbolkan kehidupan. 

Dalam tradisi India Kuno, salib dalam bentuk swastika digunakan sebagai alat untuk menyalakan lilin, dan lagi-lagi ini menyimbolkan kekudusan dan kesucian. Bentuk swastika juga dimaknakan secara mistik sebagai yang menghadirkan cahaya dan pertolongan Tuhan.

Menarik untuk diingat, bahwa ketika aksi protes di Solo terhadap simbol menyerupai salib itu merebak, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Solo sempat menjelaskan bahwa ornamen tersebut sebenarnya menyimbolkan delapan mata angin. 

Bahwa simbol mata angina sebenarnya ingin menonjolkan kebijaksanaan lokal tentang bagaimana orang Jawa memahami dirinya dan memaknakan eksistensinya dalam kosmos. 

Pemaknaan ini ditarik dari fakta bahwa MUI Kota Solo mendiskusikannya dengan pihak Keraton Solo. Jadi, sebenarnya sejak awal sudah sangat ditekankan makna budaya dari simbol yang menyerupai salib itu.

 Menurut saya, penjelasan ini memang menjadi strategi yang baik untuk meredam upaya menghubungkan simbol itu dengan simbol keagamaan atau bahkan proses penyebaran agama tertentu. 

Menurut saya, menghubungkan ornament menyerupai salib dengan simbol delapan arah mata angina harus diberi maknanya yang lebih mendalam. Saya melihat bahwa penjelasan yang lebih mendalam tampaknya berkorelasi dengan makna "swastika" itu sebagai penunjuk arah. 

Sebagai penunjuk arah, swastika atau ornamen menyerupai salib dapat mengandung kebaikan dan keburukan sekaligus. Jika berlawanan arah dengan jarum jam, simbol itu merujuk pada suatu kejelekkan, malapetaka, penyihir dan kuasa gelap. 

Sebaliknya, jika sejajar dengan arah jarum jam, simbol itu melambangkan normalitas kehidupan manusia sehari-hari. Dengan begitu, hadirnya simbol delapan arah mata angina di titik nol di Kota Solo itu memiliki makna "relasi konfliktual" antara yang baik dan yang buruk dan usaha manusia untuk selalu mewujudkan hal yang baik dalam hidupnya.

Swastika sebagai simbol mata angin sudah dikenal luas di banyak kebudayaan, salah satunya adalah kebudayaan Hindu di India. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Swastika#/media/File:Udaygiri_%26_Khandagiri_Caves,_Bhubaneswar_(26)_-_Oct_2010.jpg
Swastika sebagai simbol mata angin sudah dikenal luas di banyak kebudayaan, salah satunya adalah kebudayaan Hindu di India. Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Swastika#/media/File:Udaygiri_%26_Khandagiri_Caves,_Bhubaneswar_(26)_-_Oct_2010.jpg
Perhatikan bahwa simbol menyerupai salib di jalan depan Balai Kota Solo, salib dalam berbagai modelnya, swastika dan ekspresi budaya lainnya, berhubungan erat dengan kehidupan manusia, entah dengan ritus kesuburan, cahaya dan terang ilahi, atau dengan pertentangan antara yang baik dan buruk. 

Kalau pun salib di zaman Romawi digunakan sebagai alat untuk menghukum penjahat -- termasuk untuk menghukum Yesus -- bukankah hukuman dan kematian itu sendiri erat berhubungan dengan kehidupan? Kematian hanya akan bermakna karena ada kehidupan. 

Dan dalam refleksi teologis, kematian bukan sebagai akhir kehidupan, tetapi sebuah awal kehidupan yang baru.

Dalam arti itu, protes dan penolakan sebagian masyarakat terhadap salib maupun ornamen menyerupai salib harus dianggap sebagai tindakan tidak bijaksana -- untuk tidak mengatakan biadab. 

Kalau pun pelaku pengrusakan atau penolakan salib berasal dari agama tertentu yang berpandangan bahwa Yesus tidak mungkin mati di salib, dan bahwa yang mati di Salib itu sebenarnya adalah Nikodemus atau tokoh lainnya, paling tidak ada sikap menghargai salib sebagai ekspresi budaya yang de facto telah ada jauh sebelum kekristenan. Ingat, salib sejak semula bukanlah lambing kekristenan. 

Orang Kristen awal bahkan memandang salib sebagai sebuah kutukan. Menurut saya, sikap "ngotot" merusak atau menolak salib adalah sikap anti sejarah dan anti peradaban itu sendiri.

Sikap Orang Kristen?

Sebagai seorang penganut agama Katolik, saya mengusulkan dua sikap berikut yang sebaiknya menjadi sikap dasar orang Katolik ketika menghadapi penolakan Salib atau penolakan terhadap imannya. 

Pertama, menahan diri untuk cepat-cepat merujuknya kepada jawaban-jawaban teologis, dogmatis, atau biblis ajaran agama kita mengenai salib. Cara menafsir dari dalam seperti yang coba saya kemukakan di atas itu baik, karena memperteguh dan menguatkan iman kekristenan seseorang. 

Jadi, seorang Kristiani, ketika berhadapan dengan penolakan terhadap salib atau penolakan imannya, dia bisa saja mengatakan, bahwa wajar jika Salib dimusuhi, Yesus saja dimusuhi, dibunuh, bahkan mati di kayu salilb. 

Dia juga bahkan bisa saja mengatakan bahwa justru penolakan itulah yang membuat imannya menjadi penuh.

Mengapa sikap semacam ini seharusnya dihindari? Menurut saya, alasan teologis yang dikemukakan itu tidaklah salah. Tetapi jawaban semacam itu hanya akan memperuncing masalah dan memperpanjang kegaduhan. 

Selain itu, sikap ekstrem lainnya yang harus dihindari adalah membalasnya dengan tindakan kekerasan, vandalisme atau perbuatan melawan hukum lainnya. Sikap ini pun akan memperunyam persoalan.

Kedua, sebaiknya orang Kristen mempromosikan pendekatan dialogis dengan mengarahkan dialog kepada kajian kultural sebagaimana yang saya usahakan di atas. 

Seharusnya menjadi tugas semua orang Kristen untuk menjelaskan dan terus memberi wawasan kepada kelompok yang memusuhi salib agar mereka bisa melihat realitas salib secara lebih komprehensif. 

Semua orang Kristiani memikul tanggung jawab besar untuk terus menjelaskan dan memberi pencerahan bahwa salib sebenarnya adalah sebuah ekspresi kebudayaan. 

Sebagai ekspresi kebudayaan, salib sudah berumur puluhan ribu tahun jauh sebelum era Kekristenan. Dan sebagai ekspresi kebudayaan, kehadiran salib dalam  berbagai ritus keagamaan klasik merupakan ekspresi dari kehidupan itu sendiri.

Konsekuensinya dasyat. Saya melihat bahwa kegagalan pendekatan ini hanya akan mengafirmasi kegagalan pendekatan teologis, biblis, dan dogmatis dan tidak sebaliknya. Jika asumsi ini benar, kegagalan ini sekaligus juga menunjukkan rendahnya kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri.

(Catatan: tulisan ini adalah refleksi dan pendapat pribadi penulis, tidak mewakili ajaran resmi agama Kristen atau Katolik)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun