Kalau pun salib di zaman Romawi digunakan sebagai alat untuk menghukum penjahat -- termasuk untuk menghukum Yesus -- bukankah hukuman dan kematian itu sendiri erat berhubungan dengan kehidupan? Kematian hanya akan bermakna karena ada kehidupan.Â
Dan dalam refleksi teologis, kematian bukan sebagai akhir kehidupan, tetapi sebuah awal kehidupan yang baru.
Dalam arti itu, protes dan penolakan sebagian masyarakat terhadap salib maupun ornamen menyerupai salib harus dianggap sebagai tindakan tidak bijaksana -- untuk tidak mengatakan biadab.Â
Kalau pun pelaku pengrusakan atau penolakan salib berasal dari agama tertentu yang berpandangan bahwa Yesus tidak mungkin mati di salib, dan bahwa yang mati di Salib itu sebenarnya adalah Nikodemus atau tokoh lainnya, paling tidak ada sikap menghargai salib sebagai ekspresi budaya yang de facto telah ada jauh sebelum kekristenan. Ingat, salib sejak semula bukanlah lambing kekristenan.Â
Orang Kristen awal bahkan memandang salib sebagai sebuah kutukan. Menurut saya, sikap "ngotot" merusak atau menolak salib adalah sikap anti sejarah dan anti peradaban itu sendiri.
Sikap Orang Kristen?
Sebagai seorang penganut agama Katolik, saya mengusulkan dua sikap berikut yang sebaiknya menjadi sikap dasar orang Katolik ketika menghadapi penolakan Salib atau penolakan terhadap imannya.Â
Pertama, menahan diri untuk cepat-cepat merujuknya kepada jawaban-jawaban teologis, dogmatis, atau biblis ajaran agama kita mengenai salib. Cara menafsir dari dalam seperti yang coba saya kemukakan di atas itu baik, karena memperteguh dan menguatkan iman kekristenan seseorang.Â
Jadi, seorang Kristiani, ketika berhadapan dengan penolakan terhadap salib atau penolakan imannya, dia bisa saja mengatakan, bahwa wajar jika Salib dimusuhi, Yesus saja dimusuhi, dibunuh, bahkan mati di kayu salilb.Â
Dia juga bahkan bisa saja mengatakan bahwa justru penolakan itulah yang membuat imannya menjadi penuh.