Alasan lain -- dan ini baru saya sadari ketika membaca tulisan Bu Karlina -- adalah keterpaparan saya pada dan pengaruh spiritualitas Yesuit pada pembentukan diri dan cara berpikir. Mengapa saya suka dengan novel ini tampaknya karena novel ini melatih saya untuk melihat dan memahami fenomena sekecil apapun secara lebih mendalam, dan dalam pengaruh spiritualitas Yesuit adalah mengasah hati untuk memilah-milah dan membedakan yang baik dan yang buruk, atau bahkan menemukan yang baik dari antara yang buruk. Dan itu butuh kepekaan hati yang luar biasa, dan novel ini menjadi salah satu alat melatih kepekaan hati itu.
Saya sangat suka pada judul karangan Bu Karlina: Jeda Di Antara Kata-kata. Dan ini persis menggambarkan diri Romo Dipo, kebanyakan (untuk tidak mengatakan semua) para Yesuit, bahkan Susanna Tamaro. Spiritualitas hati mengandaikan kepekaan, olah batin, dan pengasahan nurani. Dan itu menuntut seseorang untuk melewati hari-harinya dalam keheningan dan olah batin.Â
Berfilsafat sebagaimana yang dilakukan Romo Dipo, Bu Karlina dan kami para muridnya adalah keberanian untuk memasuki ruang hening itu, kerelaan untuk melewati Lorong-lorong tanpa sanjungan, tanpa publikasi, dan jauh dari kilatan kamera. Persis itu juga yang dilakukan Susanna Tamaro dengan karya-karya besarnya. Menulis adalah jalan sunyi dan sepi, jalan penyangkalan dan penjauhan diri dari khalayak. Itulah watak-watak yang dibutuhkan demi mengasah  kepekaan hati dan budi.
Maka kegembiraan teramat sangat ketika kembali membaca novel Pergilah Ke Mana Hati Membawamu sebenarnya adalah penegasan kembali -- melalui karya Bu Karlina dan momen perayaan ulang tahun Romo Dipo -- akan pilihan jalan filsafat sebagai jalan sunyi dan mati raga. Jeda atau berhenti sejenak di antara kata-kata itu menjadi imperatif yang wajib direalisasikan. Tampaknya Bu Karlina ingin mengatakan, bahwa jalan filsafat, jalan sastra, bahkan jalan imamat, seharusnya merupakan penyeimbangan antara kata-kata (baca: pewartaan atau pengajaran) yang membawa orang ke ruang publik, menjadi tokoh yang kata-kata dan kalimatnya didengar dan diikuti dengan laku tapa dan keheningan ketika orang harus kembali mendengarkan nuraninya.
Sebagai penutup, saya bersyukur berada dalam masa ini ketika segalanya dimudahkan oleh teknologi. Ketika ingin membaca kembali novel Pergilah Ke Mana Hati Membawamu (gara-gara membaca tulisannya Bu Karlina) dan novel milikku sendiri sudah tidak tahu entah di mana, novel bekas masih tersedia dan di jual di lapak-lapak online.Â
Dengan modal hanya empat puluh ribu (termasuk ongkos kirim), novel itu sudah bisa "kunikmati" setelah hanya dua hari menunggu. Dan kegembiraan itu kali ini bertambah dan menjadi lebih kaya persis ketika saya membaca ulang novel ini dalam bingkai tulisan Bu Karlina dan permenungan-permenungan filosofis Romo Dipo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H