Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Terjebak dalam Dunia Material

24 Juli 2018   16:54 Diperbarui: 25 Juli 2018   08:47 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Allah telah mati (Dio e morto), sebuah lukisan di tembok di Bologna, Italia. Kata-kata Friedrich Nietzsche telah menjadi semangat merealisasikan dunia yang semakin sekuler. Sumber: http://internationaltimes.it/god-is-dead/

Optimisme ilmu pengetahuan (alam) adalah membersihkan dunia kehidupan dari anasir dan pengaruh Tuhan. Dalam adagium friedrich Nietzsche, para ilmuwan ingin "membunuh Tuhan" dan memproklamirkan kemerdekaan hidup manusia melalui maklumat "Allah sudah mati" (God is dead).  

Apakah Allah memang sudah mati? Atau, apakah Allah justru semakin eksis dan berpengaruh dalam kehidupan manusia ketika pemahaman mengenai-Nya mengalami perubahan dan perbaikan setiap kali ada kritik dan hantaman terhadap eksistensi-Nya? Atau, jangan-jangan Allah memang tidak ada. Jika Allah tidak ada, mengapa juga kita mempersoalkan keberadaannya dan memaklumatkan kematiannya?

Apa yang dimaklumatkan Nietzsche tidak lebih dari sebuah semangat sekularisme, yakni semangat mendahulukan dan memberi prioritas pada dunia dan kehidupan manusia di dalamnya, tanpa harus merefleksikan atau merencanakannya dari perspektif eksistensi Tuhan. 

Friedrich Nietzsche memaklumatkan Allah telah mati sebagai proyek membebaskan manusia dari terpasungnya kebebasan dan otonominya dalam eksistensi Allah. Dalam bayangan Nietzsche, eksistensi Allah justru membatasi otonomi dan kebebasan manusia dalam menentukan dirinya, karena harus menyesuaikan diri dengan berbagai ajaran dan kehendak-Nya sebagaimana diwartakan agama-agama.

Meskipun maklumat Nietzsche itu tidak sepenuhnya benar, semangat sekularisme yang diperjuangkan semakin disadari akhir-akhir ini. Ilmu pengetahuan positivistik memang memperjuangkan terealisasinya nilai-nilai seperti nilai-nilai individual, kapasitas manusia dalam memilih, reliabilitas nalar, dan realitas kebaikan. Dalam arti tertentu saya sepakat dengan nilai-nilai ini, dengan atau tanpa eksistensi Allah.

Harus diakui, inilah nilai-nilai yang sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan modern. Perhatikan nilai-nilai yang diperjuangkan para milenials. 

Nilai individual seperti kebebasan dalam menentukan diri menjadi nilai yang tampaknya tidak ditawar. Kebanyakan orang tidak ingin kebebasannya dipasung. Mereka juga tidak ingin mengikuti arus atau kecenderungan publik. Kecenderungan ini nampak jelas, misalnya dalam konsumsi barang dan jasa. 

Kalau pun masyarakat modern dan kaum milenials menggunakan produk dengan merek yang sama, mereka senantiasa berusaha membuatnya menjadi lebih personal, misalnya dengan mendandaninya dan sebagainya, dengan kandungan nilai yang sifatnya sangat personal.

Ini sekaligus menegaskan nilai kedua yang dijunjung tinggi masyarakat modern, yakni kapasitas manusia dalam memilih. Manusia modern dihadapkan dengan berbagai pilihan, dan dia sanggup menentukan pilihan, relatif tanpa rujukan pihak lain (pihak luar). 

Kebebasan memilih bahkan nampak nyata dalam hal-hal yang sangat personal seperti memilih pasangan hidup, memilih untuk menikah atau tidak menikah, jika menikah, berapa banyak anak yang harus dilahirkan, bahkan juga soal beragama atau tidak beragama, memilih agama A atau agama B, dan sebagainya.

Nilai ketiga yang dijunjung tinggi manusia modern adalah kapabilitas nalar. Ini memang berhubungan erat dengan pendidikan. Manusia modern umumnya mengenyam pendidikan yang baik. 

Semakin banyak orang mencapai jenjang pendidikan tinggi. Inilah yang menyebabkan mengapa manusia modern tidak hanya rasional, tetapi menggunakan seluruh kemampuan nalarnya dengan baik dalam mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya. Manusia modern, dengan demikian, semakin lama semakin menjauhkan dirinya dari hal-hal yang bersifat tahayul.

Akhirnya, manusia modern juga sangat percaya pada kebaikan. Mereka percaya tidak hanya pada hakikat manusia sebagai baik, tetapi juga pada dunia dan kehidupan bersama sebagai baik. 

Manusia modern berkeyakinan bahwa kebaikan itu ada di sekitar kita tanpa harus mempersoalkan dari mana kebaikan itu berasal, siapakah yang menciptakan kebaikan, apakah ada kebaikan yang sifatnya ultim dan final, dan sebagainya. Keyakinan inilah yang mendorong manusia modern untuk mengusahakan dan merealisasikan kebaikan, pertama-tama demi kebahagiaan dirinya, tetapi kemudian demi kebaikan bersama.

Jika kita mengaku sebagai orang beragama, apakah empat nilai yang diperjuangkan ilmu pengetahuan dan semakin dihidupi manusia modern sekarang harus diterima begitu saja tanpa sikap kritis? Saya justru mengusung posisi yang harus mempersoalkan dan mengkritisi keempat nilai ini lebih lanjut.

Menurut saya, kritik kita sebaiknya tidak sekadar difokuskan pada membangun argumen kontra bagi masing-masing nilai tersebut. Misalnya, mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas tetapi bertanggung jawab (kontra argumen terhadap nilai pertama). 

Atau mengatakan bahwa kemampuan memilih manusia itu bersifat terbatas, termasuk juga kemampuan nalarnya yang bersifat terbatas persis karena manusia adalah makhluk yang terbatas (argumen kontra terhadap nilai kedua dan ketiga). Atau mengatakan bahwa kebaikan sebagai nilai yang selalu ada di sekitar kita seharusnya merupakan perwujudan dari suatu kebaikan yang lebih besar dan tinggi sifatnya. Bahwa tanpa rujukan pada suatu kebaikan ultim, kita sulit memahami suatu kebaikan konkret (argumen kontra terhadap nilai keempat).

Saya ingin mengatakan demikian. Seberapa pun gencarnya kita mengkritik dan melawan nilai-nilai sekuler yang diwartakan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita justru semakin sulit meyakinkan masyarakat modern, bahwa nilai-nilai yang mereka idam-idamkan dan perjuangkan itu tidak sanggup membuat mereka berbahagia. Ini karena kita sekarang telah kehilangan apa yang disebut sebagai dunia metafisik. Kita telah kehilangan realitas ontologis, dan di situlah keberhasilan utama ilmu pengetahuan, yakni telah membunuh ontologi.

Kehilangan realitas ontologis inilah yang kemudian meniscayakan kematian Allah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun