Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memahami Strategi Politik TGB

18 Juli 2018   08:26 Diperbarui: 19 Juli 2018   15:18 3519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi yang bergelar Tuan Guru Bajang berbincang dengan awak Tribunnews.com di kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Kamis (12/7/2018). TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Tanggapan TGB tentang Kepemimpinan Jokowi, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/07/13/tanggapan-tgb-tentang-kepemimpinan-jokowi. Penulis: Srihandriatmo Malau Editor: Choirul Arifin. Sumber: tribunnews.com

Muhammad Ikhsan Mahar, wartawan harian Kompas, menulis sebuah artikel berjudul "Saat Sikap Politik Berubah ..." di harian Kompas, 18 Juli 2018 (hlm. 5). Sebenarnya tulisan ini adalah komentar Ikhsan atas acara Satu Meja The Forum di Kompas TV yang tayang pada hari Senin, 16 Juli 2018 yang lalu. 

Acara yang dipandu Budiman Tanuredjo itu mengusung tema Manuver TGB, Akal Sehat atau Siasat. Forum ini menghadirkan bintang utama yang menjadi fokus diskusi malam itu, yakni Gubernur Nusa Tenggara Barat, Tuan Guru Bajang (TGB) M. Zainul Majdi.

TGB yang adalah kader Partai Demokrat yang dalam Pemilihan Presiden 2014 adalah anggota tim sukses Prabowo-Hatta Radjasa, tiba-tiba mengumumkan dukungannya kepada Presiden Joko Widodo untuk maju dalam Pilpres 2019. 

Pernyataan publik ini dipahami masyarakat sebagai "kontroversial", karena posisi TGB sebagai "lawan politik" Jokowi. Itulah alasannya mengapa serasional apapun alasan yang diberikan TGB atas dukungan politiknya ini, khalayak tetap melihat ini sebagai manuver politik merebut kekuasaan yang lebih besar. Jika tidak mengincar kursi Wakil Presiden mendampingi Jokowi, posisi menteri tampaknya bisa diraih TGB (jika Jokowi memenangi Pilpres 2019).

 Alasan dukungan TGB atas Jokowi sudah disampaikan ke publik dan menurut saya, masyarakat yang melek media massa pasti sudah mengetahuinya. TGB tampak sangat rasional dan objektif ketika mengatakan bahwa dia telah mencermati pembangunan yang dilaksanakan Jokowi selama empat tahun terakhir. Menurut TGB, pembangunan yang menelan ratusan bahkan ribuan triliun Rupiah itu belum tercapai semuanya seperti yang direncanakan. 

Tetapi karena kinerja Jokowi cukup baik dalam merencanakan, mengeksekusi dan mengawal pembangunan tersebut, akan lebih baik jika Jokowi melanjutkan pemerintahan di periode kedua. 

Ini akan menjadi jaminan bagi tidak hanya keberlangsungan pembangunan, tetapi juga memastikan selesainya berbagai pembangunan yang sudah berjalan empat tahun terakhir. Bagi TGB, keberhasilan pembangunan Indonesia akan menjadi keberhasilan dan keuntungan bagi rakyat NTB juga.

Saya sendiri tidak ingin mengupas lebih lanjut hal ini, meskipun tetap menarik untuk didiskusikan. Saya justru tertarik dengan paragraf pertama dari tulisan saudara Muhammad Ikhsan Mahar di harian Kompas itu, ketika pilihan politik TGB dihubungkan dengan strategi politik Machiavellian. 

Muhammad Ikhsan Mahar memulai tulisannya demikian, "Seorang manusia yang terbiasa bertindak dengan satu cara tidak akan pernah berubah, ia pasti runtuh". Kata-kata ini diklaim Muhammad Ikhsan Mahar sebagai yang berasal dari Niccolo Machiavelli (1469-1527) dalam bukunya berjudul The Discourse. Saudara Ikhsan Mahar kemudian menggunakan gagasan Machiavelli ini untuk menjelaskan strategi politik beberapa tokoh dan elit politik di Indonesia menjelang Pemilu 2019, dan itu adalah strategi atau taktik "menghindari taktik agresif". Menurut Ikhsan Mahar, TGB adalah salah satu politisi yang mempraktikkan strategi semacam ini.

Apakah seperti ini strategi yang dipraktikkan TGB dalam dukungan dan pilihan politiknya? Alih-alih mendiskusikan strategi ini yang diklaim dipraktikkan TGB, Ikhsan Mahar justru mengeksplorasi dua alasan perubahan dukungan politik TGB. 

Pertama, pengakuan TGB bahwa keterlibatannya sebagai anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta dalam Pilpres 2014 adalah karena diminta oleh seseorang dan bahwa setelah gelaran pesta demokrasi itu, dia tidak punya kewajiban untuk terus bergabung dengan kubu itu. Alasan ini tampaknya mirip dengan apa yang dilakukan Mahfud MD ketika tidak lagi berada di kubu Prabowo-Hatta. 

Kedua, alasan "objektif" sebagaimana saya katakan di atas, yakni bahwa TGB memandang pentingnya Jokowi melanjutkan pembangunan Indonesia yang sudah dimulai dan sudah berada di jalan kesuksesan.

Di sinilah pertanyaan yang saya ajukan di atas relevan untuk dijawab. Jika strategi "menghindari taktik agresif" memang diterapkan TGB, seperti apakah strategi itu dioperasikan?

Dua Wajah Politik Machiavelli

Dalam bukunya berjudul The Discourse, Machiavelli tampak mendiskusikan pemerintahan yang ideal. Pemerintahan dan politik yang ideal bagi dia adalah tercapainya apa yang dia sebut sebagai keadaan vivere libero, yakni kehidupan sipil dan politik yang ditandai oleh kebebasan menyatakan pikiran dan kehendak. Machiavelli melihat bahwa keadaan ini hanya bisa dijamin perealisasiannya oleh sebuah pemerintahan Republik. 

Sebaliknya, Machiavelli juga melihat keadaan politik di mana pemerintah hanya menjamin terealisasinya apa yang disebutnya sebagai vivere sicuro. Hal terakhir ini pernah dialami Machiavelli sebagai keadaan kehidupan politik yang dipraktikkan oleh rezim Monarki di Prancis. Dan itu terjadi ketika Machiavelli menjadi diplomat dari Republik Florence yang ditugaskan di Paris.

Niccolo Machiavelli dan buku berjudul The Discourse.
Niccolo Machiavelli dan buku berjudul The Discourse.
Bagi Machiavelli, politik yang ideal dan kehidupan sipil yang diangan-angankan suatu negara adalah terbentuknya kebebasan dalam segala aspek kehidupan. Bentuk pemerintahan yang paling cocok merealisasikan hal ini adalah Republik. Dalam konteks pemerintahan modern, kita melihat relevansi pemerintahan Republik yang demokratis, yang menjamin terlaksananya seluruh hak-hak asasi manusia. 

Dalam sistem pemerintahan semacam ini, pemerintahan dilaksanakan berdasarkan Konstitusi dan perundang-undangan lainnya yang disusun secara demokratis pula. Pemerintahan dijalankan secara demokratis, seluruh perangkat demokrasi berjalan sebagaimana mestinya, antara lain adalah terselenggaranya pemilihan umum, adanya pembagian dan pemisahan kekuasaan, pembatasan kekuasaan negara, terciptanya mekanisme kontrol, dan sebagainya.

Sebaliknya, pemerintahan monarki memang memberi ruang bagi kebebasan warga negara, tetapi kebebasan dengan syarat-syarat sebagaimana dikehendaki kekuasaan monarki. Hal yang menarik bagi Machiavelli adalah ketika kekuasaan semacam ini justru besifat terbatas persis ketika parlemen membatasi kekuasaan monarki. 

Dengan begitu, Machiavelli sebenarnya ingin mengatakan bahwa dalam situasi di mana pemerintahan ideal (republik) tidak tercapai, pemerintahan monarki tetap bisa dipraktikkan, tetapi dengan syarat kekuasaan monarki yang dibatasi oleh Parlemen. Dan ketika parlemen itu adalah wakil rakyat, kekuasaan monarki sebenarnya dibatasi oleh rakyat sendiri. Machiavelli melihat bahwa Prancis berhasil mempraktikkan hal ini.

Kembali ke pertanyaan saya di atas, seperti apa TGB mempraktikkan watak kekuasaan Machiavellian dalam pilihan politiknya? Pertanyaan ini memang tidak dijawab Ikhsan Mahar dalam reportasenya. 

Meskipun begitu, kita hanya bisa memberikan gambaran secara tidak langsung, bahwa pemerintahan Jokowi memang mencerminkan ideal sebuah pemerintahan Republik sebagaimana dimaksudkan Machiavelli dalam gagasan vivere libero. Pemerintahan Jokowi juga pemerintahan presiden lainnya pasca 1998 sebenarnya ditandai oleh praktik politik yang bebas. 

Ada jaminan konstitusional bahwa kebebasan rakyat yang dicita-citakan reformasi tidak akan hilang atau dicaplok oleh kekuasaan manapun. Dan kebebasan itu nyata dalam kehidupan sipil kita, ketika setiap orang tampak bisa berbicara dan bisa mengatakan apa saja. Dan yang lebih penting -- meskipun agak dipaksakan -- pembangunan infra struktur yang gencar dilakukan Jokowi ini adalah usaha keras mensejahterakan warga negara. 

Diyakini bahwa kekebasan sipil akan menjadi kebebasan yang konstruktif dan bermanfaat bagi kehidupan bersama jika itu dilakukan oleh warga negara yang sudah makmur dan sejahtera hidupnya.

Bagi saya, alasan berubahnya pilihan politik TGB lebih baik dianalisis dari perspektif pragmatisme politik yang rasional daripada dengan menggunakan strategi Machiavellian sebagaimana disitir Muhammad Ikhsan Mahar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun