Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kylian Mbappe dan Politik Rasial Prancis

16 Juli 2018   10:15 Diperbarui: 16 Juli 2018   12:25 2868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah Pele, Kylian Mbappe tampil sebagai pemain termuda yang tampil di ajang Piala Dunia dan berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan. Namanya kini melambung tinggi. Dia menjadi idola baru bagi para remaja sejagat. 

Orang-orang Prancis pun bangga memiliki Kylian, sosok pemain sangat berbakat. Raihan Piala Pemain Muda paling berbakat di Piala Dunia 2018 plus Juara Pertama bersama tim Prancis menggarisbawahi kehebatan Mbappe. 

Di luar itu, Mbape menjadi simbol anak-anak muda dari kelompok urban berlatar belakang imigran Afrika yang berusaha keras menaklukkan kejamnya kehidupan di Prancis (juga di Eropa).

Kylian Mbape tidak berasal dari keluarga orang kaya. Dia dan keluarganya tinggal di sebuah apartemen yang catnya sudah mengelupas di daerah miskin di Bondy, Timur Laut Paris. Daerah ini memang sangat ramai dengan anak-anak remaja dan pemuda yang saban sore bermain bola, menendang bola sekuat tenaga menghantam tembok, dan berbagai permainan lainnya.

Meski begitu, simbol-simbol ke-Prancis-an melekat erat di sana. Bendera Prancis terikat di kaca-kaca mobil. Bendera dan banner dukungan atas klub tertentu juga mudah didapatkan. Anak-anak juga tampak bangga mengenakan jersey kebesaran kesebelasan Prancis. Dan ketika Prancis memenangi pertandingan pamungkas melawan Kroasia semalam, suara bergemuruh di daerah miskin itu. Seorang anak kecil, sepuluh tahun, tiba-tiba berteriak dari tengah kerumunan, katanya, "Kylian Mbappe sebagai presiden."

Di sinilah, di Bondy, Kylian Mbappe dan para imigran kulit hitam lainnya tinggal. Di tempat ini pula sering terjadi kerusuhan dan tindak kekerasan. Sumber: theguardian.com
Di sinilah, di Bondy, Kylian Mbappe dan para imigran kulit hitam lainnya tinggal. Di tempat ini pula sering terjadi kerusuhan dan tindak kekerasan. Sumber: theguardian.com
Di sinilah, di Bondy, Kylian Mbappe dilahirkan sembilan belas tahun yang lalu. Dia lahir tahun 1998 ketika Prancis menjuarai perhelatan sejagat itu, dan semalam, dua puluh tahun kemudian, Mbappe mengangkat piala sebagai pemenang.

Politik Identitas

Identitas Prancis selalu menjadi masalah serius di Prancis. Orang-orang Prancis, terutama politisi, selalu bertanya dan menyoal siapa orang Prancis? Kerusuhan rasial tahun 2005 menegaskan hal ini, meskipun problem ini juga sudah muncul dalam tim kesebelasan Prancis yang tampil dalam Piala Dunia 1998. 

Zinedine Zidane dan teman-teman yang memenangi trofi untuk Prancis di tahun 1998 dijuluki "tim pelangi", karena para pemain berasal dari orang-orang berkulit putih, hitam, dan Arab. Ketika memenangi Piala Dunia tahun 1998, tim yang dijuluki juga "Black-Blanc-Beur" (Black-White-Arab) ini seakan menjadi solusi atas politik identitas di Prancis. Euforia kemenangan untuk sementara menutupi masalah identitas yang mengancam kesatuan Prancis.

Ketika kesebelasan Prancis yang tampil dalam Piala Dunia 2018 ini sedang bersiap-siap menghadapi Kroasia, tampaknya Kylian Mbappe berhasil menciptakan aura positif dan menyatukan segenap golongan masyarakat. 

Sama seperti Kylian Mbappe, beberapa bintang Prancis lainnya seperti N'Golo Kante, Paul Pogba dan lainnya juga berasal dari daerah-daerah miskin di Prancis, selain mereka juga bukan orang berkulit putih. Tetapi aura positif yang dihasilkan para pemain hitam dan Arab dalam tim Prancis tampaknya -- untuk sementara -- berhasil meredam konflik berbau sara yang sejak tahun 2015 selalu menjadi sangat berbahaya.

Meskipun begitu, politik sebagai seni segala kemungkinan dan strategi merebut kekuasaan, akan selalu dekat dan lekat dengan kapitalisasi isu-isu rasial. Ingat, ketika Prancis tampil dalam Piala Dunia tahun 1998, Jean-Marie Le Pen, politisi kanan-jauh, malah berkomentar, dengan mengatakan bahwa terlalu banyak pemain berkulit hitam dalam timnas Prancis. Komentar yang sama juga dikemukakan lagi di tahun 2002, ketika negara ini melakukan pemilihan presiden. 

Perhatikan, bahwa dalam pemilihan presiden paling akhir, bulan Juli 2017, ada sekitar 10 juta orang yang memilih Marine Le Pen, putri dari Jean-Marie Le Pen, yang selalu mempersoalkan identitas Prancis. Dengan begitu, euforia kemenangan Prancis dalam Piala Dunia 2018 ini, untuk sesaat akan menyatukan orang Prancis, tetapi tidak untuk selamanya.

Ada Harapan?

Meskipun begitu, sebenarnya ada secercah harapan bagi kesatuan Prancis, dan harapan itu lahir dari sepak bola. Marine Le Pen pernah mengaku sebagai orang yang tidak suka sepak bola dan tidak peduli dengan komposisi pemain Prancis, tetapi yang pernah memberi komentar rasis terhadap kesebelasan Prancis dengan mengatakan, "Ketika saya melihat kesebelasan Les Blues, saya tidak mengenali Prancis." 

Betapa tidak. Setelah Prancis menekuk Belgia di semifinal, Marine Le Pen berkicau di twitternya, menunjukkan dukungan penuh pada tim ini. Meskipun politik itu mudah berubah, setidaknya sikap positif ini membawa secercah harapan.

Kylian Mbappe di antara para penggemar dan media. Sumber: ipsos.com
Kylian Mbappe di antara para penggemar dan media. Sumber: ipsos.com
Suasana kebatinan orang Prancis pun sedang berubah, dan ini menjadi kabar baik yang membawa pengharapan. Sebuah jajak pendapat paling akhir menunjukkan bahwa Kylian Mbappe menjadi pemain paling favorit bagi orang Prancis (57 persen) dibandingkan dengan pemain berkulit putih seperti Antoine Griezmann atau Hugo Lloris. 

Pada saat bersamaan, jajak pendapat itu juga menunjukkan bahwa mayoritas orang Prancis percaya bahwa ada terlalu banyak imigran di negara itu. Dan 56 persen warga Prancis mendukung pemerintah mereka untuk mengusir kapal Aquarius yang mengangkut 629 imigran dan pencari suaka.

Jadi, adakah sungguh-sungguh harapan akan persatuan dan pembaruan berbagai suku dan etnis di Prancis? Tampaknya euforia sepak bola yang menyatukan segenap warga di Prancis hanyalah euforia sesaat. Isu etnik dan suku akan tetap menjadi komoditas politik di negeri Napoleon Bonaparte itu.

Dan itu akan menjadi kabar buruk bagi kita semua yang mencintai perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun