Novel ini berkisah tentang tentang Linda, 30 tahun, istri dari salah satu orang terkaya di Swiss. Novel ini menggambarkan Linda sebagai orang yang tidak punya masalah. Jadi, masalahnya adalah Linda tidak punya masalah.
Perempuan muda nan energik ini adalah seorang ibu dari dua orang anak. Sebagai perempuan energik nan cantik yang bekerja sebagai jurnalis, Linda menemukan diri sebagai seorang yang berada dalam lingkungan yang melihat dirinya sebagai symbol yang "membangkitkan hasrat para pria dan rasa iri pada para perempuan."
Suaminya mengaguminya dan dia praktis menjalani kehidupan yang ideal. Meskipun begitu, Linda masih saja menyimpan rasa benci pada setiap aspek keberadaan dan kehidupannya. Di tengah kesibukan dan kecintaannya pada profesi jurnalis, Linda menemukan dirinya berjuang melawan rasa bosan yang dirasanya terus menderanya. Linda selalu merasa "kurangnya gairah dan petualangan".
Untuk menghilangkan rutinitas dan rasa nyaman, Linda memutuskan untuk mengganti semua "kesenangannya dengan sesuatu yang lebih konkret, yakni seorang pria." Ya, seorang pria yang bukan suaminya.
Siapakah pria itu yang menjadi pengganti kesenangan dan kenyamanannya itu? Pria bernama Yakub itu adalah mantan pacar sewaktu di SMA. Yakub sekarang adalah seorang politikus terkemuka yang mencalonkan diri untuk jabatannya.Â
Linda kembali berhubungan dengan mantan pacarnya itu ketika dia harus mewawancarai dia untuk koran. Pertemuan itu mendentumkan alunan nostalgia, membangkitkan gairah dan nafsu. Linda berada di jalan ini dan memutuskan untuk melakukan suatu eksperimen yang punya konsekuensi mengubah hidupnya sendiri.
Tentang pilihan dan perubahan hidup yang dengan berani dipilih Linda, pembaca bisa saja berpikir bahwa ini adalah konsekuensi yang membingkai narasi, apalagi ketika dinarasikan secara sangat jelas (eksplisit). Di luar ekspektasi, buku ini tidak memberikan semacam reaksi atau narasi kontra terhadap kisah-kisahnya, bahkan juga tidak menciptakan ketegangan yang kita perlukan untuk menjaga buku ini tetap menarik.Â
Selain itu, buku ini juga tidak memberi kita syarat yang cukup lengkap tentang Linda dan karakter-karakternya. Bahwa Linda adalah seorang perempuan berani dan mandisi, tetapi juga ternyata seorang yang egois dan dangkal.Â
Penilaian ini jauh dari karakter yang bisa kita tangkap dari kisah Linda. Kalau pun Linda melakukan introspeksi diri, pengecekan dan pencarian jiwanya tidak lebih dari sebuah narsisme ketika ia mencoba membenarkan tindakannya, mengambil cara berkelok-kelok dalam topik cinta, depresi, sukacita, pemenuhan diri dan kehidupan di Jenewa.
Akan jauh lebih menarik jika kita diberi kesempatan untuk berkenalan dengan beberapa orang di sekitar Linda, dan itu penting tidak hanya untuk memahami pilihan tindakan Linda, tetapi juga untuk menangkap secara lebih utuh kehidupan Linda. Sosok di sekitar Linda yang sedikit disinggung adalah sosok suaminya (yang digambarkan sebagai seorang yang pasing tetapi dengan tingkat pemahaman yang luar biasa).Â
Tidak ada kisah mengenai anak-anaknya. Satu-satunya tokoh di sekitar Linda yang dapat digali lebih dalam tentulah si Yakob, laki-laki yang dikejar Linda dengan penuh obsesi. Meskipun demikian, karakter seorang Yakob pun lebih buruk yang dibayangkan. Dia seorang pencinta perempuan yang sepertinya memiliki beberapa masalah dalam relasinya dengan para perempuan itu.Â
Meskipun Yakob sendiri digambarkan sebagai sosok yang menikah dengan seorang perempuan yang terbilang nyaris sempurna, perempuan yang ingin dihancurkan Linda. Yakob juga ditampilkan sebagai sosok yang tidak memiliki relasi yang cukup bermakna dengan orang lain.
Novel ini dalam Bahasa Portugis diberi judul Adultrio dan kemudian diterjemahkan menjadi Adultery. Per definisi, "adultery" sendiri dalam kamus Bahasa Inggris diartikan sebagai "hubungan seks antar dua orang yang sudah menikah dan salah satunya bukan merupakan pasangan yang lainnya." Kata "adultery" diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi "zina", dan perbuatannya itu sendiri disebut "perzinaan".
Mengapa novel ini tidak diberi judul "perzinaan" atau "zina" untuk edisi Bahasa Indonesia? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan kata "zina" sebagai (1) perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan); 2 perbuatan bersanggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya.
Makna kata "zina" memang pas dan cocok dengan makna kata "adultery". Pertanyaannya, mengapa novel ini tidak menggunakan judul "zina" atau "perzinaan" dalam edisi Bahasa Indonesia?Â
Saya menduga karena konotasi yang jauh lebih buruk jika kata "zina" digunakan dibandingkan dengan kata "selingkuh", meskipun keduanya sama-sama berkonotasi negatif. Dari segi strategi pemasaran, judul "zina" tampaknya memiliki nilai komersial yang lebih rendah dibandingkan dengan "selingkuh".
Pauolo Coelho sendiri memang sengaja memilih seorang perempuan bernama Linda sebagai tokoh utamanya. Ketika ditanya wartawan mengapa memilih perempuan sebagai tokoh utama, Paulo Coelho mengatakan bahwa perempuan memang lebih sulit menerima fenomena perselingkuhan. Menampilkan kisah Linda justru memperlihatkan seorang perempuan yang tidak hanya belajar menerima fenomena selingkuh, tetapi justru menjadi tokoh utamanya.
Paulo Coelho berusaha menggali lebih dalam untuk memahami jiwa dan roh seorang perempuan. Dan dia menemukan bahwa meskipun dirundung masalah atau menjadi bagian dari masalah, perempuan selalu tampil sebagai sosok yang mampu mengatasi masalahnya dengan damai. Meskipun demikian, memang tidak bisa dipungkiri, menurut Coelho, bahwa perempuan adalah sosok yang selalu merasa tidak nyaman.Â
Jadi, bagi Paulo Coelho, masalahnya bukan apakah perempuan bisa mengatasi masalahnya (dalam hal ini adalah perselingkuhan), tetapi apakah dia bisa mempertahankan keadaan ini selamanya. Menurut Coelho, karena sifat perempuan yang selalu tidak nyaman (insecure), maka keadaan ini -- perselingkuhan -- tidak akan mungkin dipendam dan disimpan perempuan untuk selamanya.
Mengapa Yakob?
Mengapa Linda kembali tertarik dan menyukai Yakob? Apa sebenarnya yang dirasakan Linda ketika bertemu kembali dengan mantan pacarnya di SMA ini? Sebenarnya apa sih yang dialami Linda? Dalam seluruh novel ini tampak bahwa Linda sendiri juga terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama. Dia tampak bergelut sendiri dengan pikirannya, dengan masalah dan motifnya sendiri.Â
Sementara itu, harus diakui bahwa sebenarnya tidak ada pengembangan karakter yang cukup meyakinkan yang bisa memosisikan Linda sebagai seorang pribadi yang menarik.Â
Di hampir seluruh novel ini, kita menemukan peristiwa-peristiwa yang dikemas secara ceroboh. Protagonis tampaknya ditampilkan tidak sebagai orang yang lebih bijaksana, begitu juga dengan pembaca. Dan ketika penulis novel ingin mengemukakan petuah-petuah yang mencerahkan, itu terasa membosankan dan basi.
Seperti halnya seluruh novel Paulo Coelho, dalam novel Selingkuh ini juga ada banyak kata-kata bijaksana dan inspiratif, meskipun beberapa di antaranya sulit dimengerti.  Jika Anda mengira bahwa penulis novel ini seorang yang kaliber jadi pasti karyanya ini nyaris sempurna, Anda akan kecewa dengan ekspektasi Anda sendiri. Meskipun demikian, nama besar penulisnya dapat menjadi jaminan bahwa novel ini akan laku terjual di pasar.
Paulo Coelho sendiri adalah seorang penulis berbahasa Portugis yang palig laris sepanjang masa, mungkin juga seorang penulis yang paling sukses di dunia saat ini. Novel dengan judul The Alchemist yang telah terbit di Brasil tahun 1998 adalah sebuah fenomena, karena berisi tentang dongeng magis yang berhasil memadukan spiritualitas dan filsafat demi menginspirasi pembacanya. Sayang sekali, kekuatan semacam ini hilang dari novel Selingkuh ini.
Kisah-kisah dan pergulatan hidup Linda dalam novel Selingkuh ini tidak berhasil membangkitkan rasa empati, terutama dalam relasinya dengan Yakob. Pada akhrinya novel ini lebih banyak menyajikan pertanyaan daripada jawaban.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa novel ini dapat dibaca secara cepat dan lancer. Ia merupakan sebuah prosa yang sederhana, memiliki sedikit plot dengan karakter yang basi karena menawarkan hanya beberapa inspirasi sesaat menjelang akhir novel. Berbeda dengan The Alchemist, membaca novel ini terasa sebuah perjalanan yang membosankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H