Yang mengejutkanku, saya mengenal beberapa dari antara orang-orang yang sedang digiring itu. Ada yang dulunya dikenal sebagai tokoh agama, ada juga guru agama, ada juga umat biasa. Mereka itu -- dan saya -- adalah orang-orang yang yakin akan bertemu perempuan jelita di negeri khayangan, melalui jalan kematian tak-lazim.
Tubuhku bergetar, peluh bercucuran membasahi wajahku. "Aku tak sanggup melihat pemandangan ini. Hentikan. Bawalah aku dari sini," teriakku.
Perempuan jelita itu pun memerintahkan pembantu-pembantunya menutupi tirai yang memisahkan kami dengan lembah membara itu.
Dan seketika, perempuan itu berkata kepadaku, "Pulanglah, istri dan anak-anakmu sudah menunggumu. Kamu tetap bisa kembali dan menemui saya, tetapi bukan dengan jalan kematian tak-lazim."
Dan ketika langkahku bergerak menjauhi perempuan itu, lantunan tembang nan indah menemaniku melewati lorong-lorong panjang itu. "Cintaku pada manusia, cintaku pada semesta. Kasihku pada ombak, kasihku pada langit. Kasihku pada manusia mengalahkan kasihku pada bintang dan rembulan. Aku tak mau seorang pun boleh disakiti oleh yang lain. Aku pencipta dan pencinta kehidupan."
Alunan nan merdu pun menghilang di penghujung nyanyian merdu Adzan Subuh. Tubuhku pun menggeliat di antara buah hatiku, istri dan anak-anakku.
Aku pencinta kehidupan. Itu yang kuingat, entah sampai kapan!
Pluit, 18/05/2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H