"Mengapa harus bingung? Bukankah kamu telah bernasar untuk menjumpai seorang perempuan anggun?"
"Saya tidak bernasar demikian?"
"Kamu berbohong. Saya dengar obrolan kamu dengan teman-temanmu. Saya menangkap kesan, kalian begitu yakin akan bertemu dengan seorang ibu perempuan berparas cantik dan menawan di sebuah istana khayangan. Bukankah itu yang ingin kalian perjuangkan?"
Seketika tubuhku gemetar. Jadi, inilah perempuan itu yang sosoknya begitu dirindukan para pemburu surga? Inikah dia yang kecantikannya telah menghipnotis para pendamba khayangan?
Dan tiba-tiba saja ketakutan luar biasa memenuhiku. Oh, berarti aku sudah mati? Bukankah tempat ini hanya bisa dicapai melalui jalan kematian? Bukankah jalan kematian yang harus dilalui itu adalah jalan yang tidak lazim? Jadi, apakah aku telah menewaskan orang-orang yang kuanggap kafir itu? Berapa banyakkah korban yang telah berjatuhan? Apakah aku sendiri yang melewati jalan itu, atau juga istri dan anak-anakku?
Aku pun berteriak, "Tunjukkan aku berita-berita yang terjadi tiga hari belakangan." Tetapi tidak ada orang di ruangan itu yang mau menuruti permintaanku.
Tiba-tiba saja sekat pembatas di sebelah kiri kami terbuka. Dari dalam ruangan itu kita bisa melihat ke luar, ke sebuah lembah dengan bukit-bukit di sebelahnya tampak kering. Penasaran, aku pun bergerak mendekati tepian tembok itu.
Di sana terhampar sebuah lembah dengan bara api yang menyala-nyala. Ribuan atau mungkin juga jutaan orang terdengar berteriak dari dalam lembah itu. Tangisan mereka terdengar pilu, jauh lebih seram dari lolongan anjing menjelang kematian seseorang di desa kami.
"Itulah tempat bagi mereka yang menempuh jalan tak lazim ke negeri khayangan?"
Tidaaaaaaaaaaaaaak. Saya berteriak sangat keras karena tahu akan segera dikirim ke lembah itu.
Tidak jauh dari situ, sekelompok pemuda tampak menggiring beberapa orang. Mereka sepertinya akan segera dilemparkan ke dalam lembah penuh bara itu.