Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membentuk Watak Itu Tugas Utama Orangtua

20 April 2018   09:22 Diperbarui: 20 April 2018   11:48 2226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://steemit.com

Menyusul kasus pelanggaran etika pendidikan tinggi yang terjadi selama bulan Juli--September 2017 (dugaan plagiasi yang dilakukan Rektor Universitas Halu Oleo Kendari, indikasi plagiasi program doktor di Universitas Negeri Jakarta dan maladministrasi Rektor Universitas Negeri Manado), harian Kompas melakukan jajak pendapat soal perilaku kebohongan di ranah publik.

Hasil jajak pendapat itu menunjukkan bahwa ternyata lebih dari 50% responden mengatakan bahwa situasinya sekarang sangat parah. Praktik-praktik semacam ini lama kelamaan menjadi sesuatu yang lazim. Selain itu, lebih dari 50% responden juga mengatakan bahwa perilaku kebohongan itu terjadi karena beberapa faktor yang saling berkelindan, antara lain adalah faktor lingkungan dan watak bawaan (Kompas, 2/11/2017).

Dengan kata lain, praktik kebohongan, penipuan, penyalahgunaan kewenangan ini terjadi karena dua alasan penting (menurut survei Kompas), yakni faktor bawaan dan faktor lingkungan. Supaya tidak salah dimengerti, faktor bawaan di sini tidak dimaksud sebagai faktor yang dibawa sejak lahir (kodrati), tetapi faktor yang telah menjadi kebiasaan sejak lama -- bahkan sejak seseorang di bangku sekolah.

Masih menurut survei itu, lebih dari 50 persen responden mengaku pernah mencontek saat masih di bangku sekolah atau kuliah. Di sinilah kemudian kita mendapat gambaran bahwa faktor bawaan semacam ini berpotensi mempertahankan kebiasaan buruk ketika seseorang sudah menjadi politisi, rektor, atau pejabat publik. 

Ingat peribahasa dan kebijaksaan nenek moyang dan orang tua kita ketika mereka mengatakan, "Ala bisa karena biasa", artinya bahwa seseorang melakukan sesuatu (saat ini) karena sudah terbiasa melakukannya (sebelumnya).

Lalu, bagaimana dengan faktor lingkungan? Survei yang dilakukan Kompas itu juga menunjukkan bahwa faktor ini berpengaruh secara signifikan. Kita ambil lingkungan dan suasana belajar di sekolah sebagai contoh. Untuk tidak mengatakan semua, banyak sekolah dan universitas dewasa ini lebih berorientasi pada mengejar angka demi akreditasi, lebih memprioritaskan persaingan antarsiswa berdasarkan nilai kognitif, dan cenderung memberi penghargaan kepada siswa berprestasi, di mana yang diutamakan biasanya adalah anak-anak dengan catatan akademis yang bagus.

Tidak kita sadari, perlakuan semacam ini berpotensi menjadi faktor pemicu praktik menyontek dan plagiasi. Anak-anak melakukan berbagai upaya demi mendapatkan nilai kognitif yang bagus, karena itulah satu-satunya cara mereka bisa membuktikan dirinya sebagai bermakna. Di lain pihak, keadaan masyarakat kita pun tidak lebih baik.

Perhatikan sikap masyarakat yang cenderung permisif terhadap tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dengan tetap memilih pasangan calon kepala daerah yang pernah terindikasi korupsi, tidak memberikan hukuman social kepada pelaku korupsi, dan sebagainya. Dan itu ikut andil membentuk perilaku buruk pejabat publik.

Kita Juga Perlu Kritis

Kita perlu berterima kasih kepada Kompas yang sudah melakukan penelitian dan memublikasikan ini ke publik. Dengan begitu, kita menjadi mengerti dan bisa memikirkan langkah-langkah "jitu" untuk ikut menanggulanginya, terutama kami yang di dunia pendidikan. Ini menjadi masukan sangat penting bagi kami supaya bisa mendidik mahasiswa kami dengan lebih baik lagi.

Meskipun demikian, saya berpendapat bahwa keluarga-keluarga dan sekolah-sekolah seharusnya juga bersikap kritis terhadap penelitian ini. Saya melihat satu kesimpulan yang dapat diberi catatan kritis. Disimpulkan bahwa absennya sanksi berat telah menjadi faktor dominan terjadinya kasus plagiarisme. Dan itu tampak dari hasil survei.

Hampir 90 persen responden di Jawa dan luar Jawa berkeyakinan bahwa faktor penyebab terjadinya tindakan tidak bermoral semacam itu adalah karena lemahnya penegakan hukum. Kalau kita teliti lebih lanjut, penyimpulan semacam ini juga muncul dalam pemberitaan harian Kompas di edisi-edisi sebelumnya (lihat misalnya Kompas tanggal 20/09/2017 dan tanggal 06/10/2017).

Mengapa saya berkeberatan dengan penyimpulan ini? Bagi saya, cara berpikir demikian mengandung bahaya karena mengesankan seakan-akan pendekatan penegakan hukum dapat menyelesaikan seluruh persoalan dekadensi moral di Republik ini. Padahal pendidikan watak pertama-tama harus merupakan pembentukan diri bermoral dan pembentukan pribadi berkeutamaan sedemikian rupa yang memampukan individu menahan diri dari berbagai godaan plagiasi dan korupsi di masyarakat. Dan itu sudah harus dimulai dari rumah.

Kita memang tidak boleh meremehkan penegakan hukum, karena itu juga penting. Tetapi kita juga perlu bertanya atau meneliti soal situasi pembentukan watak di rumah. Karena belum ada data mengenai ini, kita bisa bertanya: Apakah para orang tua melakukan pembinaan karakter secara cukup serius di rumah? 

Nilai-nilai karakter apa yang dibiasakan di rumah? Apakah nilai-nilai itu juga menjadi nilai hidup orang tua, sehingga pendidikan dan pembentukannya kepada anak-anak menjadi sebuah kesaksian bagi mereka?

Pendidikan di sekolah -- terutama pendidikan karakter -- seharusnya merupakan kelanjutan dari pembentukan watak di rumah di mana para orang tua menjadi pendidik utama. Sumber: http://surabaya.tribunnews.com
Pendidikan di sekolah -- terutama pendidikan karakter -- seharusnya merupakan kelanjutan dari pembentukan watak di rumah di mana para orang tua menjadi pendidik utama. Sumber: http://surabaya.tribunnews.com
Izinkan saya mengutip pendapat Paus Fransiskus yang menurut saya menarik dan dapat saya gunakan untuk menjelaskan posisi saya. Dalam seruan apostolik berjudul Amoris Laetitia (2016), Paus Fransiskus mengajarkan bahwa orangtualah yang pertama-tama memiliki tanggung jawab membentuk kehendak atau tekad anak-anaknya supaya mereka bisa bertindak baik dalam hidup mereka.

Fransiskus juga mengatakan bahwa para orang tua harus menjadi contoh atau model dalam proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Tidak kalah penting, para orang tua juga harus terus-menerus menanamkan kerinduan dalam diri anak-anak untuk mempraktikkan hal-hal baik (art. 264-265).

Di situ persis masalah kita sebagai orang tua. Kita berusaha keras menjadi model dan menanamkan perilaku baik dalam diri anak-anak kita. Tetapi demi mengejar nilai baik dalam mengarang atau ilmu sosial, misalnya, kita menutup mata terhadap perbuatan anak-anak kita yang meng-copy-paste secara utuh karangan orang dari sumber online. 

Guru juga membiarkan hal ini dan tetap memberi nilai tinggi pada "karya" anak-anak kita. Sementara itu, di ruang publik, di televisi, atau di media-media sosial, anak-anak kita terpapar pada berbagai perilaku tidak bermoral.

Jadi, apakah kita masih percaya pada pendekatan penegakan hukum yang kita sendiri tidak pernah tahu kapan akan membaik di Republik ini? Atau, kita memang harus mengubah pola pengasuhan anak-anak kita, termasuk menetapkan prioritas pendidikan di rumah dan di sekolah?

Apakah kita tetap mengejar prestasi akademik sebagai satu-satunya tujuan akhir dengan menghalalkan berbagai cara demi mendapat nilai yang baik, atau membentuk terlebih dahulu kepribadian bermoral yang ke atasnya akan dibangun berbagai kecerdasan dan kepintaran yang dibutuhkan dalam hidup?

Kenyataannya mungkin tidak sehitam-putih seperti dirumuskan di sini, tetapi setidaknya itulah realitas pendidikan karakter yang sekarang sedang menghadang kita. Dan kita memang harus memilihnya.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun