Hampir 90 persen responden di Jawa dan luar Jawa berkeyakinan bahwa faktor penyebab terjadinya tindakan tidak bermoral semacam itu adalah karena lemahnya penegakan hukum. Kalau kita teliti lebih lanjut, penyimpulan semacam ini juga muncul dalam pemberitaan harian Kompas di edisi-edisi sebelumnya (lihat misalnya Kompas tanggal 20/09/2017 dan tanggal 06/10/2017).
Mengapa saya berkeberatan dengan penyimpulan ini? Bagi saya, cara berpikir demikian mengandung bahaya karena mengesankan seakan-akan pendekatan penegakan hukum dapat menyelesaikan seluruh persoalan dekadensi moral di Republik ini. Padahal pendidikan watak pertama-tama harus merupakan pembentukan diri bermoral dan pembentukan pribadi berkeutamaan sedemikian rupa yang memampukan individu menahan diri dari berbagai godaan plagiasi dan korupsi di masyarakat. Dan itu sudah harus dimulai dari rumah.
Kita memang tidak boleh meremehkan penegakan hukum, karena itu juga penting. Tetapi kita juga perlu bertanya atau meneliti soal situasi pembentukan watak di rumah. Karena belum ada data mengenai ini, kita bisa bertanya: Apakah para orang tua melakukan pembinaan karakter secara cukup serius di rumah?Â
Nilai-nilai karakter apa yang dibiasakan di rumah? Apakah nilai-nilai itu juga menjadi nilai hidup orang tua, sehingga pendidikan dan pembentukannya kepada anak-anak menjadi sebuah kesaksian bagi mereka?
Fransiskus juga mengatakan bahwa para orang tua harus menjadi contoh atau model dalam proses pembentukan kebiasaan-kebiasaan yang baik. Tidak kalah penting, para orang tua juga harus terus-menerus menanamkan kerinduan dalam diri anak-anak untuk mempraktikkan hal-hal baik (art. 264-265).
Di situ persis masalah kita sebagai orang tua. Kita berusaha keras menjadi model dan menanamkan perilaku baik dalam diri anak-anak kita. Tetapi demi mengejar nilai baik dalam mengarang atau ilmu sosial, misalnya, kita menutup mata terhadap perbuatan anak-anak kita yang meng-copy-paste secara utuh karangan orang dari sumber online.Â
Guru juga membiarkan hal ini dan tetap memberi nilai tinggi pada "karya" anak-anak kita. Sementara itu, di ruang publik, di televisi, atau di media-media sosial, anak-anak kita terpapar pada berbagai perilaku tidak bermoral.
Jadi, apakah kita masih percaya pada pendekatan penegakan hukum yang kita sendiri tidak pernah tahu kapan akan membaik di Republik ini? Atau, kita memang harus mengubah pola pengasuhan anak-anak kita, termasuk menetapkan prioritas pendidikan di rumah dan di sekolah?
Apakah kita tetap mengejar prestasi akademik sebagai satu-satunya tujuan akhir dengan menghalalkan berbagai cara demi mendapat nilai yang baik, atau membentuk terlebih dahulu kepribadian bermoral yang ke atasnya akan dibangun berbagai kecerdasan dan kepintaran yang dibutuhkan dalam hidup?
Kenyataannya mungkin tidak sehitam-putih seperti dirumuskan di sini, tetapi setidaknya itulah realitas pendidikan karakter yang sekarang sedang menghadang kita. Dan kita memang harus memilihnya.[]