Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jawaban Mahasiswa yang Memicu Rasa Ingin Tahu

17 April 2018   19:49 Diperbarui: 18 April 2018   08:15 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagaimanapun, mahasiswa memiliki nilai tertentu yang dihayati dalam hidup. Nilai-nilai itu kadang diekspresikan kepada orang-orang di sekitar mereka. Sumber: https://www.firstthings.com/web-exclusives/2012/10/keeping-your-faith-in-college

Apakah Anda percaya bahwa apa yang dikatakan atau ditulis seseorang sebenarnya mencerminkan nilai yang dihidupi orang tersebut? Misalnya, jika Anda mengatakan bahwa saat ini Anda tidak boleh diganggu karena sedang mengerjakan proyek penting, apakah pernyataan Anda ini mengindikasikan suatu nilai yang Anda pegang teguh dalam hidup? 

Per definisi, nilai (value) itu memang sesuatu hal yang baik, dapat berupa prinsip hidup, norma, aturan, pedoman hidup, yang memang memiliki nilai pada dirinya dan karena itu ingin direalisasikan, bukan demi nilai lainnya, tetapi demi nilai itu sendiri. Dengan kata lain, nilai sebenarnya adalah suatu daya atau kekuatan dari dalam diri yang mendorong dan menggairahkan seseorang untuk bergerak, berjuang, berusaha, beraktivitas, dan sebagainya. Nilai juga yang membuat seseorang tetap setia pada apa yang dikerjakannya, pada keadaannya saat ini, dan sebagainya.

Saya sendiri percaya bahwa apa yang diomongkan atau ditulis umumnya merepresentasikan nilai yang diyakini dan dihidupi orang itu. Tidak semuanya demikian, karena itu saya menggunakan kata "umumnya". Ini juga yang mendorong saya meyakini bahwa apa yang dikatakan, ditulis atau diekspresikan mahasiswa saya bisa saja menunjukkan nilai-nilai yang mereka hayati dan hidupi.

Demikianlah, tulisan ini berangkat dari sebuah permenungan sederhana setelah mengoreksi jawaban Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah logika (critical thinking) di Unika Atma Jaya Jakarta. Seperti biasa, mahasiswa umumnya mencapai nilai yang kurang memuaskan dalam mata kuliah yang satu ini. Dan ini sering mengagetkan, tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi para dosen lainnya yang juga mengajar mata kuliah yang sama. Kesan umum yang kita peroleh adalah bahwa semakin tahun para mahasiswa semakin kehilangan kekuatan berpikir abstrak dan filosofis.

Kembali ke soal UTS mahasiswa. Dari semua soal yang ditanyakan -- soal yang diujikan dalam UTS yang baru lalu disusun oleh seorang dosen dalam kelompok pengajar mata kuliah -- saya tertarik dengan satu soal berikut. "Apakah tidak mentaati orangtua adalah suatu perbuatan dosa?" Hal yang ditanyakan adalah apakah pertanyaan tersebut termasuk "isu factual", atau "isu non-faktual", atau "non isu".

Masalah Isu dan Non-Isu

Dalam konteks berpikir kritis, sesuatu dianggap sebagai "isu" jika masih diperdebatkan, dipersoalkan, didiskusikan. Itu artinya belum ada kata sepakat mengenai suatu hal. Misalnya, dalam hal "perkawinan sesame jenis", belum ada kata sepakat apakah praktik semacam ini dapat ditolerir dan dibenarkan di Indonesia. Selain indicator bahwa suatu masalah itu masih diperdebatkan atau didiskusikan, kemungkinan dapat dibuktikan karena kandungan empirisnya yang besar dapat menjadi indicator lain sebuah masalah dapat disebut sebagai "isu". Artinya, ada peluang untuk dapat dibuktikan sebagai salah atau benar berdasarkan ukuran objektivitas.

Lawan dari "isu" adalah "non-isu" atau "bukan isu". Sesuatu yang telah diterima public sebagai kebenaran tidak perlu diperdebatkan. Misalnya, soal matahari terbit di siang hari dan terbenam di malam hari, soal air yang mendidih jika dipanaskan atau besi yang memuai jika didinginkan, adalah fakta-fakta ilmiah yang kebenarannya diterima begitu saja dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Secara ilmiah, semua hal yang disebutkan itu adalah fakta yang sejauh ini belum terbantahkan.

Sebenarnya "isu" masih dapat dikategorikan lagi menjadi "isu faktual" dan "isu non-faktual". Suatu hal disebut sebagai isu factual jika pembuktian atau pemecahan isu tersebut memiliki probabilita yang tinggi. Dalam skala satu sampai sepuluh, probabilitas yang mendekati angka sepuluh memiliki tingkat faktualitas yang lebih tinggi. Sementara itu, isu non-faktual adalah kategori yang digunakan untuk menyebut isu-isu tertentu yang memiliki tingkat probabilitas pemecahan masalah yang lebih rendah.

Pembedaan isu factual dan isu non factual memiliki nilai relevansi yang tinggi dalam kerja ilmiah. Terhadap isu "apakah gaya hidup (life-style) adalah penyebab terjadinya korupsi" adalah sebuah isu factual atau non-faktual seharusnya dipecahkan dalam kerja ilmiah. Dan itu mengandaikan dilakukannya suatu penelitian ilmiah dengan metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan -- metodologi keilmuan yang lazim digunakan dalam penelitian ilmu sosial dan yang telah diakui suatu komunitas ilmiah. Jika kemudian sebuah penelitian ilmiah dapat membuktikan bahwa gaya hidup memang menjadi sebab utama terjadinya korupsi, isu sebagai masalah yang diperdebatkan di atas dengan sendirinya terpecahkan. Meskipun begitu, tetap saja terbuka kemungkinan terjadinya pembuktian yang sebaliknya.

Sebaliknya, terjadi bahwa suatu masalah hanya merupakan isu non-faktual dalam arti bahwa tingkat probabilitas pembuktiannya adalah rendah. Demikianlah, "apakah orang Melayu lebih sopan dibandingkan orang Jawa" dapat dikategorikan sebagai "isu" dalam arti dapat didiskusikan dan diperdebatkan. Tetapi tingkat probabilitasnya solusinya adalah rendah karena tingginya unsur subjektivitas yang dikandung isu tersebut. Dengan kata lain, berbagai isu yang tingkat subjektivitasnya tinggi memiliki kemungkinan pemecahan masalah yang rendah, dan itu berarti termasuk ke dalam isu non faktual.

Lain soal jika masyarakat sudah menerima sebagai kenyataan bahwa "orang Melayu memang lebih sopan dari orang Jawa" atau sebaliknya. Di sini kenyataan itu diterima saja sebagai kebenaran umum yang tidak perlu didiskusikan lagi alias "non-isu".

Menafsir Pendapat Mahasiswa

Berbekal uraian di atas, mari kita analisis jawaban mahasiswa dalam UTS Logika sebagaimana saya kemukakan di atas. Saya ulangi lagi pertanyaan yang diajukan di atas: "Apakah tidak mentaati orangtua adalah suatu perbuatan dosa?" Ketika diminta menentukan apakah ini adalah isu factual, atau isu non-faktual atau non-isu, enam puluh mahasiswa di kelas saya terbelah pendapat. Sekitar 10 persen mahasiswa mengatakan bahwa itu adalah non-isu, sekitar 15 persen menganggapnya sebagai isu factual dan sisanya berpendapat bahwa itu adalah isu non-faktual.

Satu hal menjadi jelas, bahwa hal yang ditanyakan itu bukan isu faktual. Itu berarti 15 persen mahasiswa saya memberi jawaban yang salah. Tetapi bagaimana dengan 85 persen sisanya? Apakah itu adalah isu non factual atau non isu? Apakah saya harus mencoret jawaban 10 persen mahasiswa yang mengatakan bahwa itu adalah non isu?

Bagaimanapun, mahasiswa memiliki nilai tertentu yang dihayati dalam hidup. Nilai-nilai itu kadang diekspresikan kepada orang-orang di sekitar mereka. Sumber: https://www.firstthings.com/web-exclusives/2012/10/keeping-your-faith-in-college
Bagaimanapun, mahasiswa memiliki nilai tertentu yang dihayati dalam hidup. Nilai-nilai itu kadang diekspresikan kepada orang-orang di sekitar mereka. Sumber: https://www.firstthings.com/web-exclusives/2012/10/keeping-your-faith-in-college
Saya memutuskan untuk membenarkan mahasiswa yang menjawab pertanyaan itu sebagai isu non-faktual dan non-isu. Dalam pemahaman dosen, pertanyaan yang diajukan harus dilihat sebagai isu non-faktual dalam artian seperti yang diuraikan di atas. Bahwa pertanyaan itu tetap merupakan sebuah isu, dan dengan demikian layak didiskusikan. Meskipun demikian, tingkat probabilitas keterbuktiannya adalah rendah.

Tidak tahu mengapa, fenomena jawaban mahasiswa ini terus menghantui pikiran saya. Pertanyaan yang selalu muncul di kepala saya adalah mengapa mahasiswa menganggap pertanyaan itu sebagai non-isu? Apa maknanya? Apa sebenarnya yang ada dalam benak dan pikiran mahasiswa ketika memikirkan pertanyaan itu?

Saya melihat ada dua kemungkinan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan reflektif ini. Pertama, bisa jadi mahasiswa berpendapat bahwa itu bukan isu alias non-isu karena sudah menjadi pandangan umum dan kesepakatan public, bahwa tidak mentaati orangtua memang merupakan suatu perbuatan dosa alias melanggar perintah agama dan perintah Tuhan.

Kedua, bisa jadi mahasiswa juga beranggapan bahwa pertanyaan itu bukan isu dalam artinya yang ateistik. Bahwa mentaati atau tidak mentaati orangtua tidak perlu dievaluasi berdasarkan standar dosa atau tidak dosa. Dosa atau tidak dosa adalah kategori religious dan menegaskan moralitas agama tertentu. Itu berarti menolak menjustifikasi tindakan tidak mentaati orangtua sebagai dosa, secara tidak langsung juga berarti penolakan mahasiswa atas moralitas agama.

Apakah mahasiswa saya yang 10 persen itu termasuk mahasiswa kelompok pertama atau mahasiswa kelompok kedua? Penelitian dan diskusi lebih lanjut dengan mahasiswa akan menyingkapkan maksud mereka yang sesungguhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun