Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merespons Isu dengan Sikap "Mendekati Kebenaran"

4 April 2018   10:38 Diperbarui: 5 April 2018   15:53 2751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kata lain, kebenaran total atau kebenaran pada dirinya tidak bisa dicapai serratus persen, sehingga kita hanya bisa mendekati kebenaran. Bagi saya, ini sudah satu langkah lebih maju daripada menerima dan menelan mentah-mentah semua berita bohong dan memberlakukannya sebagai kebenaran.

Demikianlah, mendekati kebenaran bisa kita lakukan dengan beberapa sikap filosofis yang penting, misalnya sikap tidak mudah percaya, sikap meragukan, sikap ingin membuktikan lebih lanjut, sikap mencari opini atau pendapat lain, dan sebagainya.

Bagi saya, sikap semacam ini juga pantas dan perlu kita terapkan ketika mendengar atau membaca pendapat, pandangan, bantahan, atau argumen kontra dan semacamnya dari tokoh agama tertentu. Tentang hal terakhir ini saya sebetulnya prihatin pada tokoh agama tertentu yang memberi tanggapan yang "kurang terukur" pada puisinya Sukmawati Soekarnoputri.

Saya setuju saja jika tokoh agama tersebut merasa terhina dan kemudian membela ajaran agamanya yang menurut dia sudah terlecehkan oleh puisi tersebut. Yang saya tidak setuju adalah upaya tokoh agama tersebut mencari kesalahan Sukmawati dengan menghubungkannya pada latar belakang Sukmawati, dia anaknya siapa, dulu ayahnya seperti apa, dan sebagainya.

Hal yang juga pantas disesalkan adalah membandingkan ajaran agamanya dengan ajaran agama lain dalam soal larangan berbusana tertentu. Ini tentu sebuah cara berpikir yang tidak metodologis, apa yang saya istilahkan di sini sebagai "kurang terukur". Dan celakanya lagi, ada ribuan follower dari tokoh agama itu yang setuju pada cara berpikir demikian.

Apa intinya?
Mungkin pembaca bingung dan bertanya, "Apa sebenarnya yang hendak dikatakan Pak Jena?" Kalau kalian bingung, itu baik karena itu tandanya kalian sedang berpikir. Tapi supaya tidak menjadi lebih bingung membaca kalimat-kalimat saya yang gak penting banget ini, baiklah saya menegaskan 4 hal yang sudah saya uraikan di atas.

Pertama, sebagai warga negara yang baik, kita semua harus ikut terlibat dalam diskursus di ruang publik, apalagi jika diskursus itu memengaruhi kehidupan kita bersama. Jangan menarik diri, jangan menutup diri dari diskusi di ruang publik.

Kedua, ruang publik kita memang sedang tercemar oleh sampah-sampah fitnah, kabar burung, berita bohong, dan semacamnya, yang umumnya dilontarkan oleh tokoh-tokoh publik tertentu demi meraih kekuasaan. Menghadapi situasi demikian, saya mengusulkan agar kita membangun sikap prokebenaran dalam diri kita.

Ketiga, sikap prokebenaran akan membuat kita selalu bersikap tidak cepat-cepat percaya pada omongan orang --termasuk juga omongan tokoh agama-- dan mencari kebenaran yang sesungguhnya.

Keempat, meskipun kita harus mencari kebenaran, baik kalau diingat bahwa kebenaran serratus persen tidak akan pernah dicapai. Kita hanya bisa mendekati kebenaran, dan bukan mencapai kebenaran.

Semoga dengan ini pembaca budiman menjadi sedikit terhibur karena rasa pusing dan jengkel membaca tulisan saya ini menjadi lebih jelas. Jika tidak jelas juga, hemmmm, itu masalahmu! Selamat siang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun