Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merespons Isu dengan Sikap "Mendekati Kebenaran"

4 April 2018   10:38 Diperbarui: 5 April 2018   15:53 2751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca dan terus membaca dapat menjadi cara yang baik dalam membentuk diri kita supaya bisa menjadi pribadi yang tidak mudah percaya pada omongan orang. Kerennya, teruslah membaca supaya bisa menjadi orang yang kritis. Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Rabbi_Yosef_Shalom_Elyashiv.jpg

Saya tidak tahu apa yang para pembaca rasakan ketika mengikuti berbagai perbincangan, diskusi, dialog, atau apapun namanya di ruang publik yang sifatnya "agak negatif" atau secara eksplisit memang "negatif". Yang saya maksudkan dengan "agak negatif" atau nyata-nyatanya "negatif" adalah berita-berita yang kandungannya adalah penghujatan, penghinaan, fitnah, ejekan dan olokan, atau yang dikemas seolah-olah objektif dan argumentatif, tetapi sebenarnya adalah ejekan dan olokan.

Biasanya olok-olokan itu dibangun di atas narasi besar (grand narration), diucapkan oleh tokoh yang memang "besar" (termasuk juga besar mulut) sehingga memiliki dampak sosial yang cukup besar --setidaknya membangkitkan perasaan negatif dari para pendukungnya.

Demikianlah, kita mendengar atau membaca pernyataan tokoh tertentu, bahwa negara ini sedang dalam kehancuran karena utang luar negeri yang menumpuk, bahwa jutaan tenaga kerja asal Cina sudah menguasai pasar tenaga kerja di Indonesia, bahwa 75 persen tanah di republik ini sudah dikuasai oleh sekelompok kecil orang kaya, bahwa negara ini akan bubar dan hancur pada tahun 2030, bahwa rakyat semakin melarat di bawah kekuasaan pemerintahan sekarang, bahwa kita butuh penguasa seperti Vladimir Putin daripada seorang pemimpin yang plonga plongo, dan seterusnya.

Litani ini terus diulang, terus disajikan di media massa (utamanya media massa online) atau dilontarkan dari akun medsos seperti twitter, IG, facebook, dan semacamnya. Seluruh wacana itu kemudian dibagikan dan terus dilipatgandakan penyebarannya oleh kelompok orang yang jiwa dan raganya memang suka memfitnah dan membenci. Lalu, jadilah ruang publik kita terkontaminasi oleh suatu berita bohong, kabar burung, fitnah, hinaan, dan semacamnya.

Jangan menarik diri
Jadi, apa yang saya rasakan ketika mengikuti pemberitaan semacam ini? Ada rasa jengkel, marah, muak (belum sampai mual sih), tetapi juga aneh karena selalu saja muncul orang yang secara pendidikan itu mumpuni (ada yang bergelar doktor dari universitas ternama di Indonesia loh), tetapi cara berpikirnya "seperti anak kecil".

Saya selalu heran dan muak dengan orang-orang yang melontarkan pikiran atau gagasan yang tidak terukur dan jauh dari objektif. Saya bukan orang yang antipemikiran subjektif, tetapi subjektivitas digunakan sebagai paradigm dalam membangun argumen melawan orang lain, itu justru hal bodoh yang ingin saya tolak.

Ada teman dekat yang bertanya kepada saya, "Mengapa kamu memusingkan dirimu memikirkan hal-hal itu? Kamu kan tidak kena dampaknya secara langsung jika orang-orang itu memfitnah atau menyebar kabar bohong di dunia maya!" 

Benar juga sih pertanyaan teman tadi itu. Lebih baik tidak mengikuti berbagai berita negatif daripada mengikutinya lalu kemudian pusing dan jengkel sendiri. Tetapi menurut saya, ini sikap yang kurang baik. Menarik diri dari perbincangan publik, menutup diri dari berbagai berita buruk dan kebohongan hanya akan menguntungkan diri sendiri, tetapi membiarkan khalayak atau warga negara yang kurang kritis menjadi terus-menerus bodoh.

Sampai kapan masyarakat kita menjadi orang yang kritis dan tidak mudah percaya pada berbagai kebohongan jika tidak ada orang yang memberitahu mereka, jika tidak ada orang yang mengajarkan mereka bersikap kritis, jika tidak ada orang yang memupblikasikan berita dan opini yang lebih objektif dan seimbang. Di situlah saya menghayati peran saya sebagai "pendidik kesadaran kritis publik" --sebuah predikat yang kedengarannya mulia.

Pro pada kebenaran
Jadi, seperti apa seharusnya kita membangun sikap menghadapi berbagai fitnah, kebohongan, penghinaan dan semacamnya di ruang publik kita? Sebagai akademisi dan filsuf, saya masih yakin pada pentingnya setiap orang yang memiliki nalar ini mengejar dan mengusahakan apa yang disebut sebagai kebenaran. Yang saya maksudkan dengan "kebenaran" di sini bukanlah sebuah kebenaran korespondensial, bahwa apa yang dipikirkan menemukan pembenarannya di realitas, bahwa realitas menjadi potret sempurna dari apa yang dipikirkan. Jenis kebenaran ini sangat tidak cocok dalam relasi sosial dan dalam kehidupan bersama sebagai warga negara.

Saya memaknakan sikap pro pada kebenaran sebagai sikap yang mendekati kebenaran, sikap yang mendekati kenyataan sesungguhnya. Jadi, kalau seseorang mengatakan bahwa sudah ada ribuan bahkan jutaan tenaga kerja Cina bekerja di Indonesia, kita sehatusnya tidak lekas percaya dan segera mencari bukti pendukungnya. Bahwa ada tenaga kerja Cina ada dan bekerja di Indonesia, ya itu sudah pasti benar. Tetapi jika jumlahnya tidak signifikan seperti yang diklaim para penebar kebencian, kita harus mengatakan bahwa klaim semacam itu sama sekali jauh dari kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun