Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lima Langkah Jitu Meminta Maaf

19 Maret 2018   07:00 Diperbarui: 20 Maret 2018   04:28 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika menyadari kesalahan ini, saya wajib memohon maaf. Saya harus menunjukkan rasa penyesalan saya, bahwa saya telah menyebar kabar bohong dan fitnah yang telah merugikan teman itu. Rasa penyesalan itu tidak bisa hanya terekspresikan melalui kata-kata. Ia juga harus terungkap dari bahasa tubuh dan dari keseriusan saya melakukan pendekatan terhadap teman itu dan meminta maaf darinya. 

Semakin teman itu terluka dan lukanya semakin sakit, rasa penyesalan itu seringkali tetap sulit membuka pintu maaf dari orang lain. Tetapi dari pihak yang telah melakukan kesalahan, saya harus tetap berusaha menunjukkan rasa penyesalan itu. Usaha yang gigih akan menunjukkan kepada teman itu bahwa rasa penyesalan saya bukan dibuat-buat.

Rasa penyesalan dapat diekspresikan dengan berbagai ekspresi dan gestur tubuh. Yang penting itu dilakukan dengan tulus. (www.goalcast.com)
Rasa penyesalan dapat diekspresikan dengan berbagai ekspresi dan gestur tubuh. Yang penting itu dilakukan dengan tulus. (www.goalcast.com)
2. Menerima tanggung jawab

Rasa penyesalan saya itu sebetulnya berangkat dari tanggung jawab saya untuk mengakui kesalahan. Bagian dari tanggung jawab itu adalah kesediaan untuk memulihkan hubungan yang terputus, termasuk memulihkan kembali situasi kehidupan bersama dalam komunitas yang telah terlanjut menjadi rusak. Dengan begitu, tanggung jawab saya tidak hanya meminta maaf kepada teman yang telah kusakiti itu, tetapi juga permohonan maaf saya kepada komunitas yang telah menjadi rusak suasananya karena sikap dan perilaku saya.

3. Memberikan tebusan atas kesalahan

Pada tingkat yang ekstrem, misalnya teman yang terlukai itu menderita kerugian (material maupun non-material), saya harus bersedia memberikan tebusa atas kesalahan saya. Hal yang paling ekstrem, misalnya karena kesalahan saya itu telah menyebabkan iklim kerja menjadi terganggu dan karena itu saya harus diskors bahkan dikeluarkan dari tempat kerja, itu semua harus diterima sebagai bagian dari tanggungjawab dan bagian dari tebusan atas kesalahan. Besar kecilnya kesalahan akan sangat menentukan besar kecilnya tebusan atas kesalahan itu.

4. Dengan tulus mau bertobat

Rasa  penyesalan yang telah saya ekspresikan pada tahap pertama seharusnya menjadi penanda bahwa saya memang tulus menyesal dan tulus bertobat. Ketulusan dalam mengakui kesalahan itu sikap paling awal yang mendorong saya menanggalkan ego saya dan datang meminta maaf kepada orang yang telah tersakiti. Dan itu akan menjadi sempurna jika saya dengan tulus mau bertobat. 

Maknanya lebih religius karena kesadaran bahwa sikap dan perbuatan yang telah melukai sesama sebenarnya juga telah merusak hubungan saya dengan Tuhan. Karena itu, saya tidak hanya meminta maaf kepada teman yang tersakiti itu, tetapi juga kepada Tuhan sendiri. Saya memohon kepada-Nya supaya relasi yang telah terlanjur rusak itu bisa dipulihkan kembali.

5. Memohon pengampunan

Bagian dari ketulusan dalam bertobat itu adalah kerendahan hati untuk meminta pengampunan dari Tuhan. Saya tahu bahwa Tuhan itu Maha Pengampun. Ia tidak akan pernah menolak permohonan maaf dan ampun dari umat-Nya. Dia tidak pernah meninggalkan kaum-Nya yang menaruh kepercayaan penuh pada-Nya. Dan itu menuntut dari saya kerendahan hati yang luar biasa besarnya, mengakui kesalahan yang pernah saya lakukan dan memohon pengampunan dari Tuhan. Di hadapan-Nya saya berlutut seraya memohon, "Tuhan, ampuni saya yang telah bersalah dan yang telah melukai sesamaku."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun