Saya tidak menyadari ini sebagai sebuah persoalan serius, bahwa setiap manusia harus mengajukan pertanyaan yang benar atau tepat, sampai ketika minggu ini bertemu dan ikut dalam sebuah diskusi filsafat di mana Prof. Ann Thebaut dari Santa Fe College menjadi narasumbernya. Diskusi ini sifatnya sangat ringan, karena kami para dosen di Atma Jaya Jakarta ingin bertukar pengalaman tentang bagaimana filsafat dan ilmu-ilmu humaniora diajarkan di AS. Satu hal sangat ditekankan Prof. Thebaut, dan itu soal sumbangan positif yang bisa diberikan oleh para filsuf, yakni mengajarkan, mendidik, melatih dan membiasakan pemikiran kritis (critical thinking) dalam diri mahasiswa.
Tentang hal ini, saya rasa kebanyakan orang setuju, termasuk juga peran yang dimainkan atau diemban filsuf dalam pendidikan. Kita tahu, para filsuf adalah orang-orang terpelajar dalam disiplin ilmu yang hakikat keilmuannya memang ingin mengungkapkan secara mendalam dan mendasar hal-hal yang kebanyakan orang menerimanya sebagai kelaziman. Tentang peran yang dimainkan para filsuf dalam pendidikan dan pelatihan pemikiran kritis, itu karena mereka mempelajari secara intens cabang ilmu filsafat yang disebut sebagai critical thinking (terapannya) dan logika (ibu atau asal ilmunya). Tetapi bukan itu yang hendak ditekankan Prof. Thebaut. Beliau sebenarnya ingin menekankan pentingnya "mengajukan pertanyaan secara tepat dan benar". Salah satu keterampilan berpikir kritis tercermin dari kemampuan seseorang mengajukan pertanyaan yang benar/tepat, dan bukan sekadar mengajukan pertanyaan.
Mengapa mengajukan pertanyaan yang benar dan tepat itu sesuatu yang penting? Kutipan perkataan Albert Einstein ini kiranya memberikan kita jawaban atas pertanyaan ini. "If I had an hour to solve a problem and my life depended on the solution, I would spend the first 55 minutes determining the proper question to ask... for once I know the proper question, I could solve the problem in less than five minutes."
Dengan kata lain, mengajukan pertanyaan secara tepat atau benar sebenarnya sudah memecahkan sebagian besar masalah yang dihadapi.
Bagi saya, ada dua hal penting yang harus disadari di sini dan keduanya saling terkait. Pertama, mahasiswa harus mengajukan pertanyaan secara tepat dan benar, dan dalam arti itu saya sepakat dengan apa yang dikatakan Einstein. Kedua, menyadari bahwa mahasiswa belum banyak yang mengajukan pertanyaan, saya justru mengusulkan agar setiap dosen mendorong mahasiswanya untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Setelah kelas sudah ramai dengan pertanyaan baru dosen bisa membantu mahasiswa mengajukan pertanyaan yang tepat dan benar.
Dua alasan
Mengapa mahasiswa sekarang umumnya malas bertanya? Semula saya menganggap hal ini hanya terjadi di kelas saya yang nota bene bukanlah kuliah jurusan atau apa yang sering disebut mahasiswa sebagai mata kuliah yang gak penting bingitzzzz. Tetapi ternyata teman saya yang mata kuliahnya adalah core ilmu (mata kuliah jurusan) pun mengalami hal yang kurang lebih sama. Itu artinya kesan bahwa mahasiswa cendrung pasif dan tidak mengajukan pertanyaan dapat diterima -- setidak-tidaknya sebagai landasan bagi argumen tulisan ini.
Jadi, mengapa mahasiswa malas atau enggan bertanya? Karena tidak menemukan rujukan dalam publikasi jurnal dalam negeri (saya nyari di google.scholar tapi gak nemu), saya menjawabnya dengan merujuk pada tulisan luar negeri. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan.
Pertama, Tony Wagner, seorang ahli pada Harvard's Innovation Lab menemukan bahwa mahasiswa tidak mengajukan pertanyaan lebih karena dosen tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk bertanya. Alasan dosen tidak memberi kesempatan itu bukan karena dosen tidak mau atau takut ditanya, tetapi karena ia dikejar oleh patokan materi yang harus diajarkan dan yang harus dikuasai mahasiswa. Saya membayangkan dosen dibebani oleh target pencapaian Learning Outcome tertentu yang didasarkan pada Learning Objectives.
Tidak hanya itu. Dosen juga ternyata dibebani dengan semacam assessment atau pengujian dari pihak ketiga yang melampaui kewenangannya dalam mengontrol. Sementara pada saat yang bersamaan, sang dosen harus memastikan bahwa indeks kinerjanya harus baik alias harus mencapai level yang diprasyaratkan institusi. Celakanya, indeks kinerja dosen pun sering ditentukan oleh ketuntasan dosen dalam mengajar (materi harus disampaikan semuanya sebagaimana telah ditetapkan fakultas), nilai atau hasil capaian belajar mahasiswa, dan kuisioner umpan balik mahasiswa. Dan tampaknya hal ini umumnya terjadi pada mata kuliah sains.
Kedua, keadaan msyarakat sekarang memang menunjukkan betapa mahasiswa tidak terdorong untuk bertanya. Laporan dari National Center for Education Statistics di AS memperlihatkan betapa siswa dan mahasiswa semakin sedikit yang mengajukan pertanyaan di kelas. Hal ini pun sejalan dengan hasil penelitian Gallup. Keadaan semacam ini yang barangkali mendorong institusi seperti The Right Question Institute, sebuah institusi nirlaba, yang terus melatih anak-anak di skeolah, mendorong dan melatih para guru, para orangtua, dan semua pemangku kepentingan supaya bisa mendorong anak-anak terus mengajukan pertanyaan.
Tugas kita semua
Jadi apa yang harus kita lakukan? Kita semua (para orang tua, para guru dan sebagainya) bertanggung jawab mendorong anak-anak supaya rajin mengajukan pertanyaan. Dan untuk itu, situasi sekolah, rumah dan masyarakat harus diubah. Para guru dan dosen memang harus mencapai ketuntasan mengajar dan ketuntasan belajar, dan itu harus tercermin dalam assessment. Tetapi janganlah ini dijadikan sebagai patokan yang sungguh membelenggu.
Di dalamnya ada seorang ayah yang sedang menggenggam koran di tangannya. Di koran itu ada berita (tampak dari judul-judul berita) tentang korupsi, pelanggaran lalulintas, perselingkuhan, dan sebagainya. Di situ juga tampak sang ibu. Sambil menunjuk ke anak mereka (yang tampaknya baru saja melakukan suatu kesalahan), sang ayah bertanya, "Dari mana kamu belajar melakukan kesalahan semacam itu?"
Namanya juga karikatur bagus, pembaca koranlah yang harus berpikir dan memberi jawaban terhadap pertanyaan ini. Ketika saya tanyakan ke mahasiswa (jumlah mahasiswa di kelas 64 orang), apa kemungkinan jawaban anak itu? Hanya beberapa saja yang mau menjawab, itu pun keliru. Satu mahasiswi menjawab bahwa anak itu sebenarnya belajar dari lingkungan (masyarakat). Saya tanya, dari mana kamu tahu itu, mahasiswi itu menjawab begini, "Korannya saja isinya begitu. Bagaimana mungkin anak-anak tidak terpengaruh?"
Itu yang saya maksudkan dengan dorongan atau rangsangan yang kita berikan agar anak-anak bisa mengajukan pertanyaan. Kembali ke posisi saya di atas: mengajukan pertanyaan secara tepat dan benar hanya bisa dilakukan jika anak-anak sudah banyak yang bertanya. Bahwa mereka mengajukan pertanyaan yang salah, aneh, tidak masuk akal, dan sebagainya. Lebih baik mereka bertanya daripada diam saja di kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H