Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Benarkah Trotoar di Jalan Sudirman-Thamrin Hanya Indah di Mata?

11 Maret 2018   06:00 Diperbarui: 11 Maret 2018   10:21 1532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pejalan kaki berjalan di trotoar kawasan MH Thamrin, Jakarta, Selasa (6/3). Penataan jalan dan trotoar kawasan Sudirman hingga MH Thamrin untuk mempersiapkan keindahan kawasan itu sebagai jalan protokol utama di Jakarta. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Harus Bisa Mempersatukan Masyarakat

Yang saya tidak sepakat adalah memberi penilaian subjektif, bahwa trotoar yang dibangun Ahok itu "indah tetapi tidak indah di hati". Karena Anies Baswedan menggunakan kata "indah" dengan pengertian yang berbeda, maka kita bisa bertanya, apa yang dimaksud dengan "indah" (sebagai realitas konkret soal sesuatu yang indah/artistik) dan "indah di hati" (analogi)? Bagi saya, sesuatu yang indah dalam arti artistik memiliki kadar subjektivitas yang tinggi, apalagi "indah di hati"? Jadi, bagi saya, jika tidak berlebihan atau tidak hiperbolik, maka penilaian ini sebenarnya "super duper subjektif".

Saya membayangkan bahwa Anies Baswedan memberi penilaian kepada trotoar hasil kerja Ahok secara murni objektif, misalnya dengan mengatakan bahwa trotoar yang dibangun Ahok itu baik tetapi kurang mempertimbangkan berbagai pemangku kepentingan sehingga kelompok pengusaha ojek online atau kelompok masyarakat menengah--bawah kurang diuntungkan. Padahal mereka menggantungkan hidupnya dari usaha semacam itu dan dari kawasan Sudirman-Thamrin. Dan itu akan jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan, bahkan tanpa menjelaskan bahwa dirinya sedang pro pada rakyat kecil, dan seterusnya.

Saya menyayangkan sikap dan pernyataan subjektif semacam ini karena hanya akan terus-menerus memosisikan Anies Baswedan sebagai "musuh" Ahok. Anies sendiri sering menegaskan -- bahkan jauh sebelum menjadi Gubernur DKI -- untuk menjaga lisan, untuk lebih sopan dan tidak menciptakan gejolak dalam masyarakat. Tetapi menurut saya, pernyataan subjektif yang dilontarkan itu jauh dari kesan sopan, bahkan berpotensi menimbulkan permusuhan dalam masyarakat itu sendiri.

Soal penilaian ini, saya belajar dari Ilmu Psikologi yang mengatakan tentang pentingnya menghindari cara berelasi yang sifatnya konfrontatif. Menurut Dr. Arthur Cassidy, manusia umumnya menghindari konfrontasi. Bahkan setiap individu juga tidak siap menghadapi konfrontasi, sehingga ketika dikonfrontasi, emosinya akan cepat meledak, dia akan cepat marah dan segera akan kehilangan rasa gembiranya. Orang yang ada dalam situasi konfrontasional akan memosisikan orang lain sebagai musuh atau lawan yang harus ditaklukkan. 

Saya sendiri menafsir pernyataan Gubernur Anies Baswedan ini sebagai cara berkomunikasi yang konfrontatif, karena memosisikan orang/pihak tertentu -- dalam hal ini adalah Ahok -- sebagai orang lain yang harus didebat, dipersoalkan, diuji, dimintai pertanggungjawaban, bahkan dalam bentuknya yang paling ekstrem adalah dilawan.

Jika tafsir atau cara pemahaman saya ini dapat diterima, maka sebenarnya sayang sekali bahwa hal semacam ini masih diucapkan oleh seorang pejabat publik selevel Gubernur DKI. Bagi saya, jabatan publik itu mulia, dan orang yang menduduki jabatan itu seharusnya rajin merekatkan seluruh elemen dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun