Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Liberalisasi Euthanasia Sedang Mengancam Kita

1 Maret 2018   16:00 Diperbarui: 4 Maret 2018   22:48 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin sebagian besar pembaca sudah tahu dan mengerti apa itu "euthanasia" Sekadar mengulang, secara etimologis, "euthanasia" berasal dari kata-kata Yunani eu yang artinya "baik" dan thanatos yang artinya "kematian". Itu artinya euthanasia adalah "kematian yang berbahagia".

Dalam sejarah peradaban Yunani dan Romawi, euthanasia digunakan untuk menyebut orang yang mengakhiri kehidupannya secara membahagiakan dalam arti mati tanpa penderitaan (lih. K. Bertens, Etika Biomedis, 2011: 241-242).

Pertanyaannya, apakah individu mengakhiri kehidupannya sendiri atau orang lain yang melakukannya? Apakah euthanasia itu dilakukan oleh seorang dokter dan pelayan kesehatan? Atau, itu dilakukan oleh pasien sendiri alias atas permintaan pasien? Apakah ketika dokter atau petugas kesehatan "merasa kasihan" terhadap penderitaan pasien yang tak-tertahankan (underable pain) dan kemudian mengakhiri penderitaan pasien itu dengan memberikan obat yang mematikan, tindakan itu sendiri dapat dibenarkan secara etis?

Aspek "atas permintaan pasien sendiri" sebagai indikator yang menunjukkan pilihan sadar, kebebasan dan otonomi pasien untuk mengakhiri hidupnya sering menjadi perdebatan persis karena kenyataan bahwa pasien yang mengakses "pelayanan" euthanasia adalah mereka yang berada pada tahap "sekarat" (terminal) yang kemungkinan besar tidak otonom dan tidak berada dalam kebebasan yang penuh.

Dalam konteks ini, euthanasia disebut sebagai "pengakhiran kehidupan karena belas kasihan" (mercy killing). Secara etis, jenis pengakhiran kehidupan ini tidak dapat diperbolehkan karena tidak menghormati kebebasan dan otonomi pasien.

Tetapi, apakah dengan begitu, permintaan pengakhiran kehidupan karena permintaan pasien sendiri yang dilakukan secara bebas dan otonom dapat dibenarkan? Bahwa dokter tidak terlibat dalam pembunuhan pasien karena dia hanya memberikan resep obat yang mematikan dan pasien meminum sendiri obat tersebut untuk mengakhiri kehidupannya? (Ini disebut sebagai "bunuh diri berbantuan" alias physician assister suicide)

Asosiasi Para Dokter Sebagai Kunci

Meskipun banyak pihak yang secara terang-terangan menolak mercy killingtidaklah demikian dengan bunuh diri berbantuan. Banyak argumen etis yang bisa dikemukakan untuk mendukung  posisi mendukung bunuh diri berbantuan: hak untuk mati (the right to die), hak untuk mati secara bermartabat (the right to die with dignity), atau karena belas kasihan (compassion).

Tetapi selama asosiasi dokter seluruh dunia masih melarang dokter terlibat di dalam praktik euthanasia, setiap dokter dan pelayan kesehatan biasanya tunduk pada ketentuan ini. Demikianlah, Kode Etik Kedokteran Internasional (World Medical Association/WMA) tahun 1949 menegaskan bahwa seorang dokter harus selalu mengingat dan mentaati kewajiban untuk mempertahankan kehidupan.

Ketentuan ini yang juga dipakai dalam Kode Etika Kedokteran Indonesia yang menegaskan bahwa "setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani" (pasal 7d, 2002).

Dengan begitu, tampak jelas bahwa asosiasi para dokter, baik pada level internasional maupun nasional, masih berpegang teguh pada janji profesi untuk tidak mempraktikkan euthanasia dan tidak menggolongkannya sebagai prosedur pelayanan kesehatan. Dan ini merupakan hal yang baik dan mulia, karena kalau pun negara misalnya menyetujui dan melegalisasi euthanasia, dokter dapat menggunakan prinsip etika profesinya untuk menolak terlibat dalam praktik semacam ini.

Dengan kata lain, posisi asosiasi dokter yang mempertahankan janji untuk menghormati kehidupan menjadi sangat sentral dan andal.

Bagaimana kalau kemudian asosiasi para dokter dan ikatan profesi sudah mulai lunak terhadap praktik euthanasia? Pertanyaan ini berhubungan dengan praktik euthanasia yang sudah mulai dilegalkan di beberapa negara sejak abad 20. Sejak bulan November 2017, euthanasia telah menjadi praktik yang legal di Belanda, Belgia, Kolombia, Luxemburg, dan Canada.

Lalu bunuh diri berbantuan adalah praktik yang legal di Switzerland, Jerman, Vermont, Montana, Washington DC, dan California. Dan sejak bulan Februari 2018, euthnasia aktif (bunuh diri berbantuan) dan euthanasia pasif (mercy killing) menjadi praktik yang legal di Korena Selatan. Diperkirakan negara bagian Victoria di Australia akan melegalkannya di pertengahan tahun 2019.

Kelompok pro euthanasia melakukan berbagai upaya untuk mengegolkan legalisasi euthanasia di negara mereka. Sumber: https://www.telegraph.co.uk/news/uknews/assisted-dying/11857940/Assisted-dying-vote-in-House-of-Commons.html
Kelompok pro euthanasia melakukan berbagai upaya untuk mengegolkan legalisasi euthanasia di negara mereka. Sumber: https://www.telegraph.co.uk/news/uknews/assisted-dying/11857940/Assisted-dying-vote-in-House-of-Commons.html
Jadi, dengan semakin banyaknya negara melegalkan praktik euthanasia, apakah ada kemungkinan asosiasi kedokteran internasional (dan nasional) mengubah posisi moralnya dari menolak menjadi menerima? Kekhawatiran itu ada dan mulai dirasakan saat ini.

Tahun lalu misalnya, ketika negara bagian Victoria di Australia mulai gencar-gencarnya mempersiapkan diri melegalisasi euthanasia, asosiasi para dokter di sana mengadvokasi para pembuat undang-undang untuk tidak mendukung kebijakan ini. Nyatanya surat dari asosiasi dokter yang dikirim ke para perumus undang-undang itu tidak digubris dan euthanasia tetap dilegalkan di negara bagian itu.

Jadi, ada semacam kekhawatiran -- terutama di kalangan para dokter dan penggiat kemanusiaan yang anti euthanasia -- bahwa posisi moral ikatan dokter akan menjadi goyah dan mereka akan mendukung euthanasia. Dan kekhawatiran ini mulai nampak dalam surat peringatan yang dikeluarkan oleh FIAM (Fdration Internationale des Associations de Mdecins Catholiques).

FIAM mulai mencium pergeseran posisi moral asosiasi dokter internasional (WMA) dan kebijakan-kebijakannya yang mulai mengarahkan dukungan kepada praktik euthanasia. Dokter John Lee, presiden FIAM Singapura mengklaim bahwa "WMA sedang memiliki rencana untuk memperkenalkan dua ukuran kebijakan dalam memfasilitasi aborsi dan euthanasia yang marak di dunia, dengan cara membatasi keberatan dokter atas nama suara hati."

Sebagai informasi, salah satu pertahanan moral para dokter -- terutama mereka yang menolak mempraktikkan aborsi dan euthanasia -- adalah apa yang disebut sebagai "conscientious objection" atau keberatan dan penolakan atas nama suara hati.

Konkretnya, seorang dokter memiliki hak menolak melakukan aborsi dan euthanasia meskipun praktik itu diperbolehkan dan legal di tempat di mana sang dokter berpraktik. Nah, pertahanan moral dokter ini yang sekarang tampaknya mulai digerusi organisasi kedokteran sendiri.

Bagaimana caranya? Dokter John Lee mensinyalir bahwa WMA sekarang sedang mengusulkan ke Deklarasi Oslo tentang Aborsi Terapeutik (2006) supaya mempertimbangkan ulang larangan terhadap aborsi dengan misalnya mendorong dokter supaya merujuk pasien yang meminta aborsi ke rekan sejawat lainnya dan mendorong dosen supaya memberikan aborsi yang aman dalam situasi tertentu jika dibutuhkan.

Dr. John Lee, Presiden Fdration Internationale des Associations de Mdecins Catholiques (FIAM) ketika bertemu Paus Fransiskus. Sumber: http://www.fiamc.org/text/f-i-a-m-c/
Dr. John Lee, Presiden Fdration Internationale des Associations de Mdecins Catholiques (FIAM) ketika bertemu Paus Fransiskus. Sumber: http://www.fiamc.org/text/f-i-a-m-c/
Dokter Lee juga melihat bahwa anggota ikatan dokter internasional dari Canada dan Belanda juga sedang meminta asosiasi dokter internasional supaya segera mengubah kebijakannya mengenai euthanasia. Anggota dari kedua negara ini malah mengusulkan agar asosiasi dokter internasional memperlakukan praktik euthanasia sebagai persoalan suara hati individual dokter.

Mengapa ini dianggap Dr. Lee sebagai berbahaya? Menurut Dr. Lee, asosiasi dokter internasional seharusnya mengutuk praktik euthanasi atas alasan apapun. Karena "dengan tidak mengutuk dokter yang melakukan eutanasia di tempat yang sah, WMA mengatakan bahwa euthanasia dapat menjadi etis jika legal."

Dokter Lee juga melihat bahwa kasus Kanada dan Belanda yang mempraktikkan euthanasia secara paling liberal seperti sekarang, sikap diam dan tidak mengutuk praktik euthanasia sebagai sikap resmi WMA hanya akan menjadi preseden bagi sikap permisif di negara-negara lain.

Sikap Moral yang Baik

Apa yang diperjuangkan Dr. Lee dan semua kelompok anti aborsi dan anti euthanasia adalah benar. Mereka memperjuangkan sikap moral yang "keras" dalam menjalankan profesi kedokteran di mana kehidupan menjadi taruhannya. Dalam arti itu, hanya moralitas yang keras dan rigid saja yang tidak memberi ruang sekecilpun bagi praktik-praktik kedokteran yang membahayakan kehidupan.

Jika sikap ini melunak, maka standar moralitas tertinggi dan termulia yang dijunjung tinggi para dokter akan runtuh pula. Padahal dokter adalah penjaga dan pemelihara kehidupan.

Jadi, apa sikap moral yang harus diambil WMA sebagai asosiasi profesi kedokteran internasional? Pertama-tama, pasti tidak mungkin mengakomodasi berbagai kubu pro dan kontra dalam hal euthanasia (dan aborsi). Karena itu, langkah yang paling bijaksana adalah (1) tetap mempertahankan pasal mengenai "mempertahankan kehidupan" sebagai cita-cita moral tertinggi.

Namanya cita-cita, ada dokter yang mencapai cita-cita, ada yang tidak. (2) Tetap memberikan peringatan, pengarahan, atau mungkin kecaman kepada dokter yang mempraktikkan aborsi dan euthanasia, juga di negara yang melegalkan kedua hal ini. (3) tetap mempertahankan dan mengakui hak dokter untuk menolak mempraktikkan aborsi dan euthanasia atas nama suara hati dan keyakinan moral individu.

Hal yang masih harus didiskusikan adalah apakah dokter yang menolak itu masih harus diminta melakukan rujukan ke rekan sejawat? Soal ini, menurut saya, jika dijadikan sebagai kewajiban, justru akan merongrong dan merugikan kesadaran dan keyakinan moral si dokter itu sendiri.

Karena itu, biarkan doker yang memutuskan apakah akan membuat rujukan atau tidak. Jika dia membuat rujukan, mestinya keselamatan pasien menjadi pertimbangan utama. Tetapi jika dia tidak merujuk, si dokter tidak boleh dipersalahkan, apalagi dihukum dan dikriminalisasi.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun