Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Manusia Lebih Tertarik pada Hal Negatif?

25 November 2017   09:57 Diperbarui: 26 November 2017   03:18 11800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Media sosial kita ditandai oleh berbagai postingan status, ulasan, komentar, lontaran opini, dan sebagainya yang sering juga menjadi viral. Meskipun selalu ada dua sisi yang ditampilkan, yakni sisi positif dan negatif, harus diakui, sisi negatif sering jauh lebih terkenal, jauh lebih popular, cepat menjadi viral, dan sebagainya.

Kadang -- atau malah sering -- berbagai status, ulasan, komentar, dan semacamnya yang berasal dari public figureitu cepat menjadi viral dan mendapat puluhan ribu bahkan di-shared oleh jutaan pemirsa. Dalam hal demikian, jika public figure mengatakan hal yang cendrung negatif, dampak viralnya menjadi berlipat.

Tidak usah jauh-jauh untuk bisa mengerti hal ini. Ambil saja contoh public figure yang ucapan atau komentarnya biasaya mendapat ribuan tanggapan, taruhlah Fahri Hamzah, Fadli Zon, Ahok, dan sebagainya. Tetapi juga para pesohor lainnya, entah artis atau pesohor agama semacam ustadz. Kasus terakhir soal Rina Nose yang tidak lagi mengenakan jilbab plus komentar ustadz tertentu yang cenderung menghinda juga menjadi viral. Dan itu diikuti berbagai komentar yang sifatnya negatif.

Pertanyaannya, mengapa kita manusia lebih suka pada hal-hal yang sifatnya negatif? Mengapa kita cendrung lebih lama mengingat hal yang negatif dibanding hal yang positif? Apakah hal ini telah menjadi bagian integral atau hakikat manusia? Jika ya, maka negativitas adalah sebuah ontologi pengada dalam artian filsafat?

Tiga Jawaban

Kali ini saya ingin membahasnya dari segi psikologi populer lalu kemudian menunjukkan implikasinya. Tesisnya adalah bahwa negativitas memang bersifat ontologis. Dia adalah bagian integral dari hakikat manusia dan acap kali menjadi lebih dominan dibandingkan dengan hal yang positif.

Sekurang-kurangnya ada tiga jawaban yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan di atas. Pertama, sifat menyukai dan mengingat hal-hal yang negatif termasuk fenomena evolusioner. Kajian keilmuan menunjukkan bahwa sejak awal, subjek selalu menyadari dan mempersepsi sesuatu secara berbeda, mengindentifikasi hal atau fenomena yang asing dan yang tidak sama dengan dirinya.

 Logika evolusi mengatakan bahwa ini dilakukan sebagai tuntutan untuk menghindari sedini mungkin segala hal yang berbeda dan mengancam. Inilah inti dari prinsip "struggle for life" yang begitu masyur didengungkan dalam evolusi. Sejak awal kehidupannya, manusia dan makhluk hidup lainnya memang dituntut untuk memiliki keterampilan bertahan hidup (survival skills).

Jangan biarkan berita buruk menguasai pikiranmu. Sumber: https://richtopia.com
Jangan biarkan berita buruk menguasai pikiranmu. Sumber: https://richtopia.com
Kedua, dari perspektif "teori prospek" (prospect theory),manusia ternyata mengambil keputusan tidak berdasarkan hasil akhir yang direncanakan atau yang sudah diketahui sebelumnya. Manusia justru mengambil keputusan dan bertindak dengan memilih berdasarkan nilai-nilai potensial kerugian dan potensi keuntungan yang bisa dicapai. 

Karena hal ini, dapatlah dimengerti bahwa manusia akan berusaha untuk menghindari hal yang negatif, yang lebih banyak atau berpotensi menimbulkan kerugian (hal yang negatif).  Itu artinya dalam setiap keputusan, manusia selalu mendasarkan dirinya pada apa yang disebut sebagai ".... Keinginan untuk menghindari pengalaman negatif daripada hasrat untuk mencapai/mewujudkan pengalaman positif". Artinya juga bahwa pengalaman negatif atau rasa takut memiliki dampak yang lebih besar bagi hidup manusia dan bukan sebaliknya.

Ketiga, perspektif atau sudut pandang negatif jauh lebih beracun (contagious) dalam arti jauh lebih berdampak atau jauh lebih cepat viral dibandingkan dengan hal yang positif. Kita alami dalam keseharian kita, bahwa ternyata sikap kita umumnya lebih dipengaruhi oleh berita-berita buruk (bad news) daripada berita-berita gembira (good news). Dari segi bahasa, menarik untuk disitir, bahwa kata-kata emosional negatif dalam Kamus Bahasa Inggris ternyata jauh lebih banyak (62 persen) daripada kata-kata emosional positif (32 persen).

Sifat Negatif yang Diproduksi Otak

Ketiga jawaban yang dikemukakan di atas diperkuat oleh temuan dan analisis atas cara kerja otak manusia. Otak manusia memiliki dua sistem yang berbeda dalam menanggapi rangsangan negatif dan rangsangan positif. Bagian otak yang disebut amygdalamenggunakan dua pertiga dari neuron-neoronnya untuk mendeteksi pengalaman-pengalaman negatif. Setiap kali bagian otak ini mendeteksi berita buruk, neuron-neuronnya segera (quickly) menyimpannya dalam ingatan jangka panjang (long term memory). Ingatan jangka panjang inilah yang membuat kita selalu bisa mengingat kembali berbagai fenomena dalam waktu yang lama.

Brainy Quote
Brainy Quote
Di lain pihak, kita membutuhkan lebih dari 12 detik untuk menyimpan kesadaran akan pengalaman positif agar dapat ditransfer dari short term memoryke long term memory. Itu artinya pengalaman atau fenomena negatif cepat akan "nempel" dalam ingatan jangka panjang kita sementara fenomena positif butuh waktu lebih lama untuk diingat.

Kajian tentang otak manusia yang cenderung melihat/menyimpan hal negatif daripada hal positif dapat juga dilihat dari penelitian-penelitian yang sudah dilakukan. Tiga contoh  penelitian dan hasilnya dapat dikemukakan di sini. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Jason Moser dan Andy Henion (Michigan State University) yang telah dipublikasikan di Journal of Abnormal Psychology (Andy Henion, Jason Moser. Positive, Negative Thinkers' Brains Revealed,April 2, 2014).

Kedua peneliti ini menemukan bahwa terdapat brain markersdalam otak manusia yang membedakan para pemikir negatif dan para pemikir positif. Jadi, ada orang-orang positif da nada pula orang-orang negatif di dunia ini. Mereka juga menemukan bahwa people who tend to worry showed a paradoxical backfiring effect in their brains when asked to decrease their negative emotions.Moser dkk menulis: "...they have really hard time putting a positive spin on difficult situations and actually make their negative emotions worse when they are asked to think positively".

Kedua, Christopher Nass, professor komunikasi pada Stanford University dan co-penulis dari The Man Who Lied to His Laptop: What Machines Teach Us About Human Relationships,berpendapat behwa manusia memang cenderung melihat kepada orang yang mengatakan hal negatif sebagai kelompok yang lebih cerdas ketimbang mereka yang mengatakan hal-hal yang positif. Di sini kita mengerti mengapa manusia lebih memperhatikan kritisisme daripada pengakuan dan pujian.

Ketiga, Mihaly Csikszentimihalyi, seorang Psikolog Hungaria, mengatakan bahwa kecuali otak kita disibukkan oleh hal-hal lain, rasa khawatir adalah posisi default otak manusia. Csikszentimihalyi menyebut ini sebagai "psychic entropy" yang harus kita hindari atau sekurang-kurangnya kita belajar untuk menghindarinya. Caranya adalah dengan mengontrol kesadaran kita dan mengarahkannya ke aktivitas-aktivitas yang memberikan umpan balik positif dan yang memperkuat kepekaan kita akan pencapaian tujuan dan prestasi.

Sikap Kita

Sama seperti kita yang cenderung bersifat negatif, kita juga berhadapan dengan orang lain yang memiliki sifat yang sama. Keadaan sosial akan menjadi kacau jika terlalu banyak hal negatif. Karena itu, tugas setiap kita adalah menghindari sejauh mungkin hal-hal yang sifatnya negatif. Misalnya, dengan melakukan atau memberi perhatian pada hal yang lebih positif. Daripada mengharapkan orang lain, kitalah yang memulainya. Kitalah yang mengambil inisiatif dan langkah pertama.

Mengalihkan pikiran negatif ke pikiran positif. Sumber: https://www.nytimes.com
Mengalihkan pikiran negatif ke pikiran positif. Sumber: https://www.nytimes.com
Nasihat-nasihat lainnya dari psikologi juga penting untuk dicatat di sini. Mari kita menahan diri dari memberi terlalu banyak porsi dan analisis pada hal-hal atau pengalaman negatif yang kita hadapi. Ingat selalu bahwa hal yang negatif lebih cepat "nyantol" dalam ingatan kita ketimbang hal yang positif. Karena itu, usaha keras seharusnya lebih diberikan pada upaya memberi perhatian dan mempraktikkan hal-hal yang positif. Dan ini sungguh sebuah pilihan manusia. Bersikap negatif adalah hal yang kodrati, sementara bersikap positif adalah sebuah pembudayaan.

Ini dapat dilakukan dalam setiap aktivitas harian kita. Misalnya, kita menghindari kritisisme atau memberi porsi terlalu banyak pada kritik. Kalau ada sesuatu yang harus dikritik, sebaiknya kita memberi kritik terlebih dahulu -- jadi menyampaikan hal negatif atau aspek yang kurang terlebih dahulu -- setelah itu baru menyampaikan hal yang positif. Jangan dibalik. Ini sengaja dilakukan supaya hal negatif menjadi "asupan" yang paling akhir kita masukkan ke dalam otak, dengan harapan, hal positif ini yang akan bertahan dan diingat.

Apakah dengan begitu, hal negatif akan segera musnah dari pikiran dan ingatan kita? Tidak niscaya. Sekali lagi, mari kita ingat bahwa bersikap negatif adalah kodrati, sementara bersikap positif adalah sebuah pembudayaan. Di situlah kita ditantang untuk memilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun