Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Pemimpin Pembebas

30 Januari 2012   01:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:18 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika memikirkan bagaimana kehidupan bersama harus dikelola, Plato mengusulkan dua hal yang tetap relevan hingga kini. Pertama, setiap orang harus mengerjakan pekerjaannya secara sempurna. Apa yang kita kenal sekarang sebagai profesionalitas sedikit banyak berakar pada pemikiran Plato dalam mahakaryanya berjudul Republic(2000). Karena profesionalitas terkait kelas sosial, secara turun-temurun tukang besi akan terus mengolah besi, pun pula petani, pedagang, politisi, atau penegak hukum. Memang gagasan Plato bahwa orang tidak boleh berpindah profesi harus ditolak karena melanggengkan ketidakadilan sosial, tetapi ide dasarnya tetap relevan. Seseorang hanya bisa disebut profesional jika dia melatih diri bertahun-tahun untuk melakukan suatu pekerjaan. Menjadi profesional menuntut dimilikinya karakter ulet, ketangguhan, pantang menyerah, inovasi, dan sebagainya.

Kedua, masyarakat harus dipimpin oleh mereka yang tahu mana yang baik dan  buruk secara moral. Sang pemimpin harus berasal dari kelompok yang suka merefleksikan kebenaran, termasuk melakukan pembedaan “benar”  dan “salah” secara moral, dan itu dikerjakan sebagai profesi. Gagasan Plato bahwa masyarakat harus dipimpin oleh filsuf karena mereka yang paling mengerti hal yang “baik” dan “buruk” secara moral memang tidak cocok dengan semangat demokrasi dewasa ini. Meskipun demikian, ide dasarnya tak-tergantikan: seorang pemimpin masyarakat harus mengetahui mana yang “salah” dan “benar” secara moral.

Tetap relevansi

Profesionalitas berhubungan dengan pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan. Dalam arti itu kita mewariskan cara berpikir Plato, bahwa pendidikan, pelatihan, dan pembiasaan dalam komunitas profesional akan menghasilkan kaum profesional yang tangguh. Para calon dokter, misalnya, tidak hanya mempelajari organ tubuh dan sistem kerjanya, kerentanannya, kemungkinan pencegahan dan pengobatannya. Di bawah bimbingan mereka yang sudah menjadi dokter, para calon dokter belajar dan berlatih bagaimana menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran secara tepat dan manusiawi. Pengalaman belajar, berlatih, dan pembiasaan selama bertahun-tahun akan menghasilkan dokter yang profesional dan humanis.

Berbeda dengan Plato, siapa pun bisa menjadi profesional sejauh dia belajar dan berlatih secara serius dalam bidangnya. Dia harus takluk pada tuntutan waktu belajar, berlatih, dan memperbaiki kesalahan. Dia juga harus memiliki sifat tekun, kerja keras, ugahari, sabar, tangguh, dan sebagainya. Menjadi profesional menuntut tidak hanya kepintaran, kepandaian, atau keterampilan, tetapi juga kepribadian yang baik. Syarat terakhir inilah yang justru mendefinisikan seseorang sebagai profesional berkarakter.

Mengapa negara harus dipimpin oleh mereka yang tahu akan yang “baik” dan “buruk” secara moral? Dalam konteks Indonesia, pertanyaan ini relevan, karena kita terlalu sering menyaksikan pemimpin yang mempraktikkan politik secara tidak bermoral, meskipun mereka tahu hal yang baik dan buruk secara moral. Tradisi etika politik Yunani Kuno yang melatarbelakangi pemikiran Plato berpendapat bahwa manusia hanya bisa bertindak secara moral jika dia sudah mengetahui mana yang baik dan buruk. Bagi mereka, pengetahuan akan kebaikan menjadi dasar untuk bertindak baik. Di sini kita bisa mengerti mengapa hanya filsuf yang mampu memimpin, karena mereka tidak hanya mengetahui yang baik dan buruk secara moral, tetapi juga bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut. Philo dari Alexandria (k.l. 20 SM–50 M) setuju dengan pandangan ini ketika ia mengatakan, “Filsafat … membentuk dan membangun kepribadian, menata kehidupan seseorang, mengatur perilaku, menunjukkan padanya apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Tanpa filsafat, tak seorang pun mampu mengarahkan kehidupan…” (Graham Higgin, 2004: 44).

Apakah dengan demikian, kaum profesional non-filsuf tidak sanggup mengetahui kebenaran moral atau tidak mampu mempraktikkan yang baik secara moral? Distingsi Hannah Arendt (14 Oktober 1906-4 Desember 1975) mengenai kerja (labour), karya (work), dan tindakan (action) dapat membantu menjawab pertanyaan ini. Kaum profesional bukanlah pekerja yang sibuk mengurus perut dan kebutuhan biologis lainnya sehingga tidak punya waktu untuk berefleksi dan menemukan kebenaran. Jika para buruh sibuk dengan upaya mempertahankan hidup, orientasi para profesional sudah mengarah kepada inovasi, kreativitas, dan kerja sosial demi memajukan kemanusiaan. Para profesional memiliki waktu luang untuk merefleksikan pekerjaannya, menakar urgensinya, menimbang dampaknya, dan memikirkan manfaatannya bagi khalayak. Mereka adalah kelompok sosial yang bebas karena sanggup mengendalikan perilakunya, termasuk menghentikan tindakan atau pekerjaan yang merugikan kepentingan orang banyak. Para profesional dengan karakter demikian tidak bekerja (labour) tetapi berkarya (work) atau melakukan tindakan (action). Suatu aktivitas hanya bisa disebut karya dan tindakan jika itu dilakukan dalam kebebasan dan tanggung jawab.

Dalam konteks inilah pemikiran Plato relevan bagi refleksi tindakan politik di Republik ini. Pertama, siapa pun berhak menjadi pemimpin politik. Dia tidak harus berasal dari kelompok sosial, suku atau agama tertentu. Meskipun demikian, kita sepakat bahwa sang pemimpin tidak hanya sanggup berwacana atau mengobral janji. Memiliki pengetahuan akan yang baik dan buruk itu penting, tetapi yang terpenting adalah mempraktikkannya. Tidak sedikit pemimpin kita yang tahu etika, tetapi sangat sedikit yang bertindak etis. Dan itu dibutuhkan keteguhan hati, keyakinan nurani, dan keberanian moral untuk bertindak secara etis, termasuk ketika tindakannya itu bertentangan dengan kepentingan kelompok tertentu yang lebih menginginkan keuntungan finansial dan bukan kesejahteraan masyarakat.

Kedua, para penguasa di Republik ini seharusnya merupakan kaum profesional yang memahami karier politik bukan sebagai mata pencarian atau sumber penghasilan ekonomi, tetapi sebagai ranah merealisasikan keahlian yang berkarakter. Dalam melayani masyarakat, kaum profesional yang ahli dan berkarakter tidak akan tergoyahkan mental dan kepribadiannya menghadapi berbagai godaan kekuasaan, iming-iming hadiah, suap, sogok, dan sebagainya, karena dia telah sanggup melampaui kepentingan biologis mempertahankan hidup pada level buruh atau pun binatang.

Pemimpin Pembebas

Di hadapan berbagai krisis moral kepemimpinan di Republik ini, Plato dan Hannah Arendt mengingatkan kita bahwa kita masih akan menghadapi berkuasanya dua jenis kepemimpinan. Pertama, mereka yang menjalankan kekuasaan sebagai para pekerja politik (labour) yang tujuan utamanya adalah mencari makan dan mempertahankan hidup. Mereka akan mencuri dan menyalahgunakan kekuasaan secara terang-terangan mengikuti hukum rimba siapa yang kuat dia yang menang (struggle for life). Kedua, kelompok terdidik yang menamakan diri kaum profesional, yang tahu bagaimana menyelenggarakan kehidupan bersama, tetapi memiliki mental buruh yang rakus akan harta dan kekayaan. Bersembunyi di balik segala formalitas hukum dan peraturan, mereka menyelenggarakan negara dengan tujuan memperkaya diri dan kelompok. Mereka membungkus nafsu serakah dan ketamakan dengan kata-kata manis atau tindakan politik karitatif sesaat.

Di hadapan krisis moral kepemimpinan inilah kita mencari sang pemimpin pembebas. Kita menantikan dia yang menjalankan kekuasaannya persis seperti apa yang dikatakannya, yang kepentingan utamanya adalah menyejahterakan masyarakat. Dialah pemimpin yang citranya melekat kuat dalam sanubari massa sebagai raja agung, pemimpin sejati yang mengalirkan keadilan ke tengah ketidakadilan, putra fajar yang membebaskan masyarakat dari kemiskinan, dan menaklukkan musuh-musuh rakyat di bawah pengadilan yang berwibawa. Dialah putra negeri ini yang harus lahir, entah kapan.[]

Tulisan ini telah dimuat di Harian Suara Pembaruan, 28 Januari 2012, hlm. 4.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun