Ada banyak nasihat atau kata-kata bijak seputar guru, hubungan guru – murid, atau tentang bagaimana pandangan masyarakat mengenai guru. Kita tahu apa maknanya ketika orang mengatakan bahwa “guru” itu “digugu dan ditiru”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendeskripsikan kata “gugu” sebagai “mempercayai; menuruti; mengindahkan”. Jelas, “guru” artinya sosok yang “dipercayai, dituruti, ditaati”, dan akhirnya “ditiru”. Wajar kalau kita keberatan pada pemahaman yang memosisikan “guru” pada posisi nyaris sempurna, mungkin setengah dewa, persis ketika ada banyak guru di sekitar kita yang gagal menjadi panutan. Meskipun demikian, ungkapan “guru” sebagai “digugu dan ditiru” mencerminkan pemahaman masyarakat pada kurun budaya tertentu ketika “guru” memang sungguh-sungguh menjadi panutan, contoh, dan teladan. Orang seusia saya atau beberapa tahun setelahnya mungkin masih mengalami betapa guru memainkan berbagai berbagai peran dalam masyarakat, terutama di desa, tidak hanya mengajar di sekolah, tetapi juga tokoh agama, imam masjid atau pemimpin ibadah di gereja, wakil masyarakat untuk urusan ke luar desa, dan sebagainya.
Gambaran guru semacam ini tidak seluruhnya benar, demikian juga sebaliknya. Kenyataan bahwa “guru juga manusia” yang bisa salah membuat kita menerima pemahaman yang lebih realistis, bahwa “guru” bisa saja salah, dan karena itu tidak harus mengikuti atau mentaatinya secara buta. Dalam arti itu, kita juga setuju bahwa akal sehat dan rasionalitas serta independensi dan kebebasanlah yang memampukan seseorang memilah-milah dan memutuskan manakah ajaran dan perbuatan gurunya yang tetap dijaga dan harus diteladani, dan ajaran atau perilaku apa saja yang harus ditolak.
Aristoteles – Plato: Relasi Guru dan Murid
[caption id="attachment_105653" align="alignleft" width="323" caption="Plato"][/caption] Kita punya banyak tokoh dalam sejarah peradaban yang dapat menjelaskan mengapa sikap kritis dan independen memampukan kita mengambil jarak terhadap ajaran guru kita, menerima dan mentaati hal-hal yang baik, serta menolak hal-hal yang buruk (dalam arti moral). Saya ingin mengambil contoh hubungan guru – murid antara Plato dan Aristoteles.
Ketika Plato berusia 60 tahun dan sudah terkenal sebagai filsuf, Aristoteles yang waktu itu baru berusia 7 tahun datang ke Akademi Plato. Anak muda itu memperkenalkan diri kepada Plato, sang guru dan filsuf, dan juga kepada murid-murid Plato lainnya di Akademi. Aristoteles berasal dari keluarga yang mapan secara ekonomi. Ayahnya, seorang dokter yang bekerja untuk Raja Filipus dari Makedonia, dikenal sebagai sosok berkepribadian kuat, punya pengetahuan mendalam, dan memiliki ambisi yang besar. Aristoteles menjadi murid di Akademi Plato di Athena selama 20 tahun. Plato sangat mengagumi murid yang satu ini karena kecerdasannya. Plato menyebut Aristoteles sebagai “otaknya Akademi”.
Ketika Aristoteles berusia 40 tahun dan telah meninggalkan Akademi Plato, Raja Filipus dari Makedonia meminta dia menjadi guru privat untuk putranya bernama Alexander. Di kemudian hari Alexander inilah yang menggantikan ayahnya sebagai penguasa yang setelah berhasil menaklukkan banyak wilayah, menegakkan kekuasaannya mulai dari Persia hingga Asia. Dialah Alexander Agung. Dikisahkan, setelah menaklukkan Persia, Alexander menghadiakan sejumlah uang yang cukup besar jumlahnya, yakni sekitar 1 juga dollar (US dollar) kepada Aristoteles, gurunya. Aristoteles menerima hadiah itu dan menggunakannya untuk mendirikan perpustakaan yang memungkinkan dirinya bekerja dalam suasana yang nyaman sebagai filsuf.
[caption id="attachment_105654" align="alignleft" width="340" caption="Aristoteles"][/caption] Ketika berusia 49 tahun, Aristoteles kembali ke Athena. Alih-alih melanjutkan karya Plato dan membesarkan Akademia, Aristoteles justru mendirikan sekolahnya sendiri. Sekolah yang didirikan Aristoteles bernama Liseum (Lyceum) atau dikenal juga dengan sebutan Sekolah Peripatetik (Peripatetic School). Disebut demikian karena Aristoteles mengajar dan mendiskusikan masalah-masalah pengetahuan dan filsafat bersama murid-muridnya sambil berjalan mondar-mandir di pelataran Liseum.
Jika Aristoteles memilih untuk tidak melanjutkan Akademia peninggalan gurunya, itu artinya ada hal atau ajaran mendasar dari Plato yang tidak disetujui Aristoteles. Ajaran Plato mengenai apakah yang ditolak Aristoteles? Untuk kepentingan refleksi saya, dua hal bisa saya kemukakan. Pertama, pada Aristoteles kita menyaksikan peralihan minat filsafat dan pengembangan ilmu pengetahuan. Plato adalah murid dan penerus ajaran-ajaran Socrates dan Pythagoras. Pada Plato orang boleh jadi meragukan originalitas pemikiran-pemikirannya, sementara pada Aristoteles, apa yang disebut dengan kemandirian pikiran sangat ditekankan. Aristoteles tidak mau menjadi sekadar penerus ajaran-ajaran gurunya. Dia mengandalkan sepenuhnya kekuatan logika dan “metode ilmiah” dalam mengembangkan teori-teorinya, dengan konsekuensi ajaran-ajaran yang telah ada dan diterima pada suatu zaman bisa saja ditolak dan ditinggalkan. Di sini kita mengerti mengapa Aristoteles “ogah” menjadi penerus Akademia. Diogenes Laertius mengatakan, bahwa sebenarnya ketidaksetujuan Aristoteles pada ajaran-ajaran Plato sudah dirasakan Plato sendiri ketika mereka sama-sama masih di Akademia. Mengenai muridnya yang pada semula sangat disanjungnya itu, Plato pernah berkata, “Aristoteles telah mengkhianati aku, sama seperti seorang anak yang mengkhianati ibu kandungnya.”
Kedua, saya ingin menyitir ajara di bidang etika yang membuat ajaran kedua filsuf agung ini berbeda satu sama lain. Mari kita lihat bagaimana mereka berdua memahami peran dari ergon (diterjemahkan sebagai “tugas” atau “fungsi”) dalam kehidupan bermoral. [Catatan: kalau disebut kehidupan bermoral artinya kehidupan dalam kerangka baik dan buruk secara moral alias baik dan buruk diukur dari segi prinsip benar dan salah secara moral. Misalnya, mengatakan bahwa “berbohong” itu salah secara moral, itu artinya ada prinsip moral yang dilanggar, “berkata jujur”]. Plato dalam bagian terakhir Buku Pertama dari karyanya berjudul The Republik (by the way, buku ini sepertinya sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, hanya saya tidak bisa memastikan apakah kualitas terjemahannya terjamin) menampilkan dialog antara Socrates dan Thrasymachus tentang mengapa seseorang harus hidup bermoral daripada tidak bermoral. Lewat mulut Socrates, Plato membangun argumentasinya dengan mengatakan bahwa segala sesuatu di muka bumi ini memiliki “fungsi” atau tugas tertentu dank has. Melalui tugas atau fungsi itulah seseorang dapat bertindak dan hanya melalui tugas atau fungsi tertentu yang khas dan pas baginya itulah dia mampu melakukan tindakan terbaik dan mencapai hasil maksimal.
[caption id="attachment_105659" align="alignleft" width="150" caption="Ilustrasi Lyceum."][/caption] Plato memberi contoh klasik: tugas mata adalah untuk melihat dan bukan untuk mendengar atau merasakan. Tugas pisau pemotong di tangan tukang daging adalah menjadi alat yang tajam. “Kebaikan” mata terletak pada kemampuan penglihatannya dan kebaikan pisau pemotong pada ketajamannya. Meskipun kelihatannya sederhana, tugas atau fungsi dari contoh ini digunakan Plato untuk menegaskan hal yang lebih serius berhubungan dengan pentingnya berperilaku moral. Dia ingin menegaskan sesuatu mengenai fungsi dan tugas “jiwa” (soul) manusia. “Jiwa” dalam filsafat Yunani Kuno diposisikan sebagai bagian integral dari struktur manusia. Jiwa menjalankan tugas atau fungsi yang lebih halus, misalnya “menjaga dan merawat sesuatu”, “mengatur dan mengendalikan”, “membuat pertimbangan-pertimbangan mengenai sesuatu”, dan semacamnya. Sebagai contoh, misalnya kita berhadapan dengan pilihan “berbohong” atau “tidak berbohong” dalam situasi konkret tertentu. Filafat Yunani Kuno, paling tidak dalam pemikiran Plato, bahwa jiwa memiliki tugas mengendalikan perilaku, karena jiwalah tempat kebaikan kekal (yang ada di dunia keabadian sebelum jiwa manusia masuk dan terpenjara dalam tubuh yang fana ini) dan mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Memilih tidak melakukan kebaikan, dalam contoh kita adalah memilih berbohong, itu sama artinya dengan “memilih tidak mentaati apa yang diinginkan jiwa”.
Nah, dalam diskusi antara Thracymachus dan Socrates, Thrasymachus teguh berpendapat bahwa ketidakadilan juga termasuk bagian dari jiwa manusia, tepatnya “ketidakadilan termasuk kebajikan jiwa” (injustice is the virtue of soul). Apa konsekuensinya kalau pandangan Thrasymachus ini disetujui? Artinya, kebaikan dan kejahatan sama-sama berasal dari jiwa manusia, bahwa jiwalah yang mengendalikan baik kebaikan maupun kejahatan. Bagi Plato, jika demikian, jiwa lalu tidak punya satu tugas atau fungsi tertentu yang spesifik dank has baginya, yang hanya melalui tugas dan fungsi yang spesifik itulah jiwa mencapai hasil yang paling maksimal. Lihatlah bahwa dalam pandangan Plato, teori mengenai tugas dan fungsi ini diekstrapolasi sampai meliputi tugas dan fungsi dari jiwa, dan hal ini tentu sulit diukur dalam pengalaman konkret manusia. Okelah, tapi kalau kita setuju dengan teori fungsi atau tugas (ergon) dari Plato, maka kita mestinya setuju juga bahwa jiwa memiliki satu tugas dan fungsi tertentu, dan tugas dan fungsi itu adalah mengendalikan perilaku manusia demi mencapai kebaikan dan kebahagiaan. Tentu dengan catatan bahwa manusia yang baik dan berkeutamaan akan senantiasa mengikuti dan taat pada perintah jiwanya demi mencapai kebahagiaan, dan sebaliknya.
Bagaimana denganAristoteles? Apakah dia tidak setuju pada apa yang dikatakan Plato di atas? Setelah mengevaluasi dan merefleksikan seluruh tujuan yang ingin dicapai manusia, tujuan tertinggi yang ingin dicapai demi tujuan pada dirinya adalah kebahagiaan. Misalnya (contoh ini bukan dari Aristoteles), Si A jatuh cinta pada si B dan setelah lama pacaran, mereka menikah. Pertanyaan kepada si A, mengapa memilih si A sebagai istri? Mungkin dia menjawab bahwa si B cantik, si B manis, dan seterusnya. Tetapi sifat dan karakteristik ini tidak memiliki nilai dan tujuan pada dirinya sendiri. Seseorang mengawini gadis cantik, misalnya demi rasa gengsi, dihormati keluarga, bangga, kepuasan sosial dan psikologis, dan semacamnya. Demikian pula dengan sifat manis, keibuan, dan sebagainya. Bagi Aristoteles, ada hal tertentu dalam hidup yang ingin manusia kejar dan capai, dan hal itu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan dikejar demi tujuan pada dirinya, dan tidak demi tujuan di luar kebahagiaan. Tentu contoh yang saya berikan di sini terlalu simplistis dan terkesan mengada-ada. Kalau Anda bisa mengerti mengapa kebahagiaan dikejar demi tujuan pada dirinya dan bukan demi tujuan lainnya melalui contoh lain, saya kira itu justru jalan terbaik.
Okelah, pertanyaannya sekarang: bagaimana mencapai kebahagiaan itu? Apakah dengan menjalankan tugas atau fungsi tertentu yang diberitahu jiwa kepada kita seperti yang dikatakan Plato di atas?
Sebenarnya pandangan Aristoteles tidak beda-beda banget sama gurunya, Plato. Thrasymachus dalam dialog dengan Socrates pernah ngotot mempertahankan pandangannya bahwa ketidakadilan juga bagian dari jiwa manusia, sementara Plato berpendapat bahwa hanya ada satu fungsi khas yang dijalankan demi mencapai hasil maksimal. Bagaimana kalau fungsi khas jiwa adalah menghasilkan keburukan, termasuk ketidakadilan yang dipertahankan Thrasymachus itu? Mengapa jiwa harus menjalankan fungsi yang baik-baik saja? Pertanyaan semacam ini sulit ditemukan jawabannya dalam teori fungsi (ergon) yang dikemukakan Plato.
Pandangan Aristoteles dalam karyanya berjudul Nicomachean Ethics jauh lebih sederhana dan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Dalam Buku I dari Nicomachean Ethics, Aristoteles mendiskusikan kebahagiaan sebagai kebaikan tertinggi yang dikejar manusia. Argumentasinya demikian: yang ingin dicapai manusia dalam menjalankan tugas atau fungsi tertentu adalah mencapai sesuatu yang baik. Sesuatu yang baik yang dicapai itu dikatakan baik berdasarkan evaluasi kita pada performan atau tindakan atau aksi orang itu. Pertanyaan yang diajukan Aristoteles adalah apakah ada fungsi atau tugas tertentu yang hanya khas manusia? Atau, jangan-jangan semua makhluk hidup menjalankan tugas dan fungsi yang sama? Kalau semuanya menjalankan tugas dan fungsi yang sama, lalu apa yang khas sebagai kebaikan yang dicapai dari menjalankan tugas dan fungsi itu? Ngga ada bedanya dong dengan tugas yang dijalankan mesin dengan hasil yang bisa diprediksi dan berulang (Nicomachean Ethics, Buku I, bab 7 29-33).
Aristoteles yakin bahwa ada fungsi dan tugas tertentu yang khas manusia, dan jika itu dijalankan, tujuan tertinggi yang ingin manusia capai adalah kebaikan tertinggi. Dan kebaikan tertinggi itu tidak lain adalah kebahagiaan. Untuk membuktikan pandangannya, Aristoteles berargumentasi seperti berikut. Pertama, ada fungsi dan tugas tertentu yang sama untuk semua makhluk hidup. Misalnya dalam hal proses pertumbuhan dan nutrisi. Semua makhluk hidup menjalankan fungsi-fungsi ini supaya bisa hidup, jadi bukan khas manusia. Dengan kata lain, menjalankan fungsi pertumbuhan atau nutrisional (misalnya makan, minum, dan sebagainya) tidak khas manusia, dan karena itu tidak akan membawa kepada kebaikan tertinggi dan kebahagiaan. Kedua, ada fungsi atau tugas tertentu yang sama antara manusia dan hewan tetapi tidak sama dengan tumbuh-tumbuhan. Sekali lagi, tugas dan fungsi ini pun tidak khas manusia. Misalnya, pengindraan dan persepsi. Dengan kata lain, melihat, merasakan, meraba, atau memahami sesuatu bukanlah fungsi khas manusia. Konsekuensinya jelas, berhenti pada level menjalankanfungsi persepsional atau pengindraan tidak akan mendatangkan kebahagiaan.
Ketiga, ada tugas dan fungsi tertentu yang khas manusia (tidak ada pada tumbuhan dan hewan), dan itu adalah memaksimalkan peran dan kerja rasio (nalar). Bagi Aristoteles, manusia tidak bisa menghindari melakukan tugas dan fungsi tertentu yang sama seperti yang dijalankan tumbuhan dan hewan. Tetapi manusia tidak dan seharusnya tidak berhenti pada level itu. Manusia selalu memaksimalkan dan memfungsikan kerja nalarnya demi menemukan jawaban terhadap pertanyaan yang dia ajukan sendiri, “Nilai dan kebaikan tertinggi apa yang ingin aku raih dalam melakukan tugas tertentu ini?” Maksimalisasi kerja nalar akan memungkinkan manusia menemukan kebaikan tertinggi yang ingin diraih dan dicapainya dalam hidup. Kebahagiaan sebagai tujuan tertentinggi yang dia raih berkat kerja nalar itu dikejarnya bukan demi sesuatu tujuan di luar nilai kebaikan dan kebahagiaan itu, tetapi demi kebaikan dan kebahagiaan pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, begitu kebaikan dan kebahagiaan dicapai, manusia menemukan bahwa itulah nilai tertinggi yang dicapainya. Di atas itu tidak ada lagi, kalau tidak maka kebahagiaan yang diraih bukanlah kebahagiaan sesungguhnya (otentik).
Mengenai fungsi atau tugas yang khas manusia, harus dikatakan juga bahwa setiap manusia bisa menjalankan tugas dan fungsi yang sama. Misalnya, sama-sama menjadi anggota DPR. Menjalankan fungsi sesuai tugas dan kewenangan sebagai anggota DPR bisa saja sama antarsemua anggota dewan dengan hasil akhir yang bisa diprediksikan sama. Ini juga kan yang menjadi ukuran keberhasilan setiap orang dalam dunia kerja atau institusi tertentu. Yang membedakan adalah bagaimana setiap anggota dewan memaksimalkan nalarnya demi mencapai kebaikan dan kebahagiaan tertinggi. Melakukan korupsi jelas bukan kebaikan tertinggi. Mencapai kebahagiaan tertinggi dalam hidupnya dengan melakukan kewajibannya sebaik mungkin, tanpa merugikan orang lain, tanpa melanggar undang-undang, dan memajukan kebaikan dan kebahagiaan orang lain yang diwakilinya dapat menjadi kebaikan dan kebahagiaan tertinggi yang seharusnya dijalankan seorang anggota dewan. Demikian pula contoh-contoh lainnya.
Pertanyaannya sekarang, apa beda antara pemikiran Plato mengenai kebaikan tertinggi dan kebahagiaan yang ingin dicapai manusia dalam bertindak atau berperilaku moral? Kedua-duanya sama-sama setuju pada teori fungsi (ergon), bahwa untukmencapai sesuatu hasil dan kebaikan tertinggi, seseorang harus melakukan atau menjalankan tugas tertentu. Mereka berdua juga setuju pada tugas atau fungsi jiwa, yakni sebagai penggerak dan pengarah. Hanya saja, pada Plato kita sulit menemukan jawaban atas pertanyaan mengapa jiwa hanya bisa mengarahkan ke kebaikan dan tidak bisa ke hal-hal yang buruk? Mengapa keburukan atau hal yang melanggar norma moral tidak bisa berkompromi dengan tugas dan fungsi jiwa? Terhadap kekurangan ini, Aristoteles melengkapi kebijaksanaan gurunya. Plato lupa bahwa dalam menjalankan tugas, manusia tidak bisa hanya mengandalkan fungsi jiwa, seakan-akan dengan memasrahkan diri pada fungsi jiwa itu sudah cukup sebagai jaminan untuk berperilaku baik secara moral. Aristoteles mengingatkan kita, bahwa menjalankan tugas dan fungsi itu baik, tetapi tidak cukup. Kita harus memaksimalkan peran nalar. Mengapa? Karena nalarlah yang akan memampukan kita menemukan jawaban terhadap pertanyaan: manakah kebaikan tertinggi yang ingin aku raih demi tujuan pada dirinya? Itulah kebahagiaan. Inilah sebabnya mengapa etika Aristoteles sering diringkas dengan ungkapan: “knowing good is doing good” (mengetahui yang baik secara moral adalah melakukan kebaikan).
Ancaman Orang yang “Tidak Pernah Menjadi Murid”
Tentu apa yang dikatakan Aristoteles ini pun masih ada kekurangannya, tapi kalau saya mengeritiknya sekarang di sini, ya jadinya terlalu panjang. Lain kali saja akan saya diskusikan. Pertanyaan terakhir yang mau saya diskusikan, dan ini berhubungan dengan introduksi karangan ini: “apa yang bisa kita pelajari dari relasi dua orang sebagai guru dan murid ini?” Jawaban saya akan terkesan agak reduksionistik, tapi mau bilang apa. Ini adalah pilihan strategi dalam menulis. Untuk itu, dua hal sederhana dan aplikatif ingin saya bagikan di bawah ini.
Pertama, berguru pada seseorang itu penting. Mencapai relasi yang akrab antara guru dan murid juga menjadi kondisi yang dibutuhkan demi proses pembelajaran bersama. Rasa kagum pada guru atau kagum guru pada murid adalah hal yang biasa dan lumrah. Tetapi rasa kagum itu tidak harus membutakan kita dalam berpikir kritis dan mandiri. Sokrates menasihati kita, katanya, “Hidup yang tidak direfleksikan itu tidak layak dihidupi.” Dengan kata lain, mengikuti saja apa perbuatan dan kata guru itu hanya akan membuat kita berada pada level yang paling rendah dari hubungan guru – murid.
Kedua, keberanian berpikir sendiri tentu tidak harus memisahkan atau meretakkan hubungan guru – murid. Aristoteles tidak berbeda sama sekali dengan apa yang dikatakan gurunya. Dia menambahkan suatu elemen penting yang tidak sempat dilihat atau yang lolos dari pemikiran gurunya. Saya kira ini hal positif yang harus ada dalam hubungan guru – murid, atau apa yang dalam pendidikan modern didengung-dengungan sebagai mencapai kemandirian siswa/mahasiswa. Dalam level semacam ini, saya kira penting juga melanjutkan apa yang baik yang telah dikembangkan guru dan menghindari atau menolak hal-hal yang buruk.
Apakah dalam konteks semacam ini kita bisa menganalisis mengapa ideologi fundamentalistik semacam NII atau terorisme yang diklaim bermotifkan agama tertentu sebagai kegagalan relasi guru (tokoh atau ajaran tertentu) dengan murid (para pengikut)? Apakah dengan demikian kita juga bisa berasumsi bahwa ideologi fundamentalistik atau ideologi yang memuliakan kekerasan dan teror akan berkurang dan perlahan-lahan menghilang kalau para murid (baca: pengikut) sanggup memaksimalkan nalarnya dan memilah-milah manakah fungsi atau tugas yang ketika diraih akan mendatangkan kebahagiaan tertinggi, bukan saja egoistik tetapi juga sosial?
Saya membayangkan bahwa tanggapan terhadap tulisan ini akan beragam, juga bahwa pilihan menjadi murid setia dan melegitimasi kekerasan demi tujuan tertentu adalah bagian dari pilihan rasional. Tetapi membombardir tulisan orang dengan tanggapan tidak relevan sampai memenuhi dashboard mungkin bagian dari irasionalitas manusia. Kalau ini terjadi, mungkin bukan kegagalan seorang murid, tetapi kegagalan seseorang menjadi murid alias tidak pernah menjadi murid.
Selamat berakhir pekan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H