Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Antara Permainan dan Pertandingan

20 Maret 2011   22:14 Diperbarui: 24 Agustus 2019   22:00 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika berbicara mengenai dimensi dinamis manusia, Prof. Dr. N. Drijarkara, SJ pernah menulis mengenai permainan seperti berikut. “Bermainlah dalam permainan, tetapi janganlah main-main! Mainlah dengan sungguh-sungguh, tetapi permainan jangan dipersungguh. Kesungguhan permainan terletak dalam ketidaksungguhannya, sehingga permainan yang dipersungguh tidaklah sungguh lagi” (1969: 83). 

Sang filsuf ini sebetulnya sedang memahami salah satu fenomena manusia yang paling umum dijumpai dan yang mengandung makna yang sangat mendalam. Dia memahami permainan sebagai salah satu aktivitas manusia dengan mana ia membebaskan dirinya.

Dalam arti bahwa dengan memasuki permainan, manusia tidak lagi menjadikan hasil akhir dari sebuah permainan tersebut sebagai target yang harus dikejar. Melibatkan diri secara otentik dalam sebuah permainan harus merupakan sebuah proses pembebasan diri secara sadar dari pamrih dan menghayati permainan sebagai realisasi otentik dari diri sendiri. 

Dalam arti itu, “permainan yang dipersungguh” sebagaimana yang dikatakannya tidak lain dari mengikatkan diri secara sengaja dan kaku pada aturan dan strategi tertentu demi tujuan yang mau dikejar, yakni kemenangan. Permainan yang benar tidak berarti bahwa meremehkan kemenangan, tetapi bahwa kemenangan bukan merupakan tujuan akhir yang dikejar pada dirinya sendiri.

Mengapa demikian? Karena semata-mata mengejar kemenangan hanya akan melahirkan kecurangan atau sikap-sikap yang tidak sportif, dan dengan demikian mendegradasikan sebuah permainan sekadar sebagai sarana untuk mengejar ambisi pribadi.

Permainan lalu menjadi sangat instrumental dan pragmatis. Gagasan ini akan sangat menarik untuk ditempatkan dalam konteks filsafat sosial yang dapat menerangi kesejatian kehidupan bermasyarakat kita.

George Herbet Mead, seorang pemikir sosial abad yang lalu misalnya, sebetulnya mengajukan gagasan yang kurang lebih sama. Pemikir sosial asal Amerika Serikat ini membuat pembedaan antara permainan (play) dan pertandingan (games).

Menurut pandangannya, memasuki sebuah permainan membuat seseorang hanya akan menyadari perilakunya atau peran-perannya demi mencapai kemenangan, tidak peduli bagaimana peran-peran orang lain (Lih. Margaret M. Poloma, 2000: 254-266).

Malam arti ini Mead sejajar dengan apa yang dikatakan oleh Drijarkara sebagai “permainan yang dipersungguh”.

Sementara itu, dengan pertandingan seseorang tidak hanya memperhatikan perilaku dan perannya demi mencapai tujuan (kemenangan), tetapi juga perilaku dan peran orang lain.

Dengan hanya berpusat pada peran dan perilaku diri sendiri menutup kemungkinan untuk melihat perilaku-perilaku ideal tertentu yang bisa diperoleh dari memperhatikan peran dan perilaku orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun